Dua bulan menulis di Kompasiana, memberikan semangat tersendiri bagi saya. Entah mengapa. Sejak gabung dengan group ini, selalu ada ide. Setiap hari Alhamdulillah, saya mendapatkan inspirasi baru.Â
Topic inspirasi ini saya catat pada notes yang ada di meja. Ini membantu saya untuk mengingat apa yang akan saya tulis. Sehingga saya rasanya tidak pernah memikirkan apa yang akan saya tulis. Saya menulis apa yang ada dalam fikiran.
Pengalaman seperti ini tidak pernah diajarkan di bangku kuliah. Maklumlah saya bukan dari jurusan sastra atau bahasa. Saya dari IPA, kemudian kuliah jurusan Keperawatan. Kalau soal tulis menulis, dalam keluarga kami, nyaris Zero Percent.Â
Kami bukan keturunan pujangga. Lingkungan saya, teman-teman, minat nulisnya very poor. Tidak ada teman perawat yang mimpi untuk menulis dalam hidupnya. Kalau pun ada, satu dua. Yang terbanyak adalah menulis status di medsos.
Pengalaman selama SMA dan kuliah ini sangat membekas sebenarnya. Akan tetapi, kegiatan kurikuler juga berperan mengapa orang jadi tertarik untuk menulis. Menulis itu gampang-gampang susah.Â
Gampang karena sejatinya setiap orang bisa menulis. Akan tetapi seperti membangun sebuah rumah. Betapapun orang mempunyai semua bahan bangunan, tidak semuanya bisa membangun. Mendirikan sebuah bangunan itu ada ilmunya. Menulis kurang lebih juga begitu.
Setiap orang punya perbendaharaan kata. Perbendaharaan kata itulah bekal untuk bicara. Utuk bicarapun ternyata juga ada seni. Kata-kata harus dirangkai sedemikain rupa sehingga yang diajak bicara atau yang mendengarkan bisa nyambung, pesan tersampaikan, sedih mendengarnya, gembira, susah, terenyuh, bersemangat, termotivasi, hingga bisa marah, hanya karena soal permaianan kata-kata.
Menulis kurang lebih juga demikian.
Kalau asal nulis, semua orang bisa tetapi menulis yang membuat orang jadi: tergerak hatinya, senang membacanya, menangis, haru, tertawa, hingga ada yang jengkel, marah karena tulisan, semuanya bisa dilakukan, semuanya butuh seni dan sentuhan tangan serta fikiran. Menulis juga butuh ilmu, pengalaman serta perasaan.
Menulis email kepada teman, tidak sama dengan menulisnya kepada atasan, menulis pesan kepada orang orang kita tidak kenal, beda dengan menulis pesan pada keponakan. Demikian seterusnya. Sedemikian peran keterampilan menulis, sehingga karakter penulis bisa terbaca.
Ternyata begitu luas ilmu tulis menulis ini, sehingga seperti lautan yang tidak pernah habis airnya jika kita minum. Subhanallah.....Mahabesar Tuhan Yang Menciptakan Manusia ini. Dengan karya-karya tulisannya, manusia bisa mengabadikan apa yang dirasakan, difikirkan dan dikerjakannya.