Tujuan didirikan sebuah negara adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Di Indonesia, tujuan didirikan negeri ini termuat dalam Pembukaan UUD 1945, Alinea ke-4, yakni untuk menyejahterahkan bangsa dan negara. Tetapi kenyataannya, sesudah 75 tahun merdeka, kesejahteraan kita kalah jauh dengan negara-negara yang bahkan usianya jauh dengan negara kita.
Sebagai warga negara kelas bawah, khususnya kami yang berada di Aceh ini, tanda tanya. Sebenarnya, apa negeri ini benar-benar miskin sehingga sampai ada 10 provinsi termiskin di Indonesia yang menjadi Headline berita setiap tahun? Seolah kita bangga dengan 'prestasi' ini.
Saya orang asli Aceh, tahu persis bagaimana kondisi masyarakat kami. Jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 810.000 atau 15.01% (BPS, Sept. 2019). Aceh merupakan provinsi termiskin di Sumatera. Kemiskinan di Aceh menjadi bahan diskusi di banyak kalangan.Â
Beberapa kenyataan yang membuat Aceh disebut sebagai provinsi termiskin di antaraya: jumlah penduduk miskin ini meningkat dua kali lipat sejak 1999-2002, rata-rata penuran persentase penduduk miskin per tahun 0.87%, penurunan angka kemiskinan dalam 17 tahun terakhir mencapai 15.01%, lebih dari separuh penduduk miskin bekerja di sector pertanian dan 8 dari 10 pendudk miskin tinggal di pedesaan (Detiknews.com).
Masyarakat Aceh konon juga tergolong masyarakat dengan daya beli yang terendah. Makanya kami tidak heran investor agak 'malas' untuk membuka cabangnya di sana. Sedihnya, orang Aceh juga kurang motivasinya untuk bekerja lebih giat, bahkan dari kalangan professional.Â
Saya perawat, pernah mengalami sendiri berapa kali PJTKI datang ke Aceh dari Jakarta untuk menawarkan peluang kerja di luar negeri yang sangat menjanjikan.Â
Nyatanya, bisa dibilang Zero Percent peminatnya, dengan berbagai alasan. Ada yang karena tidak diizinkan orangtua, ada yang karena dana minim. Padahal, mereka sebenarnya bisa bayar kuliah.
Ada banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang perlu dilakukan di Aceh. Baik dari sisi pendidikan, pembinaan masyarakat serta melibatkan masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan. Ini tentu saja bukan pekerjaan yang ringan. Dari pusat hingga dari pemuka masyarakat Aceh sendiri.Â
Namun demikian, peran pejabat di pusat, Bapak-bapak Menteri ini, tidak kalah pentingnya dalam pembangunan dan perkembangan, bukan hanya di Aceh, tetapi di negeri ini secara keseluruhan. Â
Wajar, jika Pak Jokowi sempat marah pada pertemuan kabinet bulan Juni 2020 lalu, begitu mengetahui bawahannya ada yang kerjanya 'kurang beres'. Lantaran tunjangan Corona bagi petugas kesehatan belum juga dicairkan.
Sesudah peristiwa itu, muncul issue akan dilakukan Cabinet Reshuffle. Issue ini bergulir menyusul kemarahan Pak Jokowi pada beberapa menteri yang dirasa kerjanya 'tidak becus'. Â Â Â Â
Setidaknya pernah 40 kali terjadi pergantian kabinet di negeri ini, sejak Sejak Kabinet Presidensial tahun 1945, zamannya Presiden Soekarno, hingga Kabinet Indonesia Maju, tahun 2019 ini di bawah komando Pak Jokowi. Jumlah personel pun bervariasi.Â
Yang paling sedikit ada masa darurat, tahun 1948 di bawah kepemimpinan Ketua PDRI, sejumlah hanya 12 orang. Sedangkan yang terbanyak pada masa Kabinet Dwikora II, tahun 1966, sebanyak 132 personel. Kabinet Indonesia Maju, berjumlah 34 orang.
Sejauh dan selama proses pergantian kabinet tersebut, ternyata Indonesia juga masih tetap eksis tuh? Menurut Survei Indo Barometer: Soeharto disebut sebagai presiden paling berhasil (detik.com, 2018).Â
Dalam survey yang sama, Jokowi disebut sebagai lebih disukai rakyat ketimbang Soekarno (cnnindonesa. Feb. 2020). Tapi Soeharto lebih disuka warga (Vivanews, Feb. 2020).Â
Kondisi bangsa ini juga masih teta gini-gini aja. Prestasi kita belum bisa dibanggakan dalam sector ekonomi. Rakyat susah mencari kerja denga penghasilan mapan. Itu intinya.
Semua tahu, ganti atau tidak Kabinetnya, orang-orang yang duduk di Kabinet tidak gratis. Mereka, kerja keras atau malas, tetap dibayar. Gajinya diambil dari pajak rakyat. Karena itu, meminta pertanggungjawaban atas hasil kerja mereka merupakan hal yang wajar.
Tidak perlu sekelas menteri lah. Di pasar saja, seorang kuli, tidak akan dibayar jika tidak menunaikan tugasnya. Lantas, apa yang rakyat bisa lakukan jika hak-hak mereka tidak didapatkan hanya karena kelalaian bapak-bapak dan ibu-ibu yang duduk di kabinet sana?
Anyway, masa kerja Pak Jokowi dan Mak Haji Ma'ruf tinggal 3.5 tahun lagi. Hitungannya sebetulnya tidak lama. Kalaupun akan terjadi pergantian cabinet dan reshuffle benar-benar terjadi, akan ada beberapa risiko.
Pertama, pengeluaran dana. Penggantian menteri dalam cabinet itu butuh proses yang tidak singkat. Juga butuh dana yang tidak sedikit. Minimal ganti setempel, ganti papan nama dan menggunakan banyak kertas. Itu belum terhitung ruangan, gedung hingga biaya pelantikan.
Kedua, penggantian menteri belum ada jaminan akan mendapatkan pengganti yang lebih baik. Jika ini yang terjadi, maka program akan makin amburadul. Kecuali ada semacam presentasi dulu terkait visi misi pejabat yang baru sebelum terjadinya pergantian.
Terdapat 7 negara yang ganti Menteri Kesehatan selama wabah Corona ini berangsung (Kompas, 2 Juli 2020). Di antaranya Belanda, New Zealand, Equador, Kirgistan, Brazil dan Chili. Presiden Mesir juga akan ganti 6 menterinya (Republika.co.id). Ini menunjukkan terlepas dari risiko pengeluaran dana sebagai akibat Reshuffle, banyak negara yang lebih milih ganti personal dalam kabinetnya. Mereka pasti sudah memiliki perhitugan rugi-laba yang matang.
Saya pribadi setuju kebijakan Rencana Reshuffle 2020. Jangan tunda Pak Jokowi! Â Lakukan jika itu meruakan keputusan terbaik bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita masih punya banyak orang yang baik dan benar di negeri ini untuk mampu menjabat sebagai menteri yang kompeten.
Malang, 11 Juli 2020
Ridha Afzal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H