Aku mendengar pertama kali namanya saat duduk di bangku sekolah menengah
Kala beliau sudah meraih predikat pakar dalam merangkai kata
Aku masih belajar meluruskan benang layang-layang
Bahkan hingga sekarang
Namanya Sapardi Djoko Damono
Nama yang aku tidak pernah sangka
Ternyata hanya dengan merangkai kata, orang bisa jadi ternama
Mencuat ke angkasa, disegani pembesar, dipuji massa
Aku tidak pernah menduga
Waktu berjalan begitu cepat
Sementara nama harum Bapak sudah menjulang
Menyusun kata saja aku belum bisa
Aku bilang, inilah puisiku pertama
Orang bilang, inilah uraian kata yang tidak lebih dari sampah
Bapak Sapardi
Sungguh aku tidak tahu apa artinya puisi yang tidak lebih dari permainan kata
Kelihatan biasa-biasa saja, tapi artinya luar biasa
Ada yang bisa menangis karenanya, sementara aku menatap penuh tanda tanya
Ibu guru bilang nilai sastraku baik sekali
Anehnya, aku tidak mampu memahami
Jangankan puisi Bapak Sapardi yang tingkat tinggi
Memenuhi inti kebutuhan hidup saja, hingga kini aku belum mumpuni
Kini aku sudah selesaikan jenjang perguruan tinggi
Masih juga tertatih-tatih bagaimana harus melangkahkan kaki
Mencari jati diri
Melanglang dalam arti fisik
Terlebih aku tidak punya cukup nyali jika dalam bentuk puisi
Ketika melihat nama Bapak disebut dalam sebuah edisi
Hati dan fikiran ini tersentak beberapa kali
Aku berkata dalam hati, : "Betapa cepat waktu yang aku lalui"
Mata ini tertuju pada baris, 'Bapak selamanya pamit'
Lima belas tahun berlalu sudah
Walau bukan sastrawan, ada makna kehidupan yang aku bisa telan
Yang Bapak selalu ajarkan dalam untaian kata, entahlah apakah ini bisa dikonsumsi orang awam
Ataukah terbatas hanya seniman
Bapak sudah berjalan duluan
Kami tinggal menunggu giliran
Bedanya, Bapak menjadi pujangga
Sudah merenda prestasi di atas awan
Aku masih berseliweran mencari jalan
Duh Gusti, apakah rangkaian kata ini seperti belajarnya karya sastrawan?
Teman-temanku pada tertawa
Aku tidak tahu bagaimana dulu Bapak berjuang
Bapak pasti pernah 'berperang'
Sebagaimana yang terjadi padaku sekarang
Bapak Sapardi, kita berada di era dan zaman yang berbeda