Surat Keputusan (SK) Perpanjangan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional (Munas) Riau oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) merupakan alternatif terbaik dalam mencari jalan tengah atas kisruh dua kubu antara Abu Rizal Bakrie (ARB) dengan Agung Laksono (AL) yang sempat membuat kegaduhan politik dalam negeri.
Proses penyelesaian konflik internal yang pelik ini menunjukkan titik terang, hingga muncul satu kesepakatan bersama yaitu Rekonsiliasi. Memang secara substansial bahwa SK perpanjangan kepengurusan hasil Munas Riau oleh Kemenkumham tersebut bertujuan sebagai landasan konsititusional untuk mengadakan Musyawarah Nasional bersama kedua kubu yang tengah berseteru, dengan itu beberapa orang menyebut Munas ini sebagai “Munas Islah”.
Ada problema lain, di saat semua orang sudah menyepakati untuk rekonsiliasi, yaitu semua kelompok legowo untuk menyudahi konflik dan mencari solusi atas persoalan yang dihadapi partai dengan cara mengajak semua pihak untuk kembali duduk bersama untuk musyawarah mufakat dan menggandeng tangan menyongsong hari esok yang lebih baik. Namun ada kelompok yang ternyata tidak sungguh-sungguh memperbaiki keadaan, kelompok tersebut memanfaatkan situasi lengang untuk membuat “makar politik”.
“Makar Politik” merupakan sebuah sikap politik yang ambisius untuk mendapatkan kursi kekuasaan dalam sebuah organisasi atau Negara yang utuh dengan cara memecahbelah keutuhan organisasi yang dibangun menjadi vaksi-vaksi melalui doktrin politik, doktrin ideology dan deal uang atau kekausaan. Poin yang disebutkan terakhir inilah yang sering dilakukan oleh seorang politikus terhadap sebuah organisasi atau partai politik yaitu membuat sebuah vaksi atau gerbong politik dengan tujuan mendapatkan kekuasaan dan bisa mengamankan proyek-proyek yang dapat menguntungkannya secara pribadi.
Hal seperti inilah yang dilakukan oleh Nurdin Halid Cs terhadap Partai Golkar. Seperti yang diberitakan Kompas.Com (17/2) bahwa Nurdin Halid mengklaim diri sebagai wakil DPP Parta Golkar untuk melantik pengurus Golkar daerah NTB, Bali dan Lampung. Tindakan ini adalah sebuah tindakan “Makar Politik” karena ditengah orang-orang melakukan rekonsiliasi, mencari kepercayaan dan menggalang perdamaian dan perbaikan atas “badai” yang melanda Partai Golkar, malah Nurdin Halid dengan sikap tersebut semakin mengacaukan keadaan dan menambah persoalan baru yang nanti juga akan memperumit proses Munas.
Sikap Nurdin merupakan buntut dari ulah ARB yang mengeluarkan edaran tentang dibolehkannya bagi setiap Pimpinan Daerah Partai Golkar untuk mengadakan musyawarah ataupun pelantikan. Tindakan seperti ini adalah sebuah tindakan makar, tindakan yang menyimpang dari kesepakatan dan perjanjian islah, selain tindakan yang inkonstitutif juga sebuah tindakan yang menghianati rakyat dan mendustai kader-kader Golkar. Karena seharusnya dalam proses rekonsiliasi dan proses persiapan Munas seperti ini, semua pihak harus fokus untuk visi perbaikan, meluruskan nawaitu untuk perbaikan, menciptakan suasana politik yang kondusif dan adem, duduk bersama untuk menyatukan ide dan gagasan apa yang perlu dilakukan sehingga dapat mengejar ketertinggalan akibat banyaknya waktu yang tersita selama proses penyelesaian konflik; bukan malah sebaliknya menciptakan masalah baru dan diam-diam melantik kiri-kanan.
Jika tindakan itu dimaksudkan sebagai strategi yang dimainkan ARB atau Nurdin Halid agar menang sebagai ketua umum dalam Munas kedepan, makan hal itu menunjukkan sifat tendensius dan ambisius, adalah sebuah “sifat rakus” kekuasaan yang berlebihan. Seharusnya jika itu dinilai sebagai upaya menggalang dukungan maka harus dengan cara yang baik dan etis, mengedepankan nilai-nilai politik etis dan budaya politik yang baik, dan meninggalkan pola “politik kompeni” seperti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H