Hari ini kami ke Barbershop agak kesorean. Masih harus antri dua orang lagi. Menjelang Maghrib baru usai pangkas rambutnya. Bukan untuk saya, tapi teman. Otomatis tidak bisa berbuka di rumah. Sebagai makanan pembuka, kami beli Es Campur dan Cilok. Masing-masing seharga Rp 7.000 dan Rp 5000. Total Rp 12.000 per orang.Â
Saya berpikir, berapa orang yang akan membeli jualan pedagang kecil seperti beliau? Berapa keuntungan yang diperoleh per hari dengan kondisi seperti ini? Kondisi di mana tidak banyak orang lalu-lalang karena wabah Corona.Â
Dengan sendirinya jumlah pembeli berkurang. Ditambah lagi masa Puasa Ramadan. Saya tidak berpikir apakah penjual Es ini menaikkan harga atau tidak. Bayangan saya seketika buyar. Iqamah sudah dikumandangkan dan kami bergegas masuk masjid.
Setiap menjelang Ramadan, sudah bukan rahasia lagi, harga kebutuhan bahan pangan naik. Entahlah, apakah ini sudah semacam tradisi yang sulit dihilangkan? Seolah jika tidak dinaikkan, apakah aroma Ramadan tidak terasa?Â
Sebenarnya, bukan hanya harga bahan pangan yang melonjak. Barang-barang lain, seperti pakaian, juga mencuat. Siapa yang sebenarnya memulai? Apakah karena permintaan meningkat, atau barang kebutuhannya yang kian langka pada masa-masa tersebut?Â
Saya perhatikan kenaikan bahan ini juga terjadi pada saat menjelang Maulud Nabi, Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri. Bagi yang punya uang barangkali tidak masalah. Beda lagi dengan mereka yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Uang Rp 2.000 pun, sangat besar nilainya.
Saya tidak tahu banyak tetang harga bahan pangan. Kecuali terkadang lihat di medsos, atau Mamak yang bercerita. Terlebih lagi, sebelas tahun terakhir saya tidak tinggal bersama orangtua di Sigli-Aceh. Beberapa harga bahan pangan yang utama mungkin saya tahu, seperti harga Ayam potong, Beras dan Gula. Tapi kalau tepung, minyak, telor, ikan segar, sayuran dan buah-buahan, harga standardnya, I have no idea at all.
Terkadang lepas Maghrib, saya diajak tuan rumah tempat saya tinggal di Malang, untuk mampir ke kedai kecil di depan masjid, sekedar membeli Mie, Gula, Minyak Goreng atau Telor.Â
Dalam beberapa percapakan kami beliau sampaikan, sebenarnya kalau beliau mau, bisa membeli di supermarket dekat rumah. Selain lebih nyaman, terjamin kualitasnya, juga harga lebih 'murah'. Seringkali ada promosi. "Hanya saja..." Kata beliau, "Kalau kita harus membeli ke supermarket setiap saat, sementara supermarket tersebut milik investor asing, lha yang akan membeli dagangan lokal milik rakyat kecil ini siapa?" Jangan hanya karena perbedaan harga yag tidak seberapa, kita membesarkan raksasa." Begitu katanya.
Ada ibrah bijak yang saya ambil dari kenaikan harga bahan pangan ini. Terkadang kita tidak peduli dengan harga barang-barang mahal di Mall atau Hipermarket serta toko-toko besar lainya untuk bahan makanan yang 'berkelas'. Tanpa kita pernah tawar, meski ratusan ribu Rupiah harganya. Sebaiknya kita begitu pelit dan sangat perhitungan dengan kenaikan harga bahan pangan yang dijajakan oleh pedagang-pedagang kecil di pasar atau milik tetangga. Bahkan begitu gigih kita menawar, padahal harganya hanya terpaut Rp 1000. Â Â Â
Oleh sebab itu, saat saya membeli Es Campur dan Cilok di atas, saya berpikir, kalau bukan kita-kita ini yang peduli, lantas kepada siapa lagi pedagang kecil ini berharap agar daganganya bisa terjual?