Kampung, dalam benakku, suatu lokasi yang identik dengan hutan semak belukar, tidak tertata, kotor, sampah dimana-mana, jarak antar rumah berjauhan.Â
Perlu berjalan puluhan menit menuju rumah lain dari rumah yang satu. Pesona seperti di buku gambar jamanku Sekolah Dasar (SD) dulu. Tidak berbeda, ternyata memang benar. Hanya saja ada satu hal yang membuatku ternganga.
Tidak seperti yang kuinjak sebelumnya, masih berbekas di jejak sepatuku merahnya tanah-tanah yang menjadi saksi bisu. Jejak sepatu jelas tergambarkan di aspal-aspal ukuran setapak penghubung antar rumah di pemukiman itu.
"Binatang buas apa yang menghembuskan kotorannya di jalan pemukiman ini sehingga bisa terbentuk menjadi aspal?" pikirku terkagum-kagum karena di desa ini jalanan pemukimannya sudah aspal meskipun jalan sepanjang kota menuju pemukiman ini masih tanah merah.
Jangan bayangkan bagaimana meraih desa ini di musim penghujan. Semua akses mati dan ditutup.
Bersambung... (Di balik robot penghibur #2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H