Mohon tunggu...
Rico Febriansyah
Rico Febriansyah Mohon Tunggu... Politisi - Officium Nobile

Melukis Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Studi Advokasi Hukum terhadap PHK Sepihak

1 April 2022   22:51 Diperbarui: 1 April 2022   23:20 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PHK / Dok. Pribadi

Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia baru-baru ini seakan menjadi fenomena gunung es yang sulit untuk dituntaskan. Meskipun PHK dilegalkan secara hukum namun sayangnya pada praktiknya fenomena PHK sering dilakukan secara sepihak oleh pengusaha kepada pekerja dengan memakai dalil-dalil yang tidak legalistik dan konstruktif.


Pada tahun 2021 lalu Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri mengungkapkan keresahannya karena jumlah pekerja yang terkena PHK jauh dari perkiraan yakni melebihi 50 persen. Per tanggal 7 Agustus 2021 lalu, pekerja yang mengalami PHK tercatat mencapai 538.305 orang. Apabila dikalikan dalam 12 bulan, maka jumlahnya mencapai 922.800 pekerja, sehingga  hingga akhir 2021 angka ini lebih tinggi dari proyeksi awal Kemnaker.


Melihat fenomena PHK ini tentunya studi advokasi hukum menjadi sangat penting bagi pekerja agar nantinya para pekerja mendapatkan perlindungan hukum ketengakerjaan. Perlindungan hukum sendiri merupakan upaya yang dilakukan oleh penegak hukum salah satunya advokat dalam melindungi hak-hak asasi manusia. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi "Negara Indonesia adalah negara hukum", maka segala aspek kehidupan termasuk masalah penyelesaian PHK harus berdasarkan dengan hukum.


PHK dalam Pasal 1 ayat 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengandung arti berakhirnya hubungan kerja karena hal tertentu yang mengakibatkan terlepasnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Meskipun PHK diatur dan dibolehkan secara hukun, namun PHK tidak serta merta boleh dilakukan secara sepihak melainkan hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan tertentu seperti yang telah diatur di dalam Pasal 154 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.


Selain itu mekanisme PHK juga diatur secara ketat agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dari pihak pengusaha. Oleh karena itu, prosedur PHK yang telah diatur baik di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  maupun Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja memberikan benteng berlapis dalam penyelesaian pemutusan hubungan kerja. Dimana penyelesaikan PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh.


Selain itu, jika perundingan bipartit ini gagal maka dapat dilanjutkan dengan melakukan perundingan tripartit dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator yang pada umumnya disediakan oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Tak hanya itu, apabila perundingan tripartit juga gagal, maka pekerja dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan melampirkan hasil perundingan bipartit dan tripartit yang menyatakan bahwa perundingan tersebut telah dilakukan dan gagal. Prosedur dan mekanisme penyelesaian PHK ini telah diatur oleh Undang-Undang guna memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja agar hak-haknya dapat terpenuhi secara adil.

Penulis: Rico Febriansyah, S.H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun