Saya asal Aceh. Ikut merasakan bagaimana jika ada pertentangan ide, gagasan, sesama orang Aceh. Padahal penduduk Aceh bisa digolongkan homogen. Tidak majemuk seperti Jawa. Namun bisa terjadi konflik. Ini bukti bahwa pemikiran atau ide setiap orang itu berbeda. Perbedaan itu manusiawi. Kodratnya memang demikian. Artinya, tidak akan bisa memaksakan kesamaan ide. Akan tetapi bisa menyamakan persepsi.
Konfik vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Pusat di Jakarta tahun 1976, merupakan contoh nyata di negeri ini, bahwa tidak gampang menyamakan persepsi ideologi. Jangankan negara yang ruang lingkupya besar, yang 'kecil' saja seperti di Aceh, tidak mudah. Konflik di Aceh banyak menuai kontroversial.
Menurut Kurnia Jayanti (2018) dalam sebuah jurnal berjudul Konflik Vertikal Antara GAM di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta Tahun 1976-2005, disebabkan karena ketidak-adilan, ketidak-sesuaian antara kenyataan dan harapan di berbagai bidang khususnya pembangunan. Ini berdampak  pada kemiskinan, kebodohan dan tingkat tingkat keselamatan masyarakat yang rendah.
Konflik ini muncul sejak tahun 1976 yang dipelopori oleh Muhammad Hasan Tiro. GAM lahir sebagai jawaban atas kebijakan pemerintah pusat yang sentralistik (Tabloid Suara Islam, Ed. 53, 2008). Walaupun secara umum disebut sebagai ketidak-adilan sebagai pemicu konflik, namun isyu yang berkembang dalam dunia partai politik adalah disebabkan karena 'perbedaan ideologi' antara Aceh dan Jakarta.
Dari 4 contoh-contoh di atas, apa yang terjadi di Romawi, Itali, Uni Soviet serta adanya konflik GAM di Aceh, merupakan realita yang kita tidak bisa menolak, bahwa ideology itu tidak absolut. Ideologi selalu menimbulkan pro dan kontra. Kontroversi ini muncul karena adanya ketidak-puasan, ketidak-adilan, iri, cemburu atau keserakahan dengan latar belakang politik.
Berbagai latar belakang ini kemudian dibungkus dalam bentuk 'partai'. Partailah yang mengusulkan ketidak-sepakatannya dengan kebijakan sebagaimana yang dianut oleh ideologi yang sedang ada. Partai inilah yang kemudian mengusung 'idelogi' lainnya. Termasuk RUU HIP ini.
Saya tidak banyak paham tentang politik. Akan tetapi naluri manusia tidak berubah dari dulu hingga sekarang: serakah, memaksakan kehendak dan ingin berkuasa. Sifat yang demikian ini diperhalus di zaman modern ini. Lahirlah undang-undang, rancangan undang-undang dan sejenisnya.Â
Pada dasarnya proses ini juga disebut 'ideology within ideology'. Mengubah ideology secara langsung butuh procedural tidak gampang. Itu bahasa 'sastra' politik.
Adanya RUU HIP dikuatirkan akan membuahkan perubahan pada ideology yang ada sekarang, yakni Pancasila, bagi sementara orang mengkuatirkan. Bagi orang lain hal ini soal biasa. Bagi masyarakat luas lebih-lebih lagi, tidak ada bedanya.
Intinya, adanya perdebatan idologi di level 'atas' (Baca: Parlemen) dalam sebuat negara adalah fenomena yang normal. Selalu ada perdebatan, pro dan kontra dari setiap kebijakan yang ada. ideology, sama seperti jalan pikiran manusia itu sendiri. Tidak bisa statis. Akan bisa dan selalu berubah sesuai kehendak manusia. Sayangnya bentuknya abstrak.Â
Karena itu, adanya polemik terkait Pancasila, Trisila dan Ekasila, agar bisa bertahan dengan pemahaman ideology yang sama, harus dicari system, bagaimana menyamakan persepsi, tapi tidak memaksa atau cenderung memaksakan.