Mohon tunggu...
Rico Hermawan
Rico Hermawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bachelor from Gadjah Mada University. football analyst and Fake Historian part-timer.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Menyelamatkan Sepak Bola (Indonesia) ?

6 November 2012   14:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:52 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Oleh : Rico Hermawan

Judul tulisan ini bukan bermaksud memberi pencerahan ataupun sebuah solusi bagi sepak bola Indonesia. Hanya sebuah rangkaian kata penuh tanya dan mengesankan sifat hiperbolis.

Rasanya manusia di kolong langit ini sepakat bahwa sepak bola adalah media menumbuhkan persatuan yang paling efektif. Sebuah kata sacral seperti Nasionalisme pun tidak luput terbawa oleh arus kekuatan sepak bola ini. Namun di Indonesia ironisnya sepak bola sedang mengalami masa-masa perpecahan. Namun nasionalisme sendiri tak tergambar dalam tingkah para elit sepak bola Indonesia. Semua rakyat Indonesia sepakat bahwa sepak bola Indonesia terbelenggu dalam politisasi para elit politik nasional yang menjadikan sepak bola hanya ajang mengeruk keuntungan dari kepentingan segelintir mereka saja.

Politik memang tak selamanya memiliki tujuan yang positif. Dalam dunia olahraga seperti sepak bola sejatinya tidak dikenal formula politik dalam urusan internalnya. Sepak bola justru sangat menjauhi politik untuk ikut campur. FIFA sebagai badan otoritas dunia bahkan pernah menmberikan sanksi hukuman kepada beberapa negara yang mana pemerintah atau elit politiknya ikut campur dalam urusan sepak bola dalam negerinya. Indonesia sendiri dalam kaca mata penulis semestinya telah jauh-jauh hari mendapatkan sanksi tersebut. Namun FIFA memiliki alasan sendiri untuk terus member kesempatan kepada PSSI untuk menyelesaikan urusan internalnya.

Konflik yang menimbulkan perpecahan serta dualisme antara PSSI dan KPSI menjadi bukti sahih sedang terjadinya sebuah krisi multidimensional dalam tubuh pesepakbolaan Indonesia. Kehadiran KPSI yang mengatasnamakan diri sebagai Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia justru tak pernah member keselamatan bagi sepak bola Indonesia, namun malah keberadaannya terkesan semakin memperkeruh masalah yang sebenarnya telah mereka tinggalkan sebelumnya ketik mengisi masa kepemimpinan PSSI periode sebelumnya. Masyarakat tak hanya dipusingkan dengan kondisi saling lempar kesalahan dari kedua kelompok tersebut, namun masyarakat juga dihadapkan pada situasi ikut terpecah belah. Keadaan semacam ini tentu yang tidak pernah diinginkan dari sepak bola. Fungsinya sebagai alat pemersatu dirusak oleh dua kelompok yang tak pernah jelas arah tujuannya dalam menyelamatkan sepak bola.

Timbunan Masalah

Sejatinya tak hanya dualisme dua kepemimpinan saja yang menjadi problem dari sepak bola Indonesia. Segudang masalah sebelumnya sudah membatu. Dari yang paling akut adalah mengenai problem pengelolaan klub. Pemerintah Daerah yang selama ini telah menjadi “sugar daddy” bagi klub, yang menyediakan dana segar dari APBD telah dihentikan kewenangannya oleh pemerintah pusat. PSSI kepengurusan baru yang dipimpin oleh Djohar Arifin juga dalam pemerintahannya juga membawa semangat yang sama dengan pemerintah yaitu menyelenggarakan sebuah kompetisi professional yang mewajibkan klub mencari keuangannnya sendiri secara mandiri. Namun belum lagi mau berjalan kompetisi PSSI tersebut, sebuah komiteyang menamakan diri sebagai komite penyelamat terbentuk. Mereka adalah kelompok yang berisikan barisan sakit hati. Menurut mereka PSSI kepngurusan baru telah melanggar sejumlah aturan sehingga keberadaannya dipertanyakan. Ujungnya adalah komite tersebut kemudian menyelenggarakan sebuah liga tandingan yang berisikan klub-klub yang menyatakan keluar dari kompetisi PSSI. Sepanjang tahun pun PSSI harus menghadapi sejumlah tekanan baik tekanan untuk mundur hingga ancaman membentuk Tim Nasional (timnas) tandingan.

