Ini kali kedua saya merayakan Idul Fitri di Malang, Jawa Timur. Tahun lalu, tepat malam Lebaran, dari Malang kami berangkat ke Tulungagung untuk Berbuka Bersama di kediaman seorang kenalan, yang baru saja pulang dari Saudi Arabia. Â Sepanjang perjalanan, sangat ramai. Dari Singosari masuk kota Malang, kemudian keluar kota menuju perbatasan Kabupaten Malang, sekitar 25 km, kami tempuh lebih dari 1 jam perjalanan. Biasanya dalam waktu 20-30 menit. Lebaran, arusnya padat. Maklumlah, Malang tergolong kota terpadat ke-6 se Indonesia.
Dari Kecamatan Kepanjen menuju Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar, melewati Bendungan Sutami (Karang Kates) sangat indah pemandanganya. Malang memang cantik. Tidak heran banyak digandrungi oleh wisatawan. Namun orang Malang banyak juga yang tinggal di luar kota Malang, termasuk di Jakarta, luar Jawa hingga luar negeri.
Lebaran, macet lintasnya itu biasa. Terlebih, tahun lalu sebelum dibuka arus Tol Surabaya-Malang. Jalur Singosari-Malang tergolong very crowded di sepanjang jalan Surabaya-Malang. Tapi sejak dibuka Tol Surabaya-Malang, kepadatan arus lalu lintasnya jauh berkurang, lebih tertib. Di sepanjang jalan Lawang-Malang, melewati Singosari, kurang lebih 18 km, kini trotoir nya juga sudah diperbaiki. Kini nampak rapi. Kios-kios pedagang di pinggir jalan nampak tertib di tengah keramaian kala Ramadan tiba.Itu dulu. Hari ini sangat beda.......
Kemarin pagi saya ke Pasar Singosari, walaupun ada kesibukan penjual dan pembeli, keramaiannya tidak bisa saya bandingkan dengan tahun lalu yang begitu meluap. Jangankan motor, untuk jalan kaki saja, susah di tengah pasar. Kemarin terasa agak 'lengang'. Saya masih bisa mengendara motor masuk pasar. Volume transaksi jual-beli sangat jauh jika dibandingkan dengan kondisi tahun lalu.
Saya beli daun pisang untuk persiapan buat Lontong, daun kelapa untuk Ketupat. Lontong dan Ketupat adalah bagian dari tradisi. Di Aceh, setiap keluarga tidak pernah absen dari Lontong ini. Ditambah dengan Rendang, Es Buah, Mie kuah dan Timun, lengkaplah acara Lebaran kami, meski harus puas dengan Mudik Online.
Malamnya, ba'da Berbuka dan Salat Maghrib, kami pergi ke luar sebentar untuk cari Topi buat besok Salat Idul Fitri. Sepertinya di masjid dekat pemukinan kami, ada Salat Eid, tapi dengan catatan: masker, cuci tangan dan jaga jarak. Saya insyaallah akan ikut dengan menerapkan prisnip tersebut. Saya fikir It is OK. Toh tidak ada kasus Corona di tempat kami. Meski demikian, di area kami cukup strict menerapkan Lockdown dan PSBB. Sesudah jam 8, semua toko-toko tutup. Tidak ada orang jualan. Keluar masuk Gang juga dijaga petugas khusus. Mereka dibayar oleh warga RW. Alhamdulillah sejauh ini kondisi kami 'aman' dan 'sehat'.
Di toko 'Wadimor', kami beli topi, ada beberapa pembeli berderet, hanya saja tidak sepadat tahun lalu, Sepekan sebelum Lebaran saja, tahun-tahun sebelumnya ramainya pembeli bukan main. Pertokoan di sepanjang Pasar Sngosari juga sangat padat dengan orang-orang yang lalu-lalang, entah berbelanja atau sedang menikmati Festival Islam paling ramai di bumi ini, Idul Fitri.
Pantas jika toko-toko yang berjualan Sarung, Baju Koko, Kopiah, Al Quran dan kibat-kitab agama Islam lainnya berjubel. Nuansa Islami di Singosari begitu terasa. Kadang saya tidak merasa ada di Jawa. Beberapa sudut kota kecil Singosari ini ada yang mirip-mirip Aceh. Wonderful....
Dari Singosari, hanya beberapa menit di Toko Wadimor, kami berangkat ke Lawang. Mampir ke pasar sebentar untuk cari buah buat besok. Bagaimanapun kami akan jemput Lebaran besok. Kami tidak punya persediaan buah. Semalam, harganya naik.
Pisang Raja, yang biasanya hanya Rp 15.000, kini melonjak jadi Rp 35.000. Semangka, yang baisanya per kilogram berharga Rp 4-5 ribu, kini jadi Rp. 7-8 ribu. Buah Sawo, yang biasanya Rp 15 ribu, kini jadi Rp 25.000. Tidak perlu saya tawar. Â Toh, setahunn sekali. Dan lagi, kalau saya ke supermarket besar, saya tidak pernah menawar. Mengapa kepada pedagang kecil harus saya tawar? Di Pasar Lawang, biasanya sangat padat, malam Lebaran ini agak Lengang.
Lk Pagi tadi, satu jam sebelum saya tulis artikel ini, kami ke Majid Al Muttaqien, 100 meter dari rumah, menyelenggarakan Salat Eid. Tidak banyak jumlahnya. Padaha tahun lalu meluber. Walaupun demikian, nuansa Idul Fitri tetap kami bisa rasakan. Idul Fitri kami rayakan dengan sangat sederhana, tanpa mengurangi makna.
Tidak ada salam-salaman, tidak ada pelukan bersaudara. Tidak lebih dari 60 menit kami di sana. Setiap jamaah dicek suhunya, pastikan ada masker, dan disemprot desinfektan. Ada jarak antara jamaah satu dan lainnya. Haru dibuatnya.