Dewasa ini perlu kita ketahui bahwa stigma pembelajaran sejarah adalah pembelajaran yang membosankan yang hanya bentuk ceramah guru dengan peserta didik masih saja berlaku di sebagian besar sekolah di Indonesia. Pendidikan sejarah memainkan peran yang sangat krusial dalam pembentukan generasi muda berkaitan dengan perkembangan peradaban manusia dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Sukardi, 2011). Melalui pembelajaran sejarah, peserta didik diajak untuk mampu memahami dinamika masa lalu yang membentuk realitas saat ini. Dalam konteks ini. Filsafat pendidikan memiliki fungsi sebagai landasan yang membimbing metode serta tujuan pengajaran sejarah, dua aliran filsafat yang sering dibahas dalam kaitannya dengan pendidikan adalag pragmatisme dan eksistensialisme. Kedua aliran filsafat ini menawarkan perspektif yang unik yang bisa diterapkan dalam pembelajaran sejarah untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan juga relevan bagi peserta didik.
Aliran filsafat pragmatisme dan eksistensialisme memiliki tujuan yang sama dalam hal mendorong siswa untuk mampu berpikir kriris dan memahami sejarah sebagai suatu bagian yang penting dalam kehidupan mereka, meskipun berbeda dalam pendekatannya. Pragmatisme menekankan pada pengaplikasian yang praktis dan relevan dalam kehidupan sehari-harinya, sedangkan eksistensialisme lebih berfokus kepada kebebasan dari individu dan pencarian makna personal (Rika Widianita, 2023). Dalam penulisan esai ini, akan dibahas mengenai implementasi kedua aliran filsafat tersebit dalam pembelajaran sejarah, yang mencakup metode, relevansi, serta dampaknya terhadap pembentukan karakter peserta didik. Adapun tujuan utama dari penulisan esai ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana pragmatism dan eksistensialisme dapat diimplementasikan dalam pembelajaran sejarah. Dengan menganalisis pendekatan-pendekatan ini, esai ini memiliki tujuan untuk memberikan wawasan kepada para pendidik dan calon pendidik mengenai cara-cara yang efektif untuk meningkatkan pemahamaham peserta didik terhadap materi sejarah, menjadikannya relevan dengan kehidupan sehari-harinya, serta agar dapat membantu peserta didik menemukan makna personal dari peristiwa sejarah. Harapannya pembelajaran sejarah tidak hanya sekedar dijadikan sebagai alat transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana dalam pembentukan karakter peserta didik secara holistik.
Pragmatisme dalam Pembelajaran Sejarah
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menekankan bahwa kebenaran suatu konsep diukur dari konsekuensi logis dan memiliki manfaatnya dalam kehidupan nyata. Dalam konteks pendidikan, pragmatisme menekankan pada pentingnya pengalaman langsung serta pengaplikasian yang praktis dalam proses belajar mengajar (Topan, 2021). Tokoh seperti John Dewey memiliki pendapat bahwa pendidikan harus relevan dengan kehidupan nyata dan berorientasi pada pemecahan masalah (Satiri, Hasani Aceng, Nulhakim Lukman, Ruhiyat Yayat, 2024). Metode implementasi dari pendekatan pragmatisme dalam proses pembelajaran sejarah dapat dilakukan dalam beberapa cara yaitu Metode yang pertama adalah dengan melakukan Pembelajaran berbasis Pengalaman (Experiental Learning), yang dimana pada metode ini menekankan akan pentingnya sebuah pengalaman langsung dalam memahami sejarah. Guru dapat mengajak peserta didiknya untuk berkunjung ke berbagai situs sejarah, museum, ataupun melakukan wawancara dengan para saksi sejarah. Pengalaman seperti ini tidak hanya dapat membantu siswa untuk lebih memahami peristiwa sejarah secara mendalam tetapi juga membuat pembelajaran yang lebih menarik dan bermakna (Istiqomah et al., 2022).
Metode yang kedua adalah dengan melaksanakan Pembelajaran secara Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang dapat menjadi pilihan lain untuk menghubungkan materi sejarah dengan kehidupan nyata dari peserta didik. Misalnya aksi perjuangan kemerdekaan dapat dihubungkan dengan nilai-nilai kehidupan seperti kerja keras dan juga nilai solidaristas, sehingga peserta didik akan mampu memahami bagaimana sejarah itu relevan dalam kehidupan sehari-hari (Istiqomah et al., 2022). Metode Inkuiri juga dapat diterapkan yang bisa mendorong peserta didik untuk bertanya, meneliti, dan juga menemukan sendiri jawaban terkait dengan peristiwa sejarah. Dengan pendekatan seperti ini, peserta didik dilatih untuk mampu berpikir kritis dan melihat sejarah sebagai proses yang dinamis dan juga terus berkembang (Nidawati, 2022). Metode yang lain yang dapat diterapkan adalah Pembelajaran Kolaboratif yang dapat mengajak peserta didik untuk bekerjasama dalam kelompok untuk mendiskusikan berbagai perspektif dan juga menganalisis sumber-sumber sejarah. Pendekatan ini mengembangkan keterampilan sosial peserta didik sambal juga meningkatkan pemahaman mereka terhadap materi sejarah.
Metode yang terakhir adalah dengan pemecahan masalah atau problem solving, yang dapat menantang siswa untuk mampu menganalisis masalah nyata terkait dengan sejarah dan kemudian menemukan solusinya (Cholid, 2018). Misalnya, peserta didik dapat diminta untuk menganalisis penyebab dari terjadinya perang dunia dan mencari solusi yang mungkin mencegah konflik serupa di masa depan. Metode ini menekankan pada aplikasi praktis dari pengetahuan pembelajaran sejarah, sehingga peserta didik tidak hanya akan menghafal sebuah fakta tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitisnya.
