Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Perawat Pencari Kerja di Tengah Wabah Corona

5 Mei 2020   19:35 Diperbarui: 5 Mei 2020   19:36 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negeri kita ini aneh. Rata-rata lowongan kerja yang ada meminta syaratnya 'Minimal dua tahun pengalaman kerja'. Tidak di rumah sakit klinik, balai kesehatan, hingga pertambangan. Sama saja. Tidak hanya bagi profesi perawat. Pencari kerja lainpun, sekelas Salesman, meminta syarat yang sama. Padahal, honornya segitu-gitu aja. Malah uang saku dari orangtua lebih gede ketimbang gaji seorang pekerja pemula. Sementara, kami ini kan baru lulus dan ingin mencari pengalaman. Lha kalau syaratnya demikian, kapan kami mendapatkan pekerjaan?

Puluhan kali saya berburu mencari kerja. Keanehan bos-bos pemilik perusahaan atau HRD RS, klinik, balai kesehatan hiingga perusahaan, diperparah lagi dengan syarat yang macam-macam. Ada yang minta sangat lengkap: foto copy ijazah yang dilegalisir, surat keterangan sehat, surat keterangan kelakuan baik, foto, dan surat lamaran kerja diketik rapi, diserahkan langsung ke kantor. Sesudah satu bulan tidak ada kabar, mungkin masuk tong sampah. Padahal diseleksi untuk interview saja belum. Bukankah ini sangat memberatkan? Kandidat pencari kerja mengeluarkan dana sia-sia untuk sesuatu yang tidak jelas.

Saya jadi mikir, apa pemilik perusahaan atau manajer HRD dulu tidak sekolah?

Saya pernah ketemu seorang perawat senior yang lama tinggal dan bekerja di luar negeri. Beliau pindah-pindah kerja sebanyak 8 kali. Selama itu pula beliau tidak pernah melamar kerja dengan foto copy ijazah dengan stempel basah. Beliau juga tidak pernah diminta surat keterangan sehat, surat kelakukan baik dan lain-lain dokumen, kecuali sesudah diterima. Sesudah interview dan mendapat panggilan diterima kerja, baru dilengkapi syaratnya. Pada saat itulah semua dokumen diserahkan. Mereka yang tidak sanggup melengkapi dokumen, otomatis tidak diterima.

Lha di negeri ini terbalik. Tapi kita mengaku setara dengan Amerika, Australia dan Canada. Nyatanya tidak bisa demikian. Usia kita sudah 75 tahun, ternyata tidak banyak belajar hanya persoalan sepele untuk menyaring tenaga kerja. Sebagai pemuda saya memiliki dugaan yang tidak baik kepada bos-bos pengusaha dan pegawai HRD yang duduk di posisi senior sebagai HRD manajer. Mereka cenderung negatif kepada pemula pencari kerja. Kami-kami ini dianggap tidak tahu apa-apa. Kami hanya dianggap memiliki IP tinggi tapi tidak memiliki etos kerja.

Saya mungkin mewakili suara perawat muda di negeri ini. Di era Covid-19 ini, tiba-tiba banyak peluang kerja bagi perawat di kota-kota besar dan rumah-sakit. Dengan iming-iming honor lumayan besar, tetapi risiko juga besar. Yakni mempertaruhkan nyawa. Saya sangat bangga dan kagum dengan kebesaran hati dan jiwa rekan-rekan perawat muda, yang tidak jarang tanpa pengalaman, berani 'melawan' Corona. Mereka tantang peluang tersebut. Walau boleh jadi karena sudah frustasi lantaran tidak punya pilihan.

Padahal hemat saya, professional yang berhak dan kompeten merawat pasien Corona adalah mereka yang berpredikat spesialis. Mereka yang senior. Corona merupakan wabah, bukan untuk bahan uji coba. Yang terjadi adalah perekrutan besar-besar pada perawat pemula yang belum memiliki pengalaman ini merupakan kesalahan dalam sistem penanganan wabah di negeri ini. Penanganan pasien Corona berbeda dengan menangani korban bencana Tsunami atau gempa di Lombok beberapa tahun lalu. 

Giliran ada wabah mematikan seperti ini, perawat pemula boleh ikut serta dan syarat yang saya kemukakan di atas 'tidak' berlaku. Kenapa harus ada diskriminasi demikian? Apa karena nyawa seorang perawat tidak ada nilainya? Sehingga merekalah yang jadi korban. Termasuk dokter. Dua professional kesehatan yang masuk dalam daftar meninggal terbesar jumlahya dibanding dengan profesi kesehatan lainnya.  

Ironisnya, perawat mendapatkan perlakuan beda jika harus melamar untuk posisi bahkan sebagai General Nurse atau Perawat Umum di RS, klinik dan balai kesehatan lainnya. Tidak jarang perawat dibayar sangat rendah. Ada yang tidak dibayar sama sekali. Dengan entengnya HRD bilang: 'kami mampunya segitu'!

Yang terjadi kemudian adalah, lulusan Diploma dan Sarjana Keperawatan 'murtad'. Mereka tidak lagi kerja berprofesi sebagai perawat lantaran diskrimasi yang ditemukan baik saat mencari maupun saat bekerja. Ijazahnya tidak dipakai. Profesinya jadi mubadzir. Ada perawat yang bekerja di bank, supermarket, bengkel hingga jualan barang-barang online. Mengenaskan memang. Tetapi itulah realita.

Pemerintah juga kurang tegas akan masalah ini. Saat saya melamar kerja di dua perusahaan asing (PMA) terkenal di kota Malang, dua-duanya kini tidak memiliki perawat. Kata pak Satpam, karyawan yang sakit langsung ke RS atau sudah ada perawat tetapi outsource. Alias perawat milik rumah sakit yang dipekerjakan diperusahaan tersebut tetapi tidak memiliki kompetensi sebagai perawat industri. Mereka punya MoU. Lho? Pemerintah cenderung menutup mata dalam hal ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun