Twitter dan TikTok. Berdasarkan hasil rilis statistika yang dikeluarkan databoks, Indonesia menduduki urutan ke-5 dengan pengguna Twitter sebanyak 24 juta pada Januari 2023. Di samping itu, Tik Tok menduduki posisi ke-2 sebagai pengguna terbanyak di dunia dengan tercatat 112,97 pada April 2023. Dari hasil rilis data tersebut, baik media sosial Twitter dan TikTok sejatinya pengguna di Indonesia kian bertambah hingga bulan Juli 2023.
Beberapa tempo yang lalu, jagat dunia maya digemparkan dengan banyaknya pemberitaan terkait kasus bunuh diri di sejumlah media sosial. Acapnya perebakan berita tersebut tidak terlepas dari peran kemajuan teknologi, telekomunikasi, dan informatika saat ini yang menuntut kepiawaian setiap individu dalam menggunakannya. Salah satu media sosial yang tidak terlepas dari pengamatan adalahTwitter dan TikTok memiliki berbagai fitur yang telah diplotkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Secara garis besar, Twitter acap kali digunakan sebagai media berekspresi bagi setiap individu untuk menuangkan gagasan dan perasaan melalui tulisan yang dikemas ke dalam berbagai opini, cerita, berita, dan pelbagai hal kepada khalayak ramai. Tik Tok sendiri merupakan salah satu media sosial yang acap kali digunakan oleh individu sebagai media refreshing karena memuat berbagai konten menarik.Â
Bahkan, penggunaan kedua aplikasi ini kerap dijadikan sebagai media untuk mengakses berita-berita terkini dan berpotensi menggerakkan massa atas kejadian tertentu. Dalam hal ini, sosial media menjadi aspek yang sangat menarik untuk ditilik dalam dampak positif dan negatif yang dituangkannya.
Merebaknya pemberitaan bunuh diri yang terjadi beberapa tempo lalu tidak terlepas dari kecakapan media sosial dalam penyebarluasannya. Berdasarkan Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia, tercatat pada tahun 2020 resmi dinyatakan sebanyak 670 kasus bunuh diri terjadi di Indonesia. Data kian bertambah seiring berjalannya waktu hingga 2023 ini. Bunuh diri merupakan salah satu fenomena kematian yang menjadi momok menakutkan di kalangan masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Pajarsari, S. U., & Wilani, N. M. A. (2020) bahwa bunuh diri merupakan salah satu fenomena yang turut menghadirkan rasa takut dan ketidaknyamanan di lingkup sosial.
Lantas, apakah pemberitaan bunuh diri menjadi hal yang patut untuk dikritisi?
Jawabannya tentu iya. Pemberitaan bunuh diri menjadi hal yang patut untuk dikritisi jika pemberitaan tersebut sudah menimbulkan berbagai ketimpangan dampak di dalam masyarakat. Beberapa ketimpangan tersebut adalah hadirnya rasa takut, tidak nyaman, cemas, pergunjingan, bahkan kian pada fenomena copycat suicide atau yang kerap ditinjau sebagai efek Werther. Keleluasaan mengakses dan menyebarkan pemberitaan bunuh diri di jagat dunia maya menjadi hal yang patut untuk dikritisi.Â
Apa gunanya pemberitaan yang ditujukan berpotensi baik untuk mengedukasi justru menjadi ladang ujaran kebencian dan penghakiman? Bahkan, penyebarluasan tersebut berpotensi menghadirkan copycat suicide di dalam masyarakat.
Berbagai literatur telah mengkritisi mengenai fenomena copycat suicide atau efek Werther. Efek Werther merujuk pada Philips (1974) mengemukakan bahwa fenomena ini adalah peningkatkan angka kematian akibat bunuh diri setelah terjadi pelaporan media mengenai bunuh diri yang menimpa selebritas. Kendati belum ditemukan alasan kuat yang mendasari bahwa efek Werther ini berdampak langsung terhadap angka kematian. Namun, beberapa penelitian telah mengemukakan bahwa terdapat pola reaksi emosional setelah terjadi pemberitaan kasus bunuh diri yang ditandai dengan peningkatan kasus bunuh diri dalam beberapa periode silam.
Sebenarnya, pemberitaan kasus bunuh diri akan menjadi sesuatu yang mengedukasi apabila dikemas ke dalam konsep yang baik. Akan tetapi, pada realitanya penyebaran kasus bunuh diri dilakukan terlalu berdiarkari dengan menyebarluaskan video kejadian kepada khalayak luas secara gamblang, tanpa mempertimbangkan dampak dan kerugian terhadap pihak-pihak tertentu. Mengingat pula bahwa media massa saat ini sangat mudah untuk diakses oleh berbagai kalangan. Maka, tidak menutup kemungkinan bahwa penyebaran berita terlebih penyebaran video kasus bunuh diri berpotensi menimbulkan berbagai reaksi emosional yang beragam bahkan berlebih, yakni hingga pada ladang untuk menghakimi.Â
Alih-alih peduli terhadap keberlangsungan dan kesejahteraan hidup manusia, hal ini justru menunjukkan betapa minimnya kepedulian yang dimiliki kita sebagai manusia. Pernyataan di atas terdengar seperti sebuah paradoks, tetapi ketika kita turut mengambil bagian dalam penyebarluasan berita secara bebas maka kita secara implisit ataupun eksplisit sedang menunjukkan betapa kerdilnya empati yang kita miliki.
Perlu diketahui bahwa terjadinya kasus bunuh diri tidak terlepas dari adanya suatu tekanan psikologis besar yang dialami oleh individu. Maka kita sebagai manusia hendaknya mampu untuk memanusiakan manusia lain. Namun, kendati bunuh diri adalah sebuah perilaku yang tidak normatif, kita perlu untuk menunjukkan kebermaknaan diri sebagai manusia dengan tidak menghakimi hidup pribadi lain karena kita tidak mengetahui apa yang telah dan akan dilalui orang lain. Kita acap kali fokus pada kegiatan mengomentari sebuah fenomena daripada memikirkan solusi yang solutif guna menekan angka bunuh diri di negara ini.Â