Saya juga mengalami hal yang sama empat tahun silam. Hingga kini belum ada tanda-tanda berubah. Ini sangat memberatkan lulusan kampus keperawatan yang jumlahnya lebih dari 600 buah di Indonesia. Setidaknya, 50.000 lebih lulusan pendididkan keperawatan akan terselamatkan dari ancaman pengangguran melalui system ini per tahunnya, sekiranya Kemenristekdikti bersedia membenahi system yang saat ini berlaku.
Sistem kedua yang perlu direview adalah, model pendidikan S1 Keperawatan di Indonesia ini masih kuno. Beda dengan jurusan S1 lain, di pendidikan jurusan keperawatan ini mahasiswa belajar ilmu yang sifatnya umum selama 5 tahun. Ini kesannya terlalu lama dan bertele-tele.Â
Sementara, jurusan teknik atau komputer misalnya, begitu masuk mahasiswa sudah punya pilihan. Demikian pula jurusan lain seperti Bahasa, Manajemen, Sosial, Ekonomi, dan lain sebagainya. Di keperawatan, mahasiswa tidak punya pilihan kecuali pada jenjang S2. Â
Sistem seperti ini yang membuat lulusan S1 Keperawatan kurang fokus ilmunya. Harus diakui bahwa Imu Keperawatan bukan Ilmu Kedokteran. Jadi tidak adil jika menyamakan sistemnya dengan kedokteran. Karena itu, Menristekdikti perlu memanfaatkan pakar keperawatan dalam upaya memperbaiki system pendidikan yang ada.Â
Sekalipun lulusan S1 tidak akan disebut sebagai spesialis, harus diingat, bahwa tuntutan zaman sekarang sudah beda. Di bidang computer, dari sejak pertama masuk, mahasiswa bisa langsung ambil jurusan multi media. Mengapa tidak bisa berlaku bagi keperawatan?
Ke depan, profesi keperawatan diharapkan bisa langsung fokus studinya. Misalnya, langsung belajar ilmu keperawatan Sistem Pernafasan, Perawatan Kulit, Wajah, system pencernaan, kardiovaskuler dan lain-lain.Â
Selama ini, system pembelajaran di pendidikan keparawatan cenderung mendompleng profesi Kedokteran spesialisasinya. Sebut saja Keperawatan Anak, Keperawatan Jiwa, Bedah dan Dalam. Ini yang membuat profesi keperawatan bukan hanya sulit berkembang. Tetapi juga mencari kerjanya meraba-raba susah, karena lulusan S1 keperawatan dianggap lulusan umum. Jangan kaget jika ada sinyalemen yang mengatakan bahwa lulusan S1 Keperawatan belum siap kerja. Ilmunya umum, praktiknya kurang.
Masukan ketiga bagi Kemenristekdikti adalah, kurangi mata kuliah umum. Kami mengerti pendidikan S1 tidak sama dengan D3. Akan tetapi, kesenjangan yang terlalu lebar terkait jam kuliah dan praktik, membuat lulusan S1 tergolong bukan sebagai tenaga terampil. Padahal jurusannya keperawatan, yang notabene jurusan keterampilan. Adalah lucu, jika lulus S1, kalah dengan D3 masalah kesiapan kerjanya. Kecuali lulusan S1 orientasi kerjanya hanya di atas kertas alias manajemen.
Tiga persoalan di atas yang menjadi kendala utama yang dihadapi lulusan S1 Keperawatan di Indonesia. Jika yang berpredikat Cum Laude saja susah mencari kerja, bagaimana dengan yang IP nya biasa-biasa saja?
Untungnya, dengan adanya tuntutan Akreditasi saat ini, manajemen kampus dan dosen giat kerja guna menggenjot prestasi belajar mahasiswa. Hanya saja, kekuranganya adalah, ada semacam unsur pemaksaan kehendak. Akibatnya, banyak nilai yang 'dipermak'. Nilai-nilai 'B' boleh jadi tidak murni. Mahasiswa yang mendapat 'C' disuruh, kalau perlu dipaksa untuk mengulang (remidi) agar dapat 'B'. Dosen didesak manajemen untuk 'memberi' nilai 'bagus' kepada mahasiswanya.Â
Di samping itu, syarat untuk menjadi PNS yang nilai IPK nya tidak kurang dari 3. Ini menjadian dosen-dosen, jujur saja, 'kasihan' sama mahasiswa.