Sebuah tim nasional yang hebat adalah hasil dari sebuah kompetisi yang bagus. Tentu juga penyelenggaraan klub sebagai penyalur pemain harus bagus pula. Disinilah problem utama dalam membentuk sebuah timnas Indonesia yang mumpuni. Adalah kewajaran yang ironic melihat timnas kita tak pernah berprestasi di tingkat internasional karena klub tak pernah mengelola pemain dengan baik. Skuat hanya diisi oleh orang-orang itu saja. Hanya berputar dari satu orang ke orang satunya lagi. Pengelolaan klub yang tidak professional yang mengganggu jalannya  proses pembentukan timnas yang mumpuni. Apa yang dilakukan oleh Spanyol, Jerman hingga Jepang adalah gambaran betapa pentingnya profesionalitas dalam mengelola kompetisi dan klub.

Namun sayang seribu sayang dari pusat hingga daerah, sepak bola Indonesia telah terkooptasi dengan politik. Perpecahan hingga dualism kompetisi ikut menyeret klub terbawa arus kepentingan politis para elit top managernya. Karena pada dasarnya sebagian besar para top manajer klub-klub Indonesia diisi oleh figur utama di pemerintahan daerahnya. Para Bupati atau Wali Kota hingga Gubernur masuk ke dalam jajaran struktur organisasi. Mereka biasa bertindak sebagai Ketua Umum atau Dewan Penasihat. Tugas utama mereka adalah memastikan bahwa tersedianya anggaran dari APBD untuk pembiayaan klub selama satu musim. Pada akhirnya para pemimpin daerah lah yang mengambil keuntungan dari model manajemen semacam ini. Sebuah model manajemen feodalis (Feodalism Management) terselenggara dan terus di pupuk untuk terus bertahan. Struktur di bawahnya kemudian diisi dengan figur-figur yang tak mengerti sama sekali mengenai konsep sepak bola professional, karena mereka rata-rata berasal dari kalangan birokrasi di pemerintahan. Ironisnya, supporter lama-lama menjadi ikut terkooptasi pada arus yang mendestruktif ini. Struktur organisasi supporter diisi atau diketuai oleh seseorang kepercayaan pimpinan klub. Tujuannya tak lebih agar bisa digiring untuk terus mempertahankan legitimasi ketua umum sebagai kepala daerah yang mencoba mengambil suara rakyat dengan memanfaatkan klub.

Dampak buruk dari model manajemen semacam ini dapat membuahkan hasil “negatif maksimal” pada kondisi di hari ini. Kompetisi terbelah menjadi dua. Klub tak lagi independen. Mereka digiring pada situasi dari partai mana ketua umum berasal. Tim nasional pun pada akhirnya terkendala pada pemain yang mumpuni. Para pemain dari klub yang berseberangan oleh badan utamanya dilarang mengikuti pemusatan timnas –meski beberapa pemain berani mendobrak aturan tersebut-. Namun dari segala efek angsung dirasakan dari konflik ini adalah terbelahnya rakyat. Para elit tersebut telah membawa masyarakat pada situasi yang saling berseberangan. Perang kata-kata di media sosial bisa di lihat sehari. Jangan salahkan sepak bola apabila suatu hari nanti nasionalisme yang terbina di antara para supporter (baca: masyarakat) terbelah dan rusak dengan sendirinya. Tentu kita tak menginginkan situasi semacam ini.

Mencontoh Mandela

Nelson Mandela. Mengapa negeri ini atau pemimpin negeri ini tak pernah belajar dari apa yang pernah dilakukan oleh Mandela di negeri tercintanya, Afrika Selatan. Madiba -panggilan kesayangan rakyat Afsel untuknya- harus dihadapkan pada situasi yang mengerikan pada saat pertama kali ia terpilih sebagai Presiden pada Pemilu non-diskriminasi pertama di Afrika Selatan paa 1994. Afrika Selatan berada uasi dimana pada sipondasi kebangsaan yang hampir roboh karena konflik horizontal antara warga kulit putih dengan kulit hitam. Kemenangan Mandela sebagai presiden dipandang sebagai kemenangan warga kulit hitam. Bagi mereka sudah sepantasnya orang kulit putih untuk pergi dari tanah Afrika Selatan. Namun Mandela punya berpandangan lain terhadap rakyatnya tersebut. Mandela sendiri tak menghendaki terjadi kekacauan yang maha dashsyat yang memecah belah seperti ini. Ia tak pernah memusuhi orang kulit putih meski mereka pernah memenjarakannnya selama 27 tahun di penjara Robben Island. Mandela menginginkan sebuah negara yang berdiri diatas perbedaan yang indah. Ia menyebutnya dengan Rainbow Nation (Negeri Pelangi). Maka dari itu rekonsiliasi-lah yang dikedepankan oleh Mandela.

Melalui rugby Mandela memiliki asa menyatukan bangsa Afrika Selatan yang terpecah karena konflik antar ras. Pada dasarnya di Afrika Selatan terdapat banyak olahraga yang melambangkan adanya sekat perbedaan antar ras. Sepak bola lebih identik dengan olahraga warga kulit hitam, sedangkan rugby identik dengan kulit putih (Afrikaner). Pada awal kepemimpinan Mandela, secara kebetulan pada tahun 1995 Afrika Selatan ditunjuk menjadi tuan rumah turnamen Piala Dunia Rugby. Timnas Afrika Selatan bukanlah favorit dalam ajang tersebut. Mereka lebih sering terpuruk dalam pertandingan melawan negara lain. Mandela melihat hal tersebut akibat tak ada persatuan di masyarakat Afrika Selatan. Orang kulit putih sangat mendukung setiap laga Springbooks, namun, para warga kulit hitam selalu mendukung lawan.

Mandela tak putus asa. Ia mengatakan : “Why not use the Springbok team to unite the most divided nation on earth around a common goal?” Mandela memiliki asa yang begitu tinggi pada timnas rugby. Perlawanan muncul di saat kampanye Mandela ini. Warga kulit hitam dengan mengatasnamakan Dewan Olahraga Nasional menghendaki dihapuskannya atribut-atribut yang berhubungan dengan Springbooks (Julukan timnas  Rugby Afrika Selatan) karena mengandung sisa-sisa Apartheid, Mandela menentangnya. “I know all of the things they deny us. But this is no time to celebrate very revenge. This is the time to build our nations using every single brick available to us. Even if that brick comes wrap in green and gold”.Ia menginginkan rekonsiliasi antara warga kulit hitam dan kulit putih. Perlahan demi perlahan langkah-langkan yang dimainkan oleh Mandela membuahkan hasil. Dengan para pemain timnas Springbooks yang hampir seluruh personelnya berkulit putih, Mandela melakukan pendekatan dan meyakinkan mereka bahwa Ia dan seluruh warga Afrika Selatan mendukung timnas Afsel dalam Piala Dunia. Langkah yang dilakukan Mandela berhasil dan pada akhirnya Timnas Afrika Selatan menjadi juara dalam Piala Dunia Rugby 1995. Mandela adalah orang yang paling berjasa atas keberhasilan tersebut. Kisah perjuangan Mandela tersebut kemudian dinarasikan pada sebuah novel yang ditulis oleh seorang jurnalis, John Carlin dengan judul “Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation” yang kemudian di filmkan oleh sutradara ternama Clint Eastwood dengan judul “Invictus”.

Dari apa yang dilakukan oleh Mandela, semestinya bisa menjadi pelajaran bagi elit negeri ini bahwa tak ada keberhasilan tanpa persatuan –kebersamaan-. Nation dibentuk dari sebuah kesamaan tujuan. Olahraga seperti rugby di Afrika Selatan memiliki apa yang tidak dimiliki dari politik, yaitu kesatuan tujuan yang dibentuk dari sebuah kolektifisme yaitu, “one team one nation”. Rusaknya peradaban sepak bola Indonesia adalah akibat dari permainan politik para elit yang tak pernah memikirkan apa yang dipikirkan oleh Mandela, yaitu persatuan bangsa. Semakin tidak ada perbaikan sikap, mental dan moral dari pada stakeholders sepak bola tersebut, yang ada justru terus memupuk pot kehancuran tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun