[caption id="attachment_150872" align="aligncenter" width="319" caption="Buwarti, perempuan penjinak kuda dari Lumajang."][/caption] Kemeriahan pesta hari jadi kota Lumajang yang dinikmati warga penuh antusiasme ini memang sudah berlalu, namun kenangannya seolah tak jua beranjak. Banyak sekali acara menarik yang disuguhkan masyarakat Lumajang baik secara mandiri maupun bersama-sama panitia pelaksana pemerintah daerah, dari pertunjukan fashion karnaval malam sebelum tanggal lima belas Desember, pesta kembang api yang bergiliran di sejumlah kecamatan, hingga kirab budaya yang seolah mengenangkan kembali kejayaan Lumajang kuna. Lumajang kuna adalah pusat kekuasaan Virabhumi atau kemudian yang dikenal juga dengan sebutan Balambwangan atau Blambangan, baru kemudian di era kesultanan Surakarta ( ketika sultan menyerahkan Lumajang pada Belanda ) kota ini dipisahkan/diiris dari wilayah-wilayah yang pernah ada di bawah pengelolaannya ( Malang, Pasuruan, Blambangan barat, dan Blambangan timur ). Itu kenapa Lumajang menjadi kota kuna yang sangat penting bagi para peneliti sejarah dan arkeologi. Belanda menyebut Lumajang sebagai 'kantong situs' dengan 161 peninggalan suaka budaya baik yang bergerak maupun tidak. Meskipun sejarah Lumajang begitu 'tidak dianggap' dalam sejarah nasional kita hari ini, faktanya terlalu banyak peninggalan sejarah yang tidak mungkin diabaikan sehingga masa lalu yang diam kerap 'berbicara' dengan sendirinya. Selain peninggalan tak bergerak seperti benteng kuna, candi-candi, epigrafi, dan lainnya. Lumajang memiliki banyak sekali peninggalan seni tradisi dan budaya, baik di bidang agraria ( Wiraraja dikenal sebagai raja yang sangat memperhatikan pertanian, karena itu jika anda berkeliling di wilayah Lumajang dan kota-kota lainnya yang dahulu menjadi nagaragung Virabhumi Lumajang, mungkin anda akan mengerti apa yang penulis maksud ) dan maritim ( sejak di Madura, Wiraraja sudah memiliki pelabuhan Batu Pote di sisi timur dan Tanjung bhumi di sisi barat Madura, karena itu tak aneh jika pelabuhan Banger di Probolinggo berjaya bahkan hingga tercatat dalam laporan residen/asisten residen Belanda yang menjabat kala itu, yang tinggal 'menyesap' madunya saja ). Perlindungan Politik Maju mundur sebuah negeri ditentukan oleh kebijakan politik yang diambil oleh pengelola negaranya, begitulah logika dalam kancah berbangsa dan bernegara. Entah pemerintahannya menganut sistem monarki ataupun demokrasi. Mengambil hikmah dari sejarah pemerintahan kuna yang umum berlaku di Nusantara, tentunya dibutuhkan cara pandang yang arif, yang sungguh-sungguh memperhatikan dan meresapi dasar-dasar dan nilai-nilai yang berlaku saat itu. Masalahnya, kita kerap tergelincir dalam perspektif bahwa apapun yang berasal dari masa kuna itu pasti ketinggalan zaman. Lupa bahwa Nusantara baik secara harfiyah maupun konsep berkebangsaan hari ini sudah tercetus sejak masa yang sangat jauh di belakang ( silah cek prasasti Mula Malurung lempeng 6b baris ke 5 ). Begitulah, ketika sebuah negara telah sampai pada kekuatan politiknya yang tak tergoyahkan, secara otomatis istilah subur makmur loh jinawi bukan semata isapan jempol. Demikian juga yang terjadi di Lumajang kuna. Pertanian di petakan, mana untuk kebun, yang mana untuk tanaman padi-padian dan palawija. Begitu juga wilayah peternakan, mungkin dalam hal ini kita masih bisa mencari jejaknya di Argosari/Lumajang selatan (sebelum kisah kebesaran para peternak dan pedagang kuda di wilayah ini menghilang sama sekali). Dan Lumajang Utara dengan tradisi turun temurun berternak sapi ras Madura ( dulu, sekarang sudah sapi campuran ). Dan tradisi hutan bambu tentu saja, sehingga anda yang menggilai bambu hitam/petung yang mulai langka kini, tidak mungkin menemukannya selain di kawasan lereng semeru yang notabene di masa lalu di bawah kekuasaan Lumajang. Begitulah, jika negara makmur, rakyat kenyang, maka bidang-bidang lain yang membuat kehidupan menjadi semakin semarak, diciptakan atau dikembangkan hingga ke titik yang paling maksimal. Salah satunya seni tradisi kuna Jharan Kencak. Hingga hari ini, setelah masa panjang pengabaian dan peminggiran, puluhan kelompok ( lebih dari 70 grup ) penggiat seni tradisi ini masih bertahan dengan ratusan ekor kuda milik mereka sendiri dengan perawatan yang membutuhkan biaya-biaya yang tidak murah. Padahal selain perawatan kuda, masih ada aksesoris yang sangat luar biasa dalam hal detil baik model maupun warna, yang tentunya juga membutuhkan dana yang besar. Sementara kehidupan ini sendiri ( terkait para penggiat seni tradisi Jharan Kencak ), pastinya, memerlukan biaya-biaya yang lebih besar lagi. Alhamdulillah, mereka terus bertahan, karena akar yang kuat menghunjam, warisan terindah dari para leluhur Lumajang Virabhumi yang agung. Kesetaraan Gender Dalam Seni Tradisi Dalam sejarah Lumajang, perempuan ikut andil dalam pengelolaan negara bukan hal yang aneh. Nararya Kirana adalah seorang maharani yang disyahkan Wisnuwardhana menjadi juru (pemimpin) Lumajang pada tahun 1255 masehi. Itulah kenapa wilayah dimana benteng Biting berdiri meliputi 135 hektar itu disebut Kutorenon, dan bukan Kutoraja. Dan dalam semua era, ketika Lumajang melakukan perlawanan, terutama di era kolonial belanda, perempuan maju sebagai srikandi perkasa yang tak gentar melawan penjajahan. Pada perayaan hari jadi kota Lumajang lalu, penggambaran tentang ikut andilnya kaum perempuan Lumajang di semua bidang tergambarkan dengan apik. Salah satunya adalah pengiring tarian Jharan Kencak, bahkan salah seorang pawang mereka adalah perempuan. Dengan penuh percaya diri, perempuan tangguh ini berlaga di lapangan, menunjukkan kepiawaiannya dalam memberikan perintah-perintah dan aksi apa yang harus dilakukan oleh si kuda. [caption id="attachment_150871" align="alignnone" width="408" caption="Penari Kopyah yang jenaka, kaum hawa pun tak mau ketinggalan"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H