Tidak jauh dari kompleks perumahan tempat kami tinggal, terdapat Ruko. Di sana, hampir setiap saat kami bisa temui seorang Gelandangan dan Gangguang Sakit Jiwa  (GGSJ) duduk-duduk, tidak jarang tiduran. Terkadang, jalan-jalan di sepanjang jalan Raya Mondoroko-Sigosari, Malang, Jawa Timur.
Pemandangan seperti itu, hampir bisa ditemui di mana-mana di negeri ini. Menurut Menteri Sosial, Agus Gumiwang, diperkirakan masih ada sekitar 77.500 gelandangan dan pengemis yang tersebar di berbagai kota di Indonesia pada tahun 2019 (Kompas, 22.8. 2019). Sedangkan yang mengalami gangguan jiwa sebesar 0.67% (Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI, 218). Menurut data tersebut pada tahun 2018 terdapat 282.654 mengalami Skizofrenia/Psikosis.
Sebagai orang kesehatan terkadang saya malu sendiri. Zaman segini, apa negeri ini melarat sekali, sehingga tidak mampu menangani orang-orang GGSJ ini, sampai mereka berkeliaran di mana-mana? Lantas di mana peran Kementrian Kesahatan dan Kementrian Sosial selama ini?
Mengapa saya malu? Karena orang-orang GGSJ ini, compang-camping kondisinya, mengenakan pakaian yang tidak pantas, terkadang (maaf) telanjang, berjalan tanpa arah, di sepanjang jalan utama. Tentu saja mereka tidak mematuhi aturan Protokol Kesehatan. Jangankan cuci tangan dan mengenakan masker. Untuk melihat dirinya sendiri saja, mereka tidak mampu.
Kesejahteraan Rakyat Tanggungjawab Negara
Beberapa kali kami kedatangan tamu, dari Arab, India dan Filipina. Kapan itu, pernah kami ajak mereka jalan-jalan ke Malang dan kota wisata Batu. Hanya saja, mereka kami tunjukkan ke jalan-jalan utama yang 'cantik' saja. Tidak ke pelosok apalagi yang kumuh, seperti di pinggiran Sungai Brantas di Kota Lama, Kecamatan Kedung Kadang-Malang, sebagai daerah kumuh terbesar. Malu. Di Malang, kawasan kumuh masih sebesar 608,6 hektar (5.53% dari luas kota Malang) menurut Wali Kota Malang (Malang Voice, 7 Agustus 2019).
Belum lagi yang di Surabaya yang mencapai 43.46 hektar (Liputan6.com). Pemerintah Daerah Surabaya merencanakan penntasan kawasan kumuh skala lingkungan dengan prioritas lokasi di 21 kelurahan. Di Jakarta lebih parah lagi, terdapat 445 RW kumuh di Jakarta dan hanya 200 yang ditata (Kompas.com, 6 Nov. 2019). Â
Tanggugjawab siapa?
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyebutkan tujuan nasional yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan ini memiliki makna suatu keadaan di mana kita bisa merasakan sejahtera (kesejahteraan sosial  dan ekonomi), aman dan tenteram (kesejahteraan Jiwa).
Menurut UU (Undang-Undang) Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1 ayat (1) Â yang berbunyi "Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya". Adapun kesejahteraan jiwa berkaitan erat dengan kesehatan jiwa.
Terkait kesejahteraan umum sebagai tujuan bangsa, masalah kita saat ini, bukan hanya soal gelandangan, pemukiman kumuh dan kasus Covid-19 saja. Dalam skala besar kita sedang menghadapi ancaman krisi ekonomi yang berdampak pada kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Bagaimana kita bersama Pemerintah menyikapinya, itulah yang perlu difikirkan bersama guna mendapat solusinya.
Ekonomi dan Kesehatan
Badan Kesehatan se-Dunia (World Health Organization-WHO) merumuskan definisi "Sehat" Â dalam cakupan yang sangat luas, yaitu "keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat". Dalam definisi ini, jelas bahwa yang dimaksud sehat bukan sekedar terbebas dari penyakit atau cacat.Â