Polemik mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sudah bukan lagi hal yang asing  kita dengar. Isu yang dulunya dianggap terpinggirkan ini, kini merebak menjadi isu ketenagakerjaan nasional. Tak ayal karena TKI merupakan penyumbang terbesar devisa negara dengan angka pendapatan yang selalu naik dari tahun ke tahun. Tercatat sekitar 140 triliun dana TKI masuk ke dalam APBN pada tahun 2015.
Berkebalikan dengan keuntungan yang diperoleh negara, anggota TKI justru lebih sering muncul dengan  isu-isu miris seperti kekerasan, pemotongan gaji, penangkapan, deportasi, maupun pelecehan. Namun banyaknya kasus miris ini sepertinya tak menyurutkan minat masyarakat untuk tetap menjadi TKI di luar negeri. Menjadi TKI  seringkali menjadi pilihan terakhir untuk melangsungkan perekomomian keluarga.
Adanya legalitas dari pemerintah melalui  UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (PPILN), dan  ditambah dengan dibentuknya Badan Kesejahteraan TKI, nyatanya tak banyak merubah nasib penyumbang devisa terbesar negara ini. Banyak permasalahan yang muncul ketika seorang memutuskan untuk menjadi TKI. Baik dari sisi birokrasi, upah, majikan, maupun keluarga yang ditinggalkan.
Isu mengenai nasib anak yang ditinggalkan saat orang tuanya menjadi TKI seringkali luput untuk kita bahas. Padahal sekitar 80% dari TKI yang dikirim setiap tahunnya merupakan usia produktif, dengan mayoritas perempuan dan sebagian besar meninggalkan anak di kampung halaman. Banyaknya orang tua terutama ibu yang dikirim ke luar negeri menyebabkan pengasuhan anak cenderung terbengkalai. Dalam banyak kasus, ayah  yang menjadi pengasuh tunggal juga kurang mampu mengayomi aspek emosional dan pendidikan anaknya.
Pengasuhan pada dasarnya bersifat coparenting dimana ayah dan ibu memiliki tanggungjawab yang sama dalam mendukung tumbuh kembang anak. Dukungan dalam hal ini mencakup sisi intelektual, emosional, moral sosial, dan finansial. Pegasuhan oleh kedua orang tua saja tidak jarang menimbulkan masalah pada anak, apalagi jika ia harus kehilangan sosok salah satu maupun kedua orang tuanya.
Hasil studi menunjukkan bahwa anak dari keluarga TKI yang tumbuh tanpa orang tua yang lengkap cenderung memiliki masalah psikologis dan emosional (mudah marah, susah diajak komunikasi, tidak disiplin, manja, semua keinginan harus dituruti), masalah pendidikan (putus sekolah, prestasi rendah), masalah tumbuh kembang, kesehatan, dan menjadi korban kekerasan.Â
Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan terjadi lingkaran setan dimana setiap anak akan hidup tanpa merasakan kasih dari orang tuanya, menimbulkan banyak penyimpangan perilaku, dan akan melahirkan anak-anak yang juga  demikian. Sehingga beberapa puluh tahun kemudian permasalahan ini dapat menjadi beban masyakat.
Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan komunitas sebagai alternatif. Komunitas memiliki potensi  dan tanggung jawab yang besar dalam upaya melindungi anak-anak yang terbaikan. Merujuk pada  UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 20, masyarakat telah diamanatkan untuk berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Pendekatan pengasuhan melalui komunitas menjadi penting untuk menjamin hak-hak anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pengasuhan yang berbasis komunitas merupakan bentuk perluasan pengasuhan yang tidak hanya melibatkan orang tua, tetapi juga unsur-unsur dalam komunitas, seperti pemerintahan dan organisasi sosial dalam masyarakat di lingkungan tersebut.
Dengan adanya pengasuhan yang berfokus pada komunitas, pengasuhan anak diharapkan akan lebih efektif karena akan ada banyak orang yang terlibat dan memantau sehingga membantu mencapai proses tumbuh kembang optimal pada anak, meskipun tanpa kehadiran orang tua kandungnya.
Basis dari pembangunan peran komunitas dalam pengasuhan anak adalah partisipasi masyarakat yang akan  menumbuhkan kepekaan dan kemampuan meningkatkan pemberdayaan masyarakat, dengan dukungan material dan sosial dari pemerintahan serta dukungan intrinsik dari  masyarakat itu sendiri.