Eksistensialisme dalam Pembelajaran Sejarah
Aliran eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan keberadaan dari individu, kebebasan, serta tanggung jawab pribadi (Chrismastianto et al., 2023). Dalam halnya konteks pendidikan, eksistensialisme menekankan akan pentingnya pengembangan dari diri sesuai bakat, minat serta kedirian masing-masing individu. Aliran filsafat ini juga mendorong peserta didik untuk menemukan makna dari hidup melalui refleksi mendalam terhadap pengalaman yang mereka alami (Daulay et al., 2024). Dalam pengimplementasian dari aliran filsafat eksistensiaslisme dalam Pembelajaran Sejarah menggunakan beberapa metode refleksi pribadi, pembelajaran berbasis pilihan, serta diskusi filosofis.
- Refleksi Pribadi: Melalui metode refleksi pribadi guru sebagai tenaga pendidik dapat meminta peserta didik untuk merenungkan hubungan peristiwa sejarag dengan kehidupan mereka, contohnya seperti bagaimana perjuangan pahlawan nasional dapat memotivasi mereka untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Dimana hal ini akan dapat mendorong peserta didik untuk menemukan makna personal dari peristiwa-peristiwa sejarah.
- Pembelajaran Berbasis Pilihan : Guru sebagai tenaga pendidikan dapat memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih topik sejarah yang mereka minati sehingga dapat meningkatkan rasa kepemilikikan dan tanggung jawab mereka terhadap pelaksanaan pembelajaran. Â
- Diskusi Filosofis: Guru sebagai tenaga pendidik dapat pula memfasilitasi dalam bentuk diskusi mengenai pertanyaan-pertanyaan yang mendalam, contohnya seperti "apa artinya menjadi manusia dalam situasi perang?" atau "Bagaimana pilihan individu dapat memengaruhi jalannya sejarah?" Pertanyaan semacam itu akan mendorong peserta didik untuk dapat berpikir kritis dan juga merenungkan makna yang ada di balik peristiwa sejarah.
Melalui pendekatan eksistensialisme, peserta didik diajak untuk dapat memahami sejarah yang tidak hanya sebagai ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai cara untuk menemukan identitas serta nilai-nilai yang mereka sendiri miliki. Hal ini akan dapat membantu para peserta didik untuk menjadi individu yang lebih reflektif dan bertanggung jawab.
Mengintegrasikan Pendekatan Pragmatisme dan Eksistensialisme dalam Pembelajaran Sejarah.
Pendekatan yang ideal dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah adalah dengan menggabungkan elemen-elemen terbaik dari aliran pragmatisme dan eksistensialisme. Kombinasi ini akan memungkinkan peserta didik untuk memahami sejarah sebagai alat untuk menghadapi tantangan praktis sekaligus sebagai sumber pemaknaan pribadi. Contohnya, saat mempelajari Revolusi Industri, guru dapat mengajak peserta didiknya untuk menganalisis dampak Revolusi Industri terhadap perubahan sosial saat ini (pengimplementasian dari aliran pragmatisme) sekaligus juga merenungkan bagaimana teknologi tersebut dapat memengaruhi kebebasan dari individu (pengimplementasian dari aliran eksistensialisme). Melalui pendekatan ini, pembelajaran sejarah akan menjadi lebih dinamis dan juga relevan bagi peserta didik.
Selain dari itu, integrasi kedua aliran filsafat tersebut akan membantu pembentukan karakter peserta didik secara menyeluruh. Dilihat dari perspektif pragmatisme, peserta didik dilatih untuk menjadi individu yang mampu memecahkan masalah dan juga berkontribusi pada masyarakat. Sementara itu, dilihat dari perspektif eksistensialisme, peserta didik diajak untuk menjadi individu yang lebih reflektif, bertanggung jawab, dan memiliki kesadaran akan makna hidup mereka. Dengan demikian, pembelajaran sejarah tidak hanya akan berfungsi sebagai sarana transfer pengetahuan saja, tetapi juga sebagai media pembentukan manusia yang utuh.
Pengimplementasian dari filsafat pendidikan pragmatisme dan eksistensialisme dalam pembelajaran sejarah menawarkan pendekatan yang lebih seimbang dan manusiawi. Dimana aliran pragmatisme dapat membantu peserta didik untuk memahami relevansi sejarah dalam kehidupan nyata, sementara aliran eksistensialisme membantu para peserta didik untuk menemukan makna personal dari rangkaian peristiwa sejarah. Dengan menggabungkan dua aliran pendekatan ini, pendidikan sejarah akan dapat menciptakan generasi yang tidak hanya memahami masa lalu tetapi juga dipersiapkan untuk mampu menghadapi tantangan-tantangan yang ada di masa depan secara bijaksana.
Dengan pula memanfaatkan pendekatan ini dalam pelaksanaan pembelajaran, pembelajaran sejarah tidak hanya akan menjadi lebih bermakna tetapu juga dapat membentuk peserta didik menjadi individu yang kritis, reflektif, dan berdaya guna tinggi. Pendidikan sejarah yang mengintegrasikan pragmatisme dan eksistensialisme akan menciptakan generasi yang mampu berpikir secara holistik serta bertindak dengan bijaksana, baik dalam hal untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan umum.