Oleh : Jekson Simanjuntak
Mengenal sosok yang satu ini seakan membawaku menerawang lebih jauh pada kejadian yang terjadi puluhan tahun silam, ketika gerakan mahasiswa mulai di catat dalam sejarah. Dia bersama sobatnya “Soe Hok Gie” lebih memilih berkecimpung di alam, ketimbang menjadi pecundang yang berlagak sok jagoan dan pura-pura berpihak pada rakyat.
Saya masih ingat saat itu, di suatu musim di waktu yang lalu, secara tak sengaja kami bertemu muka dengannya. Tepatnya, tiga tahun lalu, kami berhasil mendahuluinya dalam sebuah tanjakan kecil menuju air terjun Cibereum – Cibodas (Jawa Barat).
Saat itu terlihat jelas kelelahan di wajahnya. Walau begitu, di usia yang genap mencapai 63 tahun, semangatnya masih tetap sama, seperti ketika pertama menapak di jalur itu puluhan tahun silam. Kala itu, bersama sahabat karibnya yang begitu melegenda “Soe Hok Gie”, mereka membuka jalur baru menuju Puncak Gn. Pangrango melewati kawasan tersebut.
Hari cukup cerah kala itu, di tandai dengan silau sang surya yang menyerusuk masuk di celah-celah pepohonan hutan sekunder Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP). Berdua dengan dengan seorang sahabat, kami menghadiri undangan Penerimaan Anggota Baru Mapala UI yang rencananya akan di gelar di air terjun Cibereum – Cibodas.
Sejatinya, tak jauh dari pintu rimba, kami telah melihat sosoknya yang renta berjalan perlahan dengan seorang tua lain yang ternyata masih sahabatnya, menapak beriringan ditemani seorang wanita muda yang belakangan ku ketahui, ternyata anggota Mapala UI (MUI) yang bertugas untuk sebagai pemandu bagi kedua orang tua tadi.
Sadar kami telah melaluinya, dalam kesempatan istirahat, kami bertemu lagi dengan rombongan kaum tua tadi. Kali ini, mereka berhasil mengejar ketertinggalannya, setelah istirahat terlalu lama. Terhadap wanita tadi, ternyata sang teman pernah bertemu dengannya di sebuah kesempatan. Singkat cerita, pertemuan itu menjadi perjumpaan kami yang pertama, dengan tokoh yang namanya begitu melegenda.
“Siang om, istirahat dulu, ntar lanjut lagi!”, sapaku sebagai pembuka pembicaraan. Dengan wajah sinis, ia langsung membalas; “emang gua om lu!”. Di balas dengan perkataan demikian, saya langsung memutar otak. Kira-kira apa yang salah dengan ucapan saya, ya? Belakangan kami ketahui, ternyata orang tua itu, tak senang bila di panggil dengan sapaan om, apalagi bapak. Dia lebih senang di panggil “abang” seperti sebutan untuk dirinya puluhan tahun silam. “biar lebih akrab”, kilahnya. Padahal di usia senja sekarang ini sebutan om, paman, bapak or opa sepertinya lebih layak untuk dirinya.
Sejak kuliah dulu, nama itu begitu lekat dengan tokoh-tokoh penggemar kegiatan alam bebas pertama di Indonesia. Maklum saja, mereka mulai menggelutinya sejak dekade 60-an, ketika gerakan mahasiswa mulai terpecah, dimana banyak diantaranya memilih sebagai oportunis ketimbang menjadi pejuang sejati. Tak banyak diantara mereka yang eksis sebagai demonstran, seperti Soe (baca: Soe Hok Gie) dengan sahabatnya Herman Lantang, yang ternyata memiliki hobi unik, yakni mendaki gunung.
Menyebut nama terakhir, mungkin tak banyak orang yang pernah tahu. Namun, bagi aktivis alam bebas dan komunitas pencinta alam, nama itu telah menjadi semacam ikon, tentang petualang generasi pertama yang dimiliki Indonesia.
Aku juga masih ingat betul dalam buku Norman Edwin yang berjudul “Mendaki Gunung Sebuah Tantangan dan Petualangan”, fotonya terpampang gagah, ketika mengajar anak-anak baru Mapala UI di sebuah tebing batu di kawasan Citatah – Jawa Barat. Di foto itu, ia terlihat duduk di sebuah teras kecil, sembari melakukan belay atas (baca: pengaturan tali dari atas) menuntun pemanjat pemula di bawahnya.
Tiba di Base Camp
Sepanjang jalan menuju base camp yang di dirikan tak jauh dari air terjun Cibereum, kami saling bercengkerama tentang petualangannya yang sangat melegenda. Seperti sudah kuduga, ia tetap rendah diri, dengan menganggap semua petualangannya tak lebih dari pengenalan diri sendiri ketika bersahabat dengan alam. “alam tak kan pernah sanggup kita taklukkan”, imbuhnya.
Di sebuah kesempatan, ia juga bercerita banyak tentang pendakiannya ke Carstenz Pyramid di Papua pada era 70-an. Saat tak banyak orang pernah menggapai puncaknya yang selalu terselubung es abadi, mereka dengan nama besar Mapala UI, menjadi manusia indonesia pertama yang menginjakkan kaki disana.
Walau begitu, selalu saja ada cerita unik yang mengikuti petualangan mereka. Di sebuah tempat istirahat yang aku sendiri sudah lupa berapa kali berhenti sejak yang pertama, saking terlalu seringnya istirahat, Bang Thaib – sebutan untuk teman tuanya yang satu lagi- mulai bercerita, tentang betapa beraninya Herman Lantang kala itu.
Saat melakukan pendakian perdana di bumi cendrawasih, mereka (baca: MUI) hanya bertiga, yakni; Thaib, Herman dengan seorang lagi yang aku sudah lupa namanya. Di sebuah kesempatan, Herman sempat mengejar-ngejar seorang porter dari suku papua, yang mereka anggap keterlaluan. Pasalnya, setelah semua diberi, baik honor guide, pakaian serta perlengkapan, ia masih memprovokasi anggota porter yang lain untuk protes. Sontak, Herman yang saat itu darah mudanya gampang menyala, langsung menuding orang tersebut. Bahkan, tidak puas dengan aksi itu, ia malah mengejar orang papua tersebut dengan golok terhunus. Melihat itu, si papua langsung lari tunggang langgang menuju desa dan tak kelihatan lagi batang hidungnya, bahkan sampai ekspedisi mereka selesai.
Thaib, yang melihat aksi nekat tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala. Gak percaya temannya bisa melakukan aksi se-nekad itu. “ Emang dia dasar edan, orang papua di kejar-kejar pake golok. Padahal, kalo mereka mau melawan, mungkin bisa aja. Wong kita cuma bertiga, sementara mereka jumlahnya puluhan orang”, tukas Thaib di sela-sela pembicaraan kami kala itu.
“justru itu, gua berani! Lagian dia yang salah, dia juga bukan koordinator porter dan porter yang lain tak ada yang protes alias semua fine-fine aja. Eh, malah dia yang nyolot. Langsung aja gua kejar, biar dia tahu rasa” sahut Herman kemudian.
Mendengar itu aku, hanya senyum-senyum sendiri. Dan, biasanya, cerita-cerita seperti ini tak pernah keluar di laporan perjalanan, apalagi di media massa.
Tak puas dengan cerita itu, kisah mereka masih berlanjut dengan cerita lain yang tak kalah seru, seperti ketika pendakian ke Gn. Semeru memperingati 30 tahun tragedi yang merenggut nyawa putra terbaik bangsa – Soe Hok Gie- dan seabrek petualangan yang mereka lakukan di tanah air. Dari sekian banyak, salah satu yang masih saya ingat adalah pendakiannya ke Gn. Kerinci di tahun 2000, yang sempat menghebohkan banyak kalangan. Pasalnya, usia lanjut, menjadi salah satu kekhawatiran para ranger yang menjaga gunung tersebut.
Seperti biasa, jarak yang jauh, selalu saja tak terasa, jika dilalui dengan perasaan gembira. Sama seperti saat itu, tak lama berselang, kami pun berhasil menggapai base camp yang ternyata telah di penuhi oleh anggota MUI yang lain. Beberapa buah tenda tampak menghiasi kawasan yang berada persis di sebelah jalan.
Sejurus berlalu, kami pun sibuk dengan aneka kegiatan, mulai dari mendirikan tenda hingga memasak. Sementara itu, secara perlahan pancaran sang surya mulai menjauh berganti gelap yang berpadu indah dengan ribuan orkestra jangkrik hutan.
Sungguh, aku rindu suasana seperti ini!
Dikutip dari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H