Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PPDB, Diskriminasi Pendidikan Gaya Baru

27 Juni 2020   17:11 Diperbarui: 27 Juni 2020   17:12 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber; Hardy, 2016

Tahun ini merupakan tahun sulit bagi banyak orang, termasuk dalam dunia pendidikan. Pasalnya, adanya wabah virus Corona ini membuat banyak orang rencananya buyar. Contoh nyatanya adalah saat pendaftaran siswa/mahasiswa baru. Tidak bisanya ketemu langsung dengan pihak sekolah merupakan kendala bagi banyak orangtua.

Di satu sisi, pendaftaran online sangat menguntungkan. Di sisi lain, tidak semuanya bisa di-online-kan. Misalnya, orangtua pasti ingin ketemu dan tahu, kenal siapa admin sekolah dan minimal kenal salah satu guru anaknya sebagai tempat bertanya nanti. Ini wajar dalam dunia pendidikan, khususnya usia anak-anak.

Selain masalah di atas, isyu lain yang banyak dibicarakan public adalah soal pembatasan usia sekolah. Pembatasan usia ini menuai pro dan kontra. Ada yang setuju dengan pendapat para ahli psikologi anak, bahwa sebaiknya memperlakukan anak tetap sebagai anak-anak, sesua tumbuh kembangnya. Tidak boleh dipaksakan.

Pendapat yang satu lagi percaya bahwa setiap anak lahir dengan bakat dan tumbuh kembangnya sendiri, yang tidak sama antara yang satu dan lainnya. Yang ini juga perlu diperhatikan.

Oleh sebab itu, kebijakan membatasi umur tertentu saat mendaftaran sekolah, terkesan dan dianggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Kita sudah banyak melihat contoh doctor-doktor di negeri ini yang diraih oleh orang-orang yang masih sangat muda usia. Tahun lalu misalnya, di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) saat menyelenggarakan wisuda ke 119. Terdapat seorang pria muda bernama Rendra Panca Anugraha, berhasil menyandang gelar doctor pada usia 24 tahun 4 bulan. Itu berarti, pada usia 21 tahun sudah menyelesaikan S2, dan usia 19 sudah rampung S1, dan umur 15 tahun sudah tamat SMA. Ini jika dia sekolah terus tanpa henti.

Menurut sebuah artikel yang dimuat di m.brilio.net, ada 6 doktor yang menyelesaikan program S3 nya pada usia sangat muda. Di antaranya adalah Cindy Priadi (26 tahun) di Universitas Paris-Perancis, Arief Setiawan (25 tahun), Shinta Amalina (25 tahun) di Wuhan University of Tecnology-Tingkok, Elanda Fikri (26 tahun) di STPDN Jatinangor, dan Rendra yang sudah disebut di atas.

Dari contoh di atas menunjukkan bahwa kita memiliki generasi pintar yang potensial bisa menyelesaikan jenjang pendidikan formal tanpa menunggu usia tua. Tidak harus jadi seorang jenius untuk bisa segera menyelesaikan pendidikan setingkat SMA dan sarjana.

Namun pembatasan usia tertentu untuk sekolah masuk SD misalnya, adalah bentuk diskriminasi yang jelas-jelas menghambat berkembangnya insan Indonesia. Dan ini menyalahi tujuan nasional pendidikan serta tujuan umum bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Alinea 4.

Saya pernah kenal dengan anak orang India, Akash namanya. Waktu saya tanya kelas berapa, dia bilang kelas 4 SD.  Saat saya lanjutkan bertanya umur berapa, dia jawab 8 tahun. Saya kaget. Berarti umur 5 tahun sudah masuk SD. Pantesan sarjana-sarjana di India rata-rata sudah selesai pada umur 21 tahun. Demikian pula sarjana Filipina.

Di kita ini, sudah umurnya tua saat lulus sarjana, sulit pula mau cari kerja. Mana kurikulumnya diajar materi-materi yang tidak fokus pula. Jadinya lulus sarjana pun, kompetensinya masih dipertanyakan. Belum lagi kemampuan Bahasa Inggris yang belepotan.

Pada prinsipnya, pembatasan usia sekolah saat ini suda tidak relevan dengan zaman. Yang tepat adalah lakukan test penerimaan, golongkan dan pisahkan anak-anak yang potensial, berbakat dan yang biasa-biasa saja. Memang agak sulit dan lebih ama prosesnya. Namun demikianlah memang pendidikan. Kalau mau yang berkualitas, prosesnya tidak gampang.


Seperti di India, berlakukan dua system pendidikan. Yang jalur nasional dan jalur bahasa Inggris. Yang jalur Inggris menggunakan kurikulum internasional. Biar rakyat yang memilih, Pemerintah jadi fasilitator. Yag menikmati Bangsa Indonesia.

Jika tidak, jangan heran kalau negeri ini akan malu, ketinggalan jauh dari negara-negara kecil yang merdekanya kemarin sore. Bahkan yang lebih melarat dari kita ternyata mengantongi Index Pembangunan Manusia (Human Develoment Index) lebih tinggi.  
Duh Gusti, mau diajak ke mana generasi muda ini?    

Malang, 27 June 2020
Ridha Afzal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun