Oleh: Rico Ricardo Lumban Gaol
Dulu aku tak susah menemukan tangisan seorang anak yang bertengkar. Tak sulit bagiku melihat suara-suara yang gemuruh di pasaran. Tak jenuh melihat jejak-jejak kaki di halaman.
Dulu tak bisa aku tak melihat ke atas. Sebab ada burung tak bersayap melayang-layang di udara, layang-layang. Tak bisa aku tak keluar malam sebab ada api yang ditarik dan didorong membuat mata ingin mengikutinya. Tak mungkin mengantuk sebab ada keributan letupan tembak-tembakan, meriam kaleng, mobil kaleng.
Aku dulu sering melihat wanita-wanita muda yang cantik melompat-lompat kegirangan sambil melewati karet yang diikat, dipegang, kiri dan kanan. Aku juga melihat lelaki muda menendang bungkus rokok. Menembak benda bulat dengan benda bulat, sebut saja kelereng. Mengadu buah pohon para (bahasa daerahku buah pohon rambong).
Tak perlu aku pergi jauh-jauh mencari teman. Di seberang jalan ada puluhan anak berlari-lari dan main sembunyi-sembunyian.
Dulu aku masih anak-anak dan banyak anak-anak di sekitarku. Segala jenis permainan daerah dan olahraga yang kami ketahui kami mainkan. Ada Engrang. Sepatu Tempurung, Patuk Lele, Kayang, Lompat Kuda, dan masih banyak yang lupa tersebutkanku. Sering juga olahraga Badminton, Bola Kaki, Takraw. Dan banyak lagi.
Tapi sekarang? Aku sudah dewasa. Aku sulit menemukan keramaian (seperti dulu). Aku sulit menemukan udara segar. Aku tidak lagi bisa menghindarkan mataku dari kerumunan pengendara motor. Memang telingaku tetap merasa berisik, tapi kali ini karena suara motor yang seolah-olah paling gagah sejagad raya. Sekarang aku juga masih tidak sulit menemukan orang-orang, karena pasti ada di warnet, atau meja judi, atau meja bermain, sebut saja PS. Memang dulu itu sudah ada, tapi tidak menguburkan masa kanak-kanakku.
Dari dulu memang anak-anak sudah merokok, tapi bukan kebutuhan. Dulu kita memang berjudi, tapi karena terpaksa, bukan menjadi hobi seperti saat ini. Dulu kami masih ingat belajar, kalau sekarang lebih baik menggandeng lawan jenis.
Ah sudahlah. Mungkin anak-anak desaku sudah beranjak dewasa tanpa melewati masa kanak-kanak yang menyenangkan.
Sayang sekali, mungkin nanti mereka akan merindukan masa itu dan menyesalinya. Biarlah anak mereka yang akan menegur dan mengingatkan masa-masa itu. Biarlah tangisan yang akan datang menjadi pelajaran dan ilmu buat keturunan mereka.
Sungguh, desaku kehilangan anak-anaknya. Tak tahan aku melihatnya. Ingin kucari anak-anak desaku yang hilang entah ke mana. Ingin kukembalikan anak-anak desaku. Apakah aku bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H