[caption id="attachment_105542" align="aligncenter" width="300" caption="di gunung Lemongan-Lumajang-Jatim, masih ribuan lahan kritis yang perlu ditanami. mau bergabung menjadi relawan konservasi?"][/caption] Hijau itu indah. Selama kita tidak kehilangan pepohonan, terutama di wilayah resapan air dan green belt sebuah hutan lindung. Lantas bagaimana jika pepohonan terlanjur menghilang karena keserakahan praktik ilegal loging? Apakah kita akan diam saja? Tidak. Tidak boleh. Karena, jika kita diam saja maka sama halnya dengan mengabaikan masa depan anak cucu kita. Tegakah kita melihat mereka mati kepanasan di antara udara kotor beracun karena pohon-pohon yang menyaring udara telah musnah? Belum lagi mati konyol karena ketiadaan air bersih, seiring lenyapnya sumber-sumber mata air karena akar pepohonan yang mengikat tanah sekaligus menyimpan air telah habis ditebangi. Dan jika pohon-pohon terus lenyap dari hutan Indonesia, maka tidak mustahil negeri ini mengalami kesengsaraan sebagaimana Nigeria yang berarti "satu sungai besar di antara banyak sungai besar" pada tahun 1985 lebih dari separo wilayahnya ( 1.266.991 km persegi ) telah berubah menjadi gurun tandus. Dalam bukunya Totto-chan's Children, Tetsuko Kuroyanagi menulis: Aku membaca di sebuah buku bahwa panjang sungai Nigeria adalah 4.179 km - sungai ketiga terpanjang di Afrika. Lebarnya 0,8 km. Karena kekeringan berkepanjangan, 97,5 persen sumber air Nigeria yang sangat besar kini kering sama sekali. Sekarang hanya 2,5 persen sumber air yang tersisa. Di buku yang sama, percakapan antara gubernur Zinder - kota terbesar kedua di Nigeria - dengan Totto-chan dewasa yang menjadi duta kemanusiaan Unicef sejak tahun 1984, menjelaskan pada kita betapa buruknya kondisi suatu negara ketika pohon-pohon mulai menghilang. KetikTa tiba di Tanout - rumah makanan berlimpah - tadinya, sebelum wilayah tersebut disentuh sahara, Sang Gubernur berkata: "Miss Kuroyanagi, bisakah anda percaya bahwa empat tahun lalu di sini ada anak-anak dan rumah-rumah? Ada ladang di sini. Inilah yang terjadi jika hujan tidak turun." Dan kenapa hujan tidak bisa turun? Karena tidak cukup pohon. Pohon-pohon ditebangi secara menggila, lalu terjadilah kekeringan. Hutan berubah menjadi padang ilalang, dan saat iklim meningkat terlalu panas, padang ilalang berubah menjadi sahara. Dan sahara mirip penyakit menular, ia menjalar, menjamah wilayah-wilayah yang tadinya teduh dan tumbuhan berkembang biak dengan baik. Dan tanpa pohon tidak mungkin ada hujan. Hujan turun ke atas pohon dan rumput, tulis Totto-chan dewasa di halaman 63. Diserap oleh tanah, menguap, dan akhirnya menjadi awan. Kemudian turun lagi sebagai hujan. Dan karena yang terjadi di Nigeria pada tahun 1985 adalah kekeringan parah setelah menghilangnya pohon-pohon, telah berhasil membunuh ribuan manusia dan ternak karena udara panas dan kelaparan. Sebuah ironi karena ulah manusia sendiri. Dan Indonesia, bencana alam jenis apa yang tidak kita alami semenjak pohon-pohon dijarah penuh kerakusan dari hutan-hutan lindung? Di tempat saya, sebuah danau bernama Ranu Klakah yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar hanya tersisa enam mata air dari puluhan sumbernya di masa lalu. Dan tak butuh waktu lama untuk menunjukkan debit airnya yang menurun drastis. Dampak sosialnya jelas terasa, termasuk perseteruan masyarakat dengan PDAM yang akan merampas mata air yang tersisa untuk dialirkan ke desa-desa lain yang kekurangan air. Hampir saja ulah perusahaan air ini memecah belah persatuan antar masyarakat desa. Modus lama sebenarnya. Sementara, tatkala masyarakat adat di sekitar Ranu Klakah berusaha mengembalikan mata air yang mati dengan menanam pohon kembali, perusahaan jenis x atau siapapun yang harusnya bertanggung jawab, tidak mau ikut bersusah payah. So, tatkala negara tidak hadir untuk melindungi rakyatnya dari masalah 'hilangnya pohon-pohon' yang berdampak sosial dan lingkungan. Dalam kasus kami di Ranu Lemongan ( gunung dan danau-danau ) maka mau tak mau kami harus membuat gerakan menanam kembali. Bersama masyarakat pinggir hutan yang penuh semangat. Sehingga dari enam ribu hektar lahan hutan yang kritis itu sampai hari ini sudah berhasil ditanami seluas empat ratus hektar. Bersyukur pada Tuhan Yang Maha Penyayang karena kami melakukan aktivitas konservasi ini secara mandiri, yang pada waktu memulainya dipenuhi cemoohan orang-orang maupun kelompok-kelompok sok tahu dan berkuasa namun menolak berbuat nyata. Hikmah dari perjuangan ini, bahwa tak ada gunanya memiliki harta berlimpah dan jabatan bergaji besar jika tak berkontribusi dalam kehidupan sehingga kelak dikenang anak cucunya dengan bangga. [caption id="attachment_105543" align="aligncenter" width="300" caption="Surya, usianya baru 18 tahun, namun tekadnya sebagai relawan konservasi patut diacungi jempol. Tatkala anak muda seusianya bersenang-senang di rumah atau sekolah, Surya memilih tinggal di gunung dan menanam pohon."][/caption] Berbuat hal kecil namun bermanfaat dan terus menerus adalah awal bagi sebuah pergerakan yang menyatukan energi di seluas bumi, sejauh kakimu melangkah. Maka mengembaralah.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H