Mereka nyaris tidak memiliki aktivitas sama sekali, mulai dari pemasangan iklan, seleksi, interview, medical, pengurusan visa, hubungan dengan kantor kedutaan di Jakarta yang semuanya tutup, hingga persiapan pembekalan.Â
Karyawan mereka juga dirumahkan. Padahal kebutuhan hidup jalan terus. Bayar sekolah, pajak, makan, air, listrik hingga sabun cuci.
Bisnis afiliasinya juga terhenti. Misalnya yang terkait pelatihan bahasa, tutor-tutor pengajar, dan tentu saja para calon PMI yang sudah meninggalkan kampung halaman mereka.
Bagi yang tidak paham tentang perusahaan-perusahaan PMI ini, sekilas kita menyangka penghasilan mereka sangat besar. Sejatinya tidak demikian. Apalagi di era sekarang ini, di mana ada KPK.Â
Terkait pembayaran atau fee tidak lagi seperti zaman Orde Baru. Dulu, ribuan jumlah PJTKI yang beroperasi, omsetnya milliaran.
Saya dengar dari ekspor PRT, PJTKI bisa jaya. Eksport PRT adalah yang paling menguntungkan. Sekarang ini, PRT nyaris zero. Ada pembatasan yang sangat ketat. Sehingga perolehan keuntungan dari sector ini boleh disebut tidak ada.
Memang, ada beberapa perusahaan yang memiliki kerja sampingan dengan memberikan pelatihan kepada calon PMI, berupa misalnya pembekalan bahasa Jepang, Korea, Inggris, Jerman dan lain-lain. Yang ini pun sekarang terhenti.
Jika dirata-rata setiap perusahaan jasa TKI memiliki 10 orang karyawan, sedikitnya 444 x 10 = 4.440 orang yang mengalami kesulitan hidup dalam tiga bulan terakhir. Padahal, pekerjaan utama mereka umumnya melulu hanya itu. Dari pagi kadang hingga malam hari, ngurusi rekrutmen. Kasihan memang.....
Saya tahu karena pernah bergaul dengan mereka, dari beberapa perusahaan selama sekian bulan. Dari mulai persiapan hingga pemberangkatan calon PMI. Saya sempat dapat curhat, mengetahui rincian pembiayaan.Â
Saya diberitahu "rahasia" perusahaan. Misalnya mana pekerja sektor yang menguntungkan dan profesional mana yang seret, sedikit keuntungannya.