Relawan kita yang satu ini sangat tak biasa. Perawakannya kecil namun semangat dan cintanya pada gunung Lemongan rasanya tak tertandingi siapapun. Ia seorang buta huruf, dan tidak tahu nilai nominal rupiah. Kadang-kadang ia menjual kayu ke pasar dan menerima berapa saja orang menghargai dagangannya. Semenjak ada posko di gunung ia kerap tinggal dan menginap di sana. Pak Sanan seorang yang aktif, sepanjang yang kami ingat selama bertahun-tahun mengenalnya, ia tak pernah diam. Entah menanam, mencabut gulma, memperbaiki jalan menuju posko, memetik sayur, dan pastinya ikut terlibat dalam semua kerja-kerja fisik. Ketika Laskar Hijau harus mendirikan posko baru, pekerjaan Pak Sanan bertambah sebagaimana relawan lainnya. Mengumpulkan batu, pasir, lalu mengangkutnya ke posko. Dalam proses pembangunan, seperti yang kita tahu tentu saja tidak berhenti hanya pada kesibukan menimbun batu dan pasir. Bersama para relawan lain, Pak Sanan bahu membahu dalam pekerjaan hingga ke proses pengecoran lantai dua. Selama berhari-hari kerja keras itu, mungkin karena terlalu lelah dan tinggal di posko lama yang di malam hari menjadi lebih dingin, Pak Sanan jatuh sakit. Namun demikian ia masih memaksa tinggal dan tidak pulang ke rumah. [caption id="attachment_165066" align="alignnone" width="300" caption="Pak Sanan, yang ketika sehat tak akan pernah membiarkan tubuhnya diam terlebih ketika relawan lain sedang bekerja."][/caption] Dulu, sebelum laki-laki ini diajak bergabung dalam kegiatan penghijauan, orang-orang di kampungnya menganggap dia seorang gila. Bermula pada suatu peristiwa ketika Pak Sanan menghilang di dalam hutan dan baru kembali setelah hari yang ke empat puluh. Keluarga, isteri dan anak-anaknya, sudah menganggap Pak Sanan meninggal. Sebagaimana yang diketahui orang-orang desa bahwa jika seseorang hilang di dalam hutan maka orang itu tak mungkin kembali lagi. Jadi, hal yang menimpa Pak Sanan, di kawasan lereng gunung Lemongan itu bukan yang pertama kalinya. Sejumlah orang hilang dan tidak pernah kembali lagi. Karena itu keluarga melakukan acara tahlilan seperti umumnya umat Islam ketika salah seorang anggota keluarga mereka meninggal. Â Waktu berlalu, namun kehilangan kepala keluarga dalam rumah tangga yang sangat miskin sungguhlah berat. Mungkin Tuhan sedang ingin membuat lelucon, menghibur keluarga ini dengan caraNya. Setelah puluhan hari dipisahkan, Pak Sanan kembali. Ia merasa heran kenapa anak isterinya menangis, yang dengan lugu bertanya, "Aku cuma pergi setengah hari, ada apa ini?" Di kemudian hari Pak Sanan bercerita pada kami, bahwa seekor harimau besar mengajaknya bermain. Ia bahkan dihadiahi gigi harimau yang ia kenakan sebagai hiasan kalungnya hingga hari ini. Dan kini Pak Sanan sedang sakit. Dan baru mau pulang setelah Mak Kaeh-nya ( Pak Kyai ) memohon supaya ia beristirahat di rumah. Ah, Pak Sanan....tadi kami ke gunung dan tak melihatmu di sana. Sudah sembuhkah dikau?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H