"GORENGAN SEBAGAI PENGINGAT"
Penulis: Rico Dwi Cahya
pulang ke kost, tak lupa sembari perjalanan pulang supaya tidak bolak-balik keluar, saya berniat membeli lauk-pauk di warteg (Warung Tegal) terdekat seperti biasanya untuk makan malam nanti. Saya melintasi jalanan yang tidak terlalu ramai, terlihat ada tukang buah pisang di pinggiran jalan dan terlintas dipikiran saya: “Wah pisang enak juga tuh buat cemilan kalo laper, sama sehat juga katanya buat pencernaan kalo makan buah sebelum makan.. beli ah..”. Yap, waktu menonton podcast di YouTube beberapa waktu yang lalu, seorang dokter mengatakan bahwa makan pisang sangat bagus bagi tubuh. Saat melihat-lihat, banyak sekali jenis pisang yang dijajakan. Singkatnya, setelah tawar menawar dan negosiasi dengan mamang penjualnya, kami sepakat dengan 2 tandan pisang kampung (saya lupa nama pisangnya, soalnya si mamang sebut nama pisangnya pakai bahasa daerah) seharga 15 ribu rupiah.
Di sore hari yang cerah setelah perkuliahan di hari itu selesai dengan mengendarai sepeda motor saya bergegas
Saya lanjut perjalanan ke warteg untuk membeli lauk, sampai di warteg seperti biasanya menu ‘hemat’ anak kost. Saya membeli ikan balado dan sayur toge dengan total 10 ribu rupiah (saya beli lauknya aja soalnya nasinya udah masak sendiri). Setelah itu saya lanjut untuk pulang, namun di perjalanan terlihat ada tukang gorengan. Tanpa pikir panjang saya membeli gorengan seharga 10 ribu rupiah dengan isian tempe, ubi, dan risol. Saya rasa ‘jajanan’ saya sudah cukup, dan waktunya berggegas pulang sebelum waktu magrib. Gantungan di dashboard depan motor saya penuh sekali dengan plastik kresek jajanan yang sedari tadi saya beli mulai dari pisang hingga gorengan.
Belokan terakhir menuju kost, ada lampu merah. Saat berhenti beberapa saat seperti halnya di kota-kota besar beberapa anak jalanan mulai ‘beraksi’. Mereka mengamen, membersihkan kaca mobil, dll. Saya sempat memperhatikan seorang anak kecil dengan membawa kemoceng dari arah belakang melirik ke arah motor saya. Saya mengetahui dan memperhatikan itu dari kaca spion motor, saya berpikir: “anak itu kenapa ya? Kok diem aja ngeliatin gua”. Saya merasa penasaran kenapa anak itu memperhatikan saya, dan saat lampu hijau sepersekian detik sebelum ‘tancap gas’, seketika saya ingat nahwa gorengan yang saya beli itu memang sangat wangi, terlebih lagi ubi gorengnya. Saya berbincang dalam hati: “waah iya, jangan-jangan karena gorengan ini, saya kasih gak ya?”. Saya agak bimbang dan ragu untuk memberi gorengan kepada anak tersebut sebab saya juga menginginkan gorengan itu juga (saya mau kasih beberapa biji, tapi kondisinya sulit gak ada kantong kresek ditambah lampu keburu hijau). Alhasil saat lampu hijau saya jalan lanjut pulang ke kost. Namun dalam perjalanan pulang saya berpikir: “kenapa gak gua kasih aja ya, kasihan anaknya”.
Singkat cerita saat sampai di kost, saya mulai makan dengan lauk dari warteg ditambah dengan gorengan tadi. Ternyata gorengannya masih sisa banyak dan saya sudah kenyang. Seketika saya mengingat anak tadi dan menyesal karena ‘kerakusan’ yang ada pada diri saya “Ya Allah, kenapa tadi ini gorengan gak gua kasih aja ya, toh lauk sama makanan lain masih banyak... gorengan ini juga gak habis..”. saya beristighfar dan mendoakan anak tersebut sehat selalu.
Yang saya ingin sampaikan adalah berbagi tidak akan membuat kita kekurangan, justru akan membantu orang lain yang mungkin lebih membutuhkan daripada kita. Saya berusaha mengevaluasi diri dan menanamkan nilai-nilai kebaikan seperti berbagi dengan sesama terutama jika kita memiliki ‘lebih’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H