Mohon tunggu...
Rida Fitria
Rida Fitria Mohon Tunggu... Freelancer - An author of several books; Sebongkah Tanah Retak, Bunga dan Duri, Paradesha, Jharan Kencak, dll.

Ketika kita berkata, "Selamatkan bumi!" Sejatinya kita sedang menyelamatkan diri sendiri dan anak cucu dari bencana dan kepunahan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Novel Pelangi Filantropi ( Bagian Empat )

22 Mei 2011   02:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:22 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pemuda itu menyusuri pusat keramaian Vismarkt sambil menuntun sepedanya. Di depan Kleine winkels ia berhenti untuk membeli beberapa jenis camilan makanan laut yang lezat ditambah dua potong kroket. Setelah mengangsurkan uang pembayaran ia meneruskan perjalanan dengan tangan kanan mencengkeram setir dan satunya asyik menghantarkan aneka panganan hangat tersebut ke mulutnya.

Ia tak menyadari seorang pengendara sepeda di belakangnya mengayuh tergesa tanpa sengaja menyenggolnya. Sedetik ia kehilangan keseimbangan, kendati dengan sigap ia bisa menguasai keadaan dengan menjejakkan kaki kirinya secara cepat dan spontan, namun tidak sarapan paginya.

“ Hei!” ia berseru membuat penyenggolnya berhenti. Sesaat keduanya bertatapan, perasaan bersalah segera menghinggapi si penyenggol begitu pandangannya jatuh ke bawah. Kudapan berikut pembungkusnya terserak di tanah.

“ Sorry, sorry. Hei, don’t you  Academie Gebouw's student, do you?”

Penyenggol yang ternyata seorang gadis itu memundurkan sepedanya.

“ I’am Celine, student ‘s Academie G too,” ramah ia menyalami si pemuda.

“ Tanjung Satrio, from Indonesia.”

Menerima uluran tangan si gadis dengan ramah pula. Rasa kesal yang sebelumnya sempat menghinggap, menguap perlahan.

“ Indonesia? Amazing, aku punya kakek dan orang tua juga Indonesia.”

Mata pemuda itu membulat.

“ Kami tinggal di Almere, kecuali kakek aku. Ia bolak balik Paris-Holland.”

Lalu mereka meneruskan perjalanan dengan bersepeda bersama. Sebab tujuan yang sama, Rijksuniversiteit Groningen.

“ Di sini apa bersama keluarga?” Tanya Celine dengan logat pelo. Tapi menurut Rio, bahasa Indonesianya juga tak terlalu buruk. Ia bisa dengan mudah menangkap arah pembicaraan gadis itu.

“ Tidak, hanya sendirian saja.” Jawabnya lalu menoleh sekilas. “ Aku di sini sudah satu tahun, sejak 1996. Karena mencari seseorang.”

Kalimat terakhir yang diucapkannya lirih saja yang mungkin tak sampai terdengar oleh gadis itu. Sebab kemudian ia menyambungnya secara cepat dengan kalimat selanjutnya. “kalau kau dan keluargamu sudah berapa lama di Belanda?”

“ Aku lahir di Paris sebetulnya, lalu orang tuaku memilih menjadi warga Belanda. Dan kakekku warga Perancis.” Jelas gadis itu seolah tanpa beban, berbeda dengan Satrio yang disergap keheranan.

“ Kenapa begitu?”

“ Sebab pemerintahan Indonesia tidak menerima kakek dan orang tua kami. Begitu pun kami cucu-cicit mereka.”

“ Kenapa…” Satrio seketika teringat Harri. Abah Puh Silkya yang jadi klayaban dan tak diperbolehkan kembali oleh pemerintahan Indonesia. Kewarga negaraan mereka telah dicabut tanpa proses pengadilan apapun. Kecuali secarik kertas sakti dari Jakarta kala itu yang memuat sejumlah nama di luar negeri dan tiba-tiba saja merampas hak seseorang sebagai WNI.

“ Hei, jangan melamun. Perhatikan jalanmu!”

Pemuda itu segera tersadar dan meringis.

“ Maaf, aku teringat seseorang yang juga kehilangan kewarganegaraan Indonesia seperti kakek dan orang tuamu.”

Gadis itu tak meringis,  tak bersedih ataupun senang. Biasa saja, santai saja. Kecuali kalimat yang ia ucapkan kemudian dengan pandangan menerawang, Satrio bisa memahaminya.

“ Bisakah kita pindah topik?”

Satrio mengiyakan. Mereka terus mengayuh sepeda masing-masing sambil mengobrol. Bersepeda di Groningen memang sangat menyenangkan karena disediakan jalur khusus di samping jalur pejalan kaki dan jalur untuk kendaraan bermotor. Penduduk Groningen yang berjumlah 173. 000 orang itu hampir separuhnya memilih sepeda sebagai alat transportasi untuk pergi ke sekolah, universitas maupun tempat kerja. Dari pelajar sampai ekskutif berdasi, dosen, bahkan lansia. Mereka semua sangat mahir mengendalikan sepeda di tengah keramaian kota.

“ Hai, sampai juga akhirnya,” seru gadis itu lega. Keduanya memarkir sepeda berderet mengikuti garis parkir ratusan sepeda lainnya di bagian depan gedung utama academie gebouw atau nama resminya dalam bahasa Belanda, Rijksuniversiteit Groningen.

“ Sampai jumpa, Satrio.” Kata gadis itu melambai ketika mereka melewati gedung aula, jantung universitas yang dikelilingi beberapa gedung fakultas dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

“ Sampai jumpa, take care.” Rio membalas lambaian Celine sebelum gadis itu menghilang di sebuah koridor yang bercabang.

Rio memelankan langkah kakinya, beberapa saat membiarkan diri menikmati lukisan kaca karya seniman Belanda terkenal, Johan Dijkstra. Sementara mural karya Wout Muller yang menempel apik di dinding, menggambarkan sejarah pembangunan universitas dan kegiatannya.

Tapi bukan hanya itu yang menarik perhatian Rio, tradisi wisuda para mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya di aula yang indah itu, menghantarkan pandangannya ke salah seorang undangan. Tak percaya dengan kenyataan yang masih dicemaskannya sebagai mimpi semata, mendorong pemuda itu memasuki ruangan. Terus berjalan melalui sederet kursi yang dipenuhi para tamu dan wali. Di hadapan seseorang yang masih juga tak menyadari kehadiran dirinya, Rio berjuang menahanperasaannya.

“ Abah Puh….abah Harri?”

( tidak bersambung :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun