Saya kenal seorang sarjana Teknik Peternakan yang masih muda, asal Purwokerto, Jawa Tengah. Mas Imron saya menyapanya. Beberapa kali kami ketemu. Pertama, saat kami pergi ke Semarang, dan kedua, ketiga serta keempat ketika Mas Imron berkunjung ke tempat di mana saya tinggal, di Malang.
Mas Imron tipe mental pengusaha muda, juga menduduki posisi sebagai seorang supervisor, sangat beruntung. Beberapa kali pindah kerja di tempat yang jarang didapatkan oleh pemuda kita. Dia bisa kerja di perusahaan asing (PMA).Â
Bukan gajinya saja yang gede. Tetapi pengalaman, penempaan etos kerja yang baik, manajemen perusahaan yang mapan serta network-nya luas. Itulah yang didapat.
Dari pekerjaan yang ditekuni tersebut, mas Imron bisa mengembangkan potensi bisnis terkait pakan ternak. Ke depan, potensi ini membuat dirinya memiliki masa depan, berupa keterampilan dan jaringan yang kuat. Itu saja sudah cukup menjanjikan.
Saya salut dengan perjuangannya yang dimulai sejak masih duduk di bangku kuliah. Di usia yang baru merambat ke angka 30 tahun, mas Imron memperlihatkan kemandirinya dengan memelihara optimisme.
Menanam Benih, Menuai Buah
Sekalipun dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah, prinsip Mas Imron adalah, 'derita' ini hanya bersifat sementara. Karena itu dia harus maju. Dia punya peran besar guna mengubahya. Bukan dari uluran tangan orang lain atau karena bantuan pejabat.
Saat masih kuliah, dia aktif di organisasi kemahasiswaan dan gabung dengan Dompet Dhuafa. Kegiatan sosial yang positif semacam ini menuntunnya menjadi individu yang tekun, disiplin dan ulet. Memang dengan aktif di organisasi tidak ada jaminan masa depan jadi lebih baik.Â
Tetapi ingat, jarum jam itu tidak ada yang berjalan mundur. Kalaupun tidak dijamin, minimal sama dengan yang terjadi pada jarum jam, jika baterei habis, berhenti berdetak. Tapi tidak bakalan mundur kan? Â
Dibesarkan dari keluarga sangat sederhana di dekat daerah Pegunungan Dieng, mas Imron meyakini tentang pentingnya mempelajari etos kerja sebagai bagian dari perencanaan masa depan. Dia bilang bahwa etos kerja itu tidak datang dengan sendirinya. Melainkan melalui sebuah proses yang harus dilatih dari bawah. Di antaranya adalah saat masih kuliah.Â
Makanya, selagi masih kuliah, jangan hanya rajin belajar. Nyambi bekerja kalau bisa. Begitu advisnya.
Tepat sekali apa yang dilakukannya. Gabung dengan Dompet Dhuafa, memang tidak mendapatkan 'penghasilan'. Akan tetapi dengan belajar bekerja, akan membantu penajaman berkomunikasi, marketing, berdisiplin, memperluas kontak dengan masyarakat, selain tentu saja dengan membantu  kaum Dhuafa yang membutuhkan, merupakan kegiatan yang mulia.
Begitu lulus kuliah dengan predikat sangat memuaskan, mengantongi ijazah Sarjana Teknik, punya pengalaman kerja di Dompet Dhuafa, berkeyakinan teguh, sedikit polesan Bahasa Inggris, itu sudah cukup baginya untuk berkompetisi dalam dunia kerja yang cukup ketat. Â
Apa yang saya katakan tentang Mas Imron terkesan subyektif. Penampilannya sederhana, namun meyakinkan bisa jadi contoh generasi muda. Tampak sekali kalau dia orang yang gigih terhadap apa yang ditekuninya.Â
Saya simpan nasihatnya dalam hati, pikiran serta tangan ini, sebagai bekal dari seorang senior kepada juniornya, demi meniti masa depan nanti.
Beberapa Kali Gagal
Mencoba menyontoh apa yang dilakukan oleh Mas Imron, saya melamar kerja beberapa kali supaya bisa tembus ke pasar kerja di luar negeri. Beberapa kali pula interview yang pernah saya alami langsung dengan user dari Belanda, Kuwait, Saudi Arabia, Jepang, Jerman dan kini saya sedang menunggu untuk USA.
Meskipun belum berhasil, saya sebenarnya sangat beruntung. Sementara banyak teman-teman muda seusia saya sulit ketemu dan berbicara langsung dengan orang asing, tidak demikian halnya dengan saya. Saya sering mendapatkan kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan mereka.Â
Tentunya ini berbuah luasnya network, bahkan saya dijamu oleh orang-orang luar negeri. Hal ini memberikan peluang bagi saya untuk memperluas wawasan dan melatih keberanian berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris.
Saya tidak ingin disebut sebagai generasi lebay, yang mudah menyerah. Saya tidak mengenal istilah gagal. Tidak lolos interview bagi saya soal biasa. Ini merupakan bagian dari sebuah proses. Sebagaimana melakukan sebuah perjalanan. Yang penting, saya jaga optimisme dalam diri.
Lesson Learnt
Kita mengenal istilah "You Get what you Give", Anda akan mendapatkan apa yang sudah anda berikan. Keyakinan semacam ini yang dimiliki Mas Imron sebagai bekal. "Manusia bisa lupa. Tetapi tidak demikian dengan Tuhan." Katanya.
Makanya saya tidak kaget. Ketika pindah-pindah kerja, dia selalu mendapat dan berada di tempat yang tepat. Gaji lebih baik dan jauh di atas kata layak. Keterampilan tambah meningkat, masa depan menjanjikan.Â
Mungkin tidak etis rasanya jika saya mengatakannya, akan tetapi sebagai pembelajaran, tidak ada salahnya saya buka 'rahasianya'. Asal tahu saja, di usia muda ini, sementara orang lain susah cari kerja, Mas Imron sudah punya dua rumah. Â
Pembalajaran yang saya dapatkan dari empat kali jumpa dengan Mas Imron, saya menangkap pesan moralnya. Bahwa dalam hidup ini, kita harus senantiasa berjuang memelihara optimisme, jangan berhenti menatap masa depan. Apalagi mundur pola pemikiran, ke belakang.
Malang, 25 July 2020
Ridha Afza Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H