Mohon tunggu...
Rida Fitria
Rida Fitria Mohon Tunggu... Freelancer - An author of several books; Sebongkah Tanah Retak, Bunga dan Duri, Paradesha, Jharan Kencak, dll.

Ketika kita berkata, "Selamatkan bumi!" Sejatinya kita sedang menyelamatkan diri sendiri dan anak cucu dari bencana dan kepunahan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

17-an Bersama Buku-buku Tua

17 Agustus 2012   03:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13451676191196080734

[caption id="attachment_200702" align="aligncenter" width="300" caption="Buku Tua Berisi Pidato Bung Karno Pada Hari Kemerdekaan tahun 1965"][/caption] Sangat menarik apa yang dikatakan oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama ini, terutama pada alinea kedua. Beliau berkata: Hari ini, detik ini, rasa hatiku luluh menjadi satu dengan hati Rakyatku, dengan hati Tanah  airku, dengan hati Revolusi. Fikiran dan perasaanku berpadu dengan fikiran dan perasaan semua saja yang mencintai dan membela Indonesia tanah tumpah darah kita, di kota-kota di desa-desa, di gunung-gunung dan pantai-pantai, dari Sabang sampai Merauke, dari Banda Aceh sampai Sukarnapura, bahkan juga dengan Suadara-saudara kita sesama patriot yang kini menjalankan tugas di kelima-lima benua di bola bumi ini !  Hari ini nama kita bukan Sukarno, bukan Subandrio, bukan Ali, bukan Yani, bukan Nasution, bukan Idham, bukan Aidit, bukan Dadap bukan Waru, bukan Suto bukan Nuojo, bukan Sarinah bukan Fatimah, - hari ini nama kita ialah  I n d o n e s i a  !   Jabatan kita ? Hari ini kita bukan Kepala Negara bukan Menteri, bukan pegawai bukan buruh, bukan petani bukan nelayan, bukan mahasiswa bukan seniman, bukan sarjana bukan wartawan, - hari ini jabatan kita adalah P a t r i o t !  Gatutkaca Patriot Indonesia ! Urusan kita ? Urusan kita hari ini - dan bukan hanya hari ini tetapi seterusnya - urusan kita bukan semata-mata politik, bukan melulu ekonomi, bukan hanya kebudayaan, bukan mligi ilmu, bukan militer thok, - urusan kita adalah K e m e r d e k a a n ! Pidato setebal 49 halaman, yang dikutip dari penerbitan khusus Departemen Penerangan RI, sungguh sangat terasa sekali semangatnya. Dan seperti yang kita tahu, bahwa pidato Bung Karno selalu saja ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia, bukan semata-mata karena cara berorasinya yang tak tertandingi melainkan juga karna isi dari pidatonya yang berjiwa dan ber-ruh, menyentuh seluruh lapisan masyarakat, bukti bahwa sang Presiden sangat baik mengenal rakyatnya. Dalam buku ini jelas terlihat penghargaan sang presiden dan sistem, betapa ia menulis kata 'rakyat' itu dengan R (huruf besar) selain tentunya kepeduliannya yang tidak bisa disembunyikan terhadap negara dan rakyatnya di seluas Republik ini dengan aksi-aksinya yang heroik yang tidak saja membanggakan kita namun juga mencengangkan dunia Internasional. Di buku yang sama, kita tahu siapa saja dari kalangan luar yang hadir, sebagai simbol dukungan mereka dan persahabtan mereka dengan sang Presiden. Secara khusus Bung Karno menyebutkan mereka : Hari ini hadir di tengah-tengah kita kawan-kawan seperjoangan kita dari berbagai negeri. Mereka ada yang duduk di belakang saya di Istana Merdeka, ada yang duduk di belakang saya ini, di mimbar ini, yaitu kawan kita P.J.M Stoica, Presiden Rumania. Hadir di sini eksponen-eksponen dari Afrika revolusioner ; dari Amerika Latin revolusioner; dari Asia revolusioner; hadir pula di sini wakil-wakil dari Eropa. Mari kita ucapkan terima kasih dan salut kita kepada mereka! Seperti yang kita tahu bahwa tahun-tahun ini, perang dingin antara Amerika dan Rusia sedang panas-panasnya, berebut pengaruh di seluruh dunia. Dalam pidatonya Bung Karno mangajak rakyat Indonesia mengevaluasi 20 tahun Indonesia Merdeka, dan bagaimana mengisinya. Dalam melakukan hal nyata bagi negara, dikiyaskan oleh Sukarno seperti orang menikah. "Jangan menunggu gedung, jangan menunggu permadani, jangan menunggu tempat tidur yang mentul-mentul, jangan menunggu meja kursi yang selengkap-lengkapnya, jangan menunggu sendok garpu perak satu set, jangan menunggu kinder-uitzet dulu, baru kawin. Tapi kawinlah kalau sudah punya gubuk, satu tikar, satu periuk...." Pesan penting dari sang Proklamator adalah, bekerjalah, berusahalan, dan kukuhlah! Ia kemudian mencontohkan, bahwa Lenin juga tidak punya apa-apa sebelum Revolusi Oktober. Tapi lihat kemudian, Lenin sudah punya Djnepropetrovsk, yaitu dam besar di sungai Djnepr, punya stasion radio, kereta api, creches, dan sebagainya. Dari pidato beliau hari ini kita jadi tahu, bahwa di Asia, Indonesia termasuk negeri yang paling pertama melemparkan belenggu imperialisme ke dalam lautannya sejarah dan yang menegakkan satu Republik dengan mukaddiman UUD 45 nya yang agung dan fenomenal yang memiliki azas : merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bersamaan dengan Indonesia berjuang mengusir penjajah, orang-orang yang disebut Sukarno sebagai "kawan-kawannya" juga berjuang melepaskan belenggu perbudakan atas rakyatnya. Seperti Ho Chi Minh di Vietnam, Kim Il Sung di Korea. Bersama-sama mereka menciptakan sebuah poros yang disebut Poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang. Ritual 17-an seharusnya tidak hanya berhenti pada kesemarakan upacara dan karnaval-karnaval, dan sebenarnya memang kita tidak perlu pesimis. Bahwa semangat patriotisme generasi hari ini pun masih berdenyut dan menggeliat, setidaknya kita masih merasakan atmosfer perjuangan dan kepedulian anak bangsa pada negaranya melalui berbagai upaya-upaya kerelawanan seperti Gerakan Indonesia Mengajar, Gerakan Indonesia Menulis, Gerakan Indonesia Peduli Buruh Migran, Gerakan Indonesia Hijau, dan aksi-aksi membanggakan lainnya yang digagas dan digerakkan oleh anak bangsa dari berbagai kalangan dan latar belakang. Kenyataan jika tidak mudah merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, dengan pengorbanan yang sangat besar dan luar biasa dari para pejuang sejak berabad-abad lalu sekalipun di sana sini mengalami genosida dan pembantaian-pembantaian yang mengerikan....beliau-beliau yang tercatat maupun yang tidak tercatat di dalam buku-buku sejarah, semustinya jika jasa-jasa para kusuma bangsa ini harus terus menerus diingat. Bagaimana kita mengingat mereka? Adalah dengan menjaga apa-apa yang mereka tinggalkan, negeri ini dan segala sesuatu yang berada di dalam pelukan ibu pertiwi. Jika tak bisa merawat Indonesia yang besar, mari mulai dari yang kecil-kecil dulu, bahkan sekalipun hanya dengan merayakan 17-an dengan membaca buku-buku tua peninggalan beliau-beliau lalu menuliskannya kembali sebagai hasil renungan, warisan kita bagi generasi yang akan datang. Tabik

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun