Mohon tunggu...
Rida Fitria
Rida Fitria Mohon Tunggu... Freelancer - An author of several books; Sebongkah Tanah Retak, Bunga dan Duri, Paradesha, Jharan Kencak, dll.

Ketika kita berkata, "Selamatkan bumi!" Sejatinya kita sedang menyelamatkan diri sendiri dan anak cucu dari bencana dan kepunahan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nikmat Ramadhan dan Agenda Menulis

4 Agustus 2011   03:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:06 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kan lapar, masak nikmat sih? Tiga puluh hari pula...mana tahannn! Belum lagi godaan-godaannya. Di siang hari yang terik, iklan dan acara televisi mempertontonkan semua yang segar-segar sehingga membuat tenggorokan para shoim semakin kering dan cacing di dalam perut semakin keras melancarkan aksi protesnya. Dan warung makanan di pinggir jalan, hanya pekan pertama yang tampak sepi, setelah itu ramai pembeli lagi. Yang tidak tahan haus dan lapar bisa menyelinap masuk. Kan banyak temannya. Hehehe

Namun sebenarnya, bagi yang terbiasa menahan lapar dan haus sedari imsak hingga maghrib, sungguh ramadhan itu menyenangkan sekali. Bagi banyak keluarga ramadhan bisa jadi ajang berkumpulnya semua anggota, terutama di waktu-waktu berbuka, shalat tarawih, tadarus, dan sahur. Selain itu, puasa membuat kita jauh lebih sehat. Gula darah turun, begitu juga kolesterol tinggi ( dengan catatan tidak balas dendam saat berbuka:). Sel-sel mati dalam tubuh diperbaharui, 'mesin' pencernaan yang bekerja keras selama sebelas bulan kemarin 'diistirahatkan'. Jadwal kegiatan kita 'dibalik' dan ini sangat bagus bagi aktivitas maupun perasaan monotan. Selama satu bulan penuh kita menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda. Betapa Maha Pengasih Dia yang telah menciptakan bulan Ramadhan. Ramadhan mengajari kita tidak memandang duniawi secara berlebihan, berbagi dengan orang yang membutuhkan, dan mengingat kembali esensi hidup, kehidupan ukhrawi dan kemana kelak menuju.

Secara pribadi, Ramadhan bagi saya adalah ajang menguatkan karakter. Dulu saat masih anak-anak, di usia TK pun orang tua saya nyaris mewajibkan saya ikut puasa. Meski di usia ini masih boleh ada makan siang lalu dilanjutkan lagi hingga maghrib. Masuk SD saya dan saudara-saudara berlomba puasa hingga maghrib meski terkadang saat mandi bersama teman-teman di sumber mata air yang jernih seringkali diwarnai dengan acara menyelam sambil minum air. Tapi di usia delapan dan sembilan tahun, saya sudah berpuasa secara kaffah, tidak lagi mencuri minum di siang hari yang terik. Mungkin karena malu, karena di masa ini saya sudah tinggal di pesantren milik sebuah keluarga dari pihak Ayah saya.

Mungkin sebagian orang akan menilai orang tua saya mempraktekkan metode pendidikan yang terlalu saklek atau bahkan keras. Tapi sungguh, jika saat itu memang terasa menderita terutama di siang hari dan waktu sahur. Namun kenangan bahagia saat berbuka yang begitu heboh, berkeliling dengan obor di malam hari (dan akan lebih heboh lagi di malam takbiran ) dan semua kenangan kebersamaan di mushalla ayah saya dan santri-santrinya...jikapun hidup untuk kedua kalinya di masa yang berbeda maka saya tetap ingin memiliki kenangan ini. Satu hal yang saya pelajari di masa kecil pada bulan Ramadhan adalah kebersamaan dan bagaimana menjadi membumi. Saya pelajari semua itu dari mendiang Ayah saya. Beliau adalah seorang yang tampan, sukses di dalam karir dan tentunya cukup sibuk dengan pekerjaan kantor di siang hari namun seumur hidupnya tak pernah absen mengajari santri-santrinya di mushala (cikal bakal masjid pertama di kampung kami) kecuali hari Jum'at - acara pengajian untuk kaum laki-laki dewasa yang juga diprakarsai Ayah saya - dan saat sakit  menjelang akhir hidupnya lima tahun lalu.

Ramadhan memang momen indah untuk kontemplasi, melihat ke dalam jiwa seraya bertanya, sebagai generasi hari ini dengan didikan dan pengorbanan generasi pendahulu, mampukah kita setidaknya menurunkan generasi penerus yang sama dalam nilai dan akhlak  jika tidak bisa lebih baik?

Nikmat Ramadhan lainnya bagi seorang penulis yang di hari-hari biasa pun suka lupa makan ini - saat terlalu asyik menulis atau membaca buku bagus - adalah tawaran menulis dari sana sini yang seringkali menggiurkan tidak melulu karena menyangkut tema namun juga nilai nominalnya hehehe. Karena nasehat Nabi Saw tentang 'makanlah hanya saat lapar dan minumlah tatkala haus'  maka berlapar-lapar dan berhaus-haus bagi saya sejauh ini - alhamdulillah - sama sekali bukan hal berat. Mungkin karena di luar hari-hari puasa pun, makanan tidak menjadi prioritas kecuali untuk 'meneggakkan punggung' saja. Beda dengan anak-anak, tubuh orang dewasa kan tidak mungkin tumbuh lagi ya, begitupun kebutuhannya terhadap makanan.

Semoga bulan puasa kali ini, pahalanya dapat, proyek menulisnya juga jalan dan selesai sebelum deadline. Amien!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun