Mohon tunggu...
Rida Fitria
Rida Fitria Mohon Tunggu... Freelancer - An author of several books; Sebongkah Tanah Retak, Bunga dan Duri, Paradesha, Jharan Kencak, dll.

Ketika kita berkata, "Selamatkan bumi!" Sejatinya kita sedang menyelamatkan diri sendiri dan anak cucu dari bencana dan kepunahan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Jatuh Cinta Pada Bahasa

10 Agustus 2012   03:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:00 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miminjam istilah orang luar jika menyebut bahasa nasional kita yaitu bahasa Indonesia, dengan kata 'bahasa' saja. Sudah umum bagi mereka berkata, "Saya belajar Bahasa" atau "Mari bercakap menggunakan bahasa" dan orang-orang di sekitar si orang asing sudah mengerti jika yang ia maksud dengan 'bahasa' adalah bahasa Indonesia. Namun demikian, kali ini saya bukan hendak menulis tentang orang asing dan bagaimana mereka memandang atau memperlakukan bahasa nasional kita ini dalam kehidupan mereka. Sesuai judul tulisan ini, Jatuh Cinta Pada Bahasa, bermula dari ingatan saya pada pengakuan sejumlah penulis tanah air, yang bercerita dan menulis betapa mereka sangat mencintai bahasa Indonesia, bahkan salah seorang dari mereka berkata  (saat itu dia sedang berada di luar negeri), "Bahkan saat bermimpi pun saya tetap berbahasa Indonesia." Sebagai rakyat Indonesia, dan sebagai penulis yang sejak kecil telah akrab dengan buku-buku bacaan berbahasa Indonesia (hal ini agak tidak lumrah karena lingkungan saya tumbuh lebih banyak menghadapkan saya pada teks-teks Arab selain penggunaan bahasa lokal yang lebih dominan dalam keseharian ), saya merasa senang, merasa menemukan banyak teman. Sejak kecil, meski tanpa saya sadari, saya lebih suka membaca buku yang menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa-bahasa lainnya. Dan begitu memasuki sekolah lanjutan pertama, saya mulai menulis puisi. Puisi yang menggambarkan kecintaan pada Tuhan hingga kegalauan dalam masa-masa ababil tersebut. Harus saya akui, pada fase ini, menulis puisi sangat membantu jiwa abege labil saya kala itu. Daripada marah tak jelas, saya sudah tahu bagaimana mengalihkan serangan galau itu dengan menulis puisi. Walau terkadang memang tak selalu berhasil, ada saat-saatnya tergelincir lalu bangkit lagi. Walau tergelincir di sini dalam artian hanya sebatas 'jebloknya nilai sebuah mata pelajara tertentu' dimana jeblok itupun bukanlah jeblok yang parah, tidak sampai menuai angka merah di dalam raport. Jeblok paling parah yang saya alami seperti, ranking yang merosot, namun jarang sekali keluar dari tiga besar. Ya, bisa dibilang senakal-nakalnya saya hanya sebatas masalah raport saja. Tentunya hal ini berkat nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua dan lingkungan pesantren dimana saya menghabiskan masa kecil dan masa remaja di sana; salah satunya adalah pendidikan membaca, yang kemudian menjadi kebiasaan yang mendarah daging di dalam diri saya. Membaca buku, sejak usia SD sudah begitu saya gemari. Saya ingat kala itu, jika tidak bermain dengan teman-teman di luar rumah, maka sudah bisa dipastikan saya akan mengeram di ruangan penuh buku milik Ayah saya. Ayah saya seorang pengajar, memiliki ratusan santri, dan seorang kepala di Kantor Urusan Agama. Bisa dibayangkan jenis-jenis buku yang dominan ada di lemari buku beliau. Lucunya saya kok ya enjoy saja. Karena saat itu belum ada internet, buku sungguh hal yang paling luar biasa dalam hidup saya. Apa yang menarik yang ada di dalam buku, selain membuka wawasan dan mengajak mengembara ke dunia yang lebih luas, buku-buku berbahasa Indonesia itulah Cinta Pertama saya. Karena cinta maka saya pun bisa betah berlama-lama di sana; duduk, leyeh-leyeh, bahkan hingga tertidur di antara tumpukan buku-buku yang saya turunkan dari rak. [caption id="attachment_199274" align="aligncenter" width="300" caption="Aroma kayu dan buku-buku, dua hal yang selalu membuat bahagia saya...(dok.pribadi)."][/caption] Setelah lebih dari sepuluh tahun, memutuskan menjadi seorang penulis novel, jika diingat-ingat betapa apa yang saya jalani hari ini telah menemukan dirinya sendiri bahkan sejak usia saya belum genap sepuluh tahun. Bedanya, saat itu tidak ada kesadaran atau impian yang terang jika kelak saya akan menjalani hari-hari saya sebagai penulis buku. Yang terasa saat itu hanyalah bagaimana caranya supaya buku yang saya baca tidak habis-habis, dan kalau sedang sedih saya bisa tetap membaca buku seraya menulis puisi atau membuat catatan di dalam buku diary. Dan bahasa Indonesialah yang mewarnai narasi-narasi saya itu, sejak mula sekali saya ingin menulis. Bukan bahasa yang lain. [caption id="attachment_199280" align="aligncenter" width="300" caption="Saya menulis, dimana saja, dengan bahasa yang paling saya cintai, bahasa Indonesia."]

1344569734702133342
1344569734702133342
[/caption] Ramadhan, 10/08.2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun