Mohon tunggu...
Nurychan
Nurychan Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi

Saya seorang ibu muda usia 25 tahun, pegiat literasi, dan guru TK

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Narasi Kebijakan Pajak, Kelabui Rakyat

18 Januari 2025   06:41 Diperbarui: 18 Januari 2025   06:48 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber foto : ruang kota.com)

Tak kunjung usai, permasalahan kenaikan pajak 12 persen masih menjadi perbincangan panas di berbagai kalangan, dengan mayoritas masyarakat dengan mantap menyuarakan penolakan. Bak menyahuti gema suara penolakan dari rakyat, Menteri Keuangan Sri Mulyani blak-blakan menyebutkan alasan mengapa warga RI harus bayar pajak, ia membeberkan alokasi uang negara yang dipungut dari masyarakat hingga negara mengutang kesana kemari. Sri Mulyani mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya sepanjang tahun 2024 lalu hingga 20%-nya dipakai untuk sektor pendidikan dalam negeri (CNBC Indonesia, 4-1-2025). Intinya, menurut pandangan Menteri Keuangan, membayar pajak adalah untuk kepentingan bersama. Pajak yang dipungut didelegasikan untuk berbagai aspek kehidupan terutama pendidikan. Pun dalam kebijakan naiknya PPN 12 persen, hanya item yang terkategori 'mewah' lah yang diberlakukan kenaikan tersebut. Sehingga dengan sedikit pengorbanan, manfaat yang dapat diwujudkan akan lebih besar. Kurang lebih seperti itulah bagaimana negara saat ini membangun narasi positif atas pemberlakuan kenaikan pajak.

Namun bila ditelisik lebih dalam, meskipun pemerintah meyakinkan bahwa PPN 12% hanya untuk barang mewah, tapi fakta di lapangan, kenaikan juga terjadi atas sejumlah barang dan jasa yang cukup sering diakses masyarakat sehari-hari. Sebut saja mulai dari renovasi rumah, membeli kendaraan bekas, sampai jasa distribusi, pengiriman paket, dan agen wisata. Terdampaknya pengenaan PPN atas sejumlah barang dan jasa itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang skema PPN di tahun 2025, yaitu tarif efektif 12 persen untuk barang-barang mewah dan tarif efektif 11 persen untuk barang-barang non-mewah. PMK 131/2024 menegaskan, besaran pungutan PPN atas barang dan jasa khusus itu selama ini mengacu pada tarif PPN yang berlaku. Artinya, meski tidak termasuk barang mewah, barang dan jasa itu tetap akan mengalami kenaikan pungutan PPN karena adanya kenaikan tarif PPN yang berlaku dari 11 persen menjadi 12 persen. Karena tarifnya naik menjadi 12 persen, berarti pungutan pajaknya pun ikut naik (Kompas.id 3-1-2025).

Ditambah, ketidakjelasan di awal mengenai barang mana saja yang akan terkena PPN 12%, menyebabkan banyak penjual memasukan PPN 12% pada semua jenis barang bahkan sebelum kenaikan tersebut disahkan. Ketika harga sudah naik, tak bisa dikoreksi ulang meski aturan menyebutkan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja. Kian runyam lah kondisi di tengah masyarakat saat ini.

Jadi, ungkapan bahwa : "Kenaikan PPN hanya untuk item mewah, tidak akan berdampak begitu besar bagi masyarakat." adalah narasi yang tidak tepat, bahkan menyesatkan dan terkesan mengelabui rakyat.

Dari sini nampak jelas, Negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah berpihak kepada rakyat, namun sejatinya abai terhadap penderitaan rakyat. Pun dengan dalih pajak untuk membiayai pendidikan dalam negeri, maka sesungguhnya itu adalah upaya Negara membebankan pemenuhan kebutuhan pendidikan rakyat kepada rakyat itu sendiri melalui dana pungutan pajak. Negara nampak berusaha untuk cuci tangan dengan didukung media partisan. Dan menyebutkan berbagai program bantuan yang diklaim untuk meringankan hidup rakyat. Kebijakan ini menguatkan profil penguasa yang populis otoriter.

Kebijakan mengecewakan ini bersumber dari hukum buatan manusia yang saat ini diterapkan Negara. Apabila menoleh kepada Islam, yang merupakan hukum sempurna karya dari Sang Maha Sempurna, akan kita dapati bahwa Islam mewajibkan penguasa sebagai raa'in (Pengurus), yang mengurus rakyat sesuai dengan aturan Islam. Tidak menimbulkan antipati pada rakyat, dan tentunya tidak akan membuat rakyat menderita. penguasa diwajibkan hanya menerapkan aturan Islam saja.

"Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah 'Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya." [HR Muslim].

Bahkan, Allah mengancam penguasa yang melanggar aturan Allah melalui Sabda Rasul-Nya :

"Sesungguhnya di dalam neraka Jahanam itu terdapat lembah, dan di lembah itu terdapat sumur yang bernama Habhab. Allah pasti akan menempatkan setiap penguasa yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran di dalamnya." [HR Ath Thabrani, Al Hakim, dan Adz Dzahabi]

Mari bergandengan tangan membumikan kembali Syariat Islam secara totalitas. Karena hanya dengan Islam lah Profil Penguasa idaman dan Negara dambaan dapat terealisasi. Wallahu A'lam...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun