Mohon tunggu...
Rico Rumambi
Rico Rumambi Mohon Tunggu... -

(pernah) Atlet Nasional yang sekarang mengabdi di sebuah perusahaan BUMN dan ingin berbagi cerita & pengalaman lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orangtua Bangga Terhadap Anak atau Anak Bangga Terhadap Orangtua?

16 Juli 2017   02:43 Diperbarui: 16 Juli 2017   06:56 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia tidak dapat memilih lahir dengan kondisi seperti apa. Manusia lahir dengan kondisi yang berbeda-beda, ada yang dilahirkan dalam keluarga kaya, miskin, atau keluarga sederhana. Meski demikian, dirinya sendiri lah yang akan menjalankan dan menentukan hidupnya dewasa nanti.

Peralihan dari remaja menjadi dewasa (usia 20-an) merupakan fase yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang. Waktu dimana seseorang sedang berusaha menyelesaikan studinya, maupun baru memasuki dunia kerja bahkan sedang merasakan sulitnya mencari pekerjaan.

Pada fase ini, apabila anak dengan orangtuanya memiliki selisih usia 20-30 tahun, itu berarti sang orangtua juga masih dalam usia kerja, dimana rata-rata usia pensiun di Indonesia adalah 58 tahun.

Aktivitas yang dilakukan seorang remaja yang beralih menjadi dewasa kebanyakan hanya ada dua, yaitu kuliah atau kerja. Dimana, apabila sudah bekerja, sang remaja yang sedang tumbuh tersebut baru saja memulai karirnya, dengan pengalaman dan pendapatan yang belum seberapa. Sedangkan, sang orangtua sudah dalam usia yang matang, yang apabila mengikuti tangga karir yang benar, seharusnya sang orangtua sudah pada posisi yang baik/cukup tinggi, diikuti dengan pendapatannya.

Walaupun, pada kenyataannya tidak demikian. Banyak kondisi dimana meski secara usia sudah matang, tetap saja memiliki karir yang kurang baik atau biasa-biasa saja. Pendapatan yang ada hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja, bahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari saja masih kurang.

Berdasarkan pengamatan saya sehari-hari, ada dua kondisi antara anak dengan orangtua yang ingin saya bahas dan bandingkan. Kondisi pertama, adalah kondisi dimana sang orangtua sangat mapan, sehingga sang anak dapat menikmati fasilitas-fasilitas yang dengan mudah didapatkan/diberikan oleh orangtuanya. Sekalipun dalam kondisi ini sang anak sudah bekerja, karena hitungannya masih pemula dalam dunia kerja, pendapatannya pun tidak seberapa, apalagi dibandingakan pendapatan orangtuanya. Sehingga dalam kehidupan nyata, pada kondisi pertama ini, sang anak masih banyak menuntut dari orangtua atau juga sang orangtua yang justru masih memberikan fasilitas kepada sang anak dengan alasan untuk membahagiakan anaknya.

Kondisi kedua, adalah kondisi ketika sang orangtua memiliki pekerjaan/karir dan pendapatan yang biasa-biasa saja dan sang anak masih kuliah atau baru saja bekerja. Dengan kondisi orangtua yang biasa-biasa saja, tentu tidak banyak yang dapat dituntut oleh sang anak, kecuali kebutuhan sehari-hari. Justru, dalam kehidupan nyata, pada kondisi kedua ini, banyak anak yang menyisihkan pendapatan mereka untuk diberikan kepada orangtuanya (untuk membeli bahan makanan, bayar listrik, air, kontrakan dll).

Kedua kondisi diatas sama-sama menimbulkan kebanggaan, posisinya saja yang berbeda. Dimana, kondisi pertama adalah sang anak yang bangga terhadap orangtuanya, bisa karena orangtuanya terpandang atau materi yang dimiliki orangtuanya. Dan pada kondisi kedua, sang orangtua lah yang bangga terhadap anaknya, karena dapat "ditraktir" oleh anaknya.

Sebelum menulis artikel ini saya sempat melakukan beberapa wawancara santai dengan teman-teman remaja saya yang sedang beralih menjadi dewasa. Semua yang saya wawancara memiliki kondisi seperti pada kondisi kedua (orangtua bangga terhadap anak). Saya menanyakan pendapat mereka bagaimana menjadi anak seperti pada kondisi kedua, dan semua memiliki jawaban yang sama. Mereka semua bangga dapat berkontribusi terhadap keluarganya, namun dengan jujur mereka berkata juga ingin bisa merasakan berada dalam kondisi pertama (anak bangga terhadap orangtua). "Enak aja kayaknya, bisa dapetin apa aja yang kita mau dengan gampang, tinggal minta." ucap narasumber yang juga teman saya. "Bukannya ga bersyukur, manusiawi sih punya perasaan seperti itu. Tapi saya juga bangga karena bisa traktir-traktir orangtua, walaupun ga seberapa sih, sesuai kemampuan aja."

Kembali lagi seperti dikatakan di awal, bahwa manusia tidak bisa memilih lahir dari keluarga mana dengan kondisi apa. Yang terpenting, setiap orang harus selalu bersyukur, kerja keras, dan melakukan yang terbaik apapun kondisinya. Karena yang paling berperan dalam kesuksesan seseorang adalah orang itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun