Mohon tunggu...
Rico Hermawan
Rico Hermawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bachelor from Gadjah Mada University. football analyst and Fake Historian part-timer.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sepak Bola di Republik Jawa

22 Juni 2012   11:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:39 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Oleh : Rico Hermawan

Demam Piala Eropa sedang melanda dunia. Turnamen yang dianggap sebagai second world cup (Piala Dunia Kedua) akhirnya terselenggara di dua negara Eropa Timur, Polandia dan Ukraina. Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya sangat menggemari olahraga tersebut tidak luput ikut merayakan pesta sepak bola benua Eropa ini.

Pertanyaan kemudian muncul. Kapan kita bisa seperti mereka? Bisa ikut berpartisipasi di turnamen-turnamen semacam Piala Eropa? Pertanyaan tersebut memang bukan pertanyaan yang berlebihan. Namun penekanan terhadap kata “Kapan” memiliki arti yang begitu luas. Jawaban dari pertanyaan itu hanya dua, yaitu “Entah Kapan” dan “Itu Tidak Mungkin”. Jawaban pertama sedikit mnegandung makna optimistis. Kita pasti akan lolos ke Piala Dunia, tapi suatu hari nanti. Sedangkan jawaban kedua bukan berarti mengandung makna pesimistis, namun hal tersebut adalah refleksi dari gambaran sepak bola Indonesia saat ini.

Sekarang untuk menimbang mana yang lebih rasional dari kedua jawaban tersebut, mungkin bisa ditanyakan kepada seluruh masyarakat Indonesia. tentunya harapan seluruh public negara ini mengharapkan suatu hari Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia.

Melirik peringkat Indonesia saat ini -berdasarkan rangking FIFA- Indonesia menempati peringkat 152 (Mei 2012) jelas merupakan capaian yang sangat menyedihkan. Sebagai negeri dengan modal besar, bentang alam yang luas, tanah yang begitu besar, jumlah manusia yang mencapai duaratusan juta, ternyata kita tetap tak bisa membentuk sebuah tim nasional yang hebat. Di level Asia Tenggara saja kita harus mengakui bahwa kualitas kita masih berada (satu level) di bawah Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, jika mengacu pada jumlah prestasi di level Asia Tenggara (AFC Cup). Kita hanya lebih baik dari Filipina, Myanmar, Brunei, Laos, Kamboja, bahkan Timor Leste. Melihat situasi seperti ini, apakah kita lantas harus terus memupuk harapan tinggi-tinggi untuk sekedar lolos ke Piala Dunia? Tentu kedepan tantangan akan semakin besar, akan semakin sulit karena seluruh negara di dunia ini juga memiliki asa yang sama, mereka saling berlomba-lomba. Semua berusaha ingin meningkatkan level permainan timnasnya. Belum lagi harus menghadapi negara yang sudah maju sepak bolanya. Apakah masih ada kans?

Sepak Bola di Republik Jawa

Bagaimana menggambarkan situasi sepak bola Indonesia saat ini? Orang bisa berkata bahwa sepak bola di Indonesia saat ini sedang mengalami masa kritis. Di saat Eropa sedang dilanda euphoria keberhasilan melaksanakan sebuah pesta akbar sepak bola yang begitu megah dan terselenggara secara professional dan yang paling penting mengandung sebuah momen berharga bagi seluruh negara yang terlibat di dalamnya. Karena sepak bola juga merupakan sebuah sarana politis untuk meningkatkan nasionalisme bangsa yang yang terlibat dalam turnamen tersebut.

Sejatinya momen-momen semacam itu juga terjadi di Indonesia. Masyarakat sebagai objek utama, pihak yang akan dihibur dari setiap pertandingan baik klub maupun tim nasional sangat antusias pada pertandingan-pertandingan yang disaksikan. Namun beda di luar beda pula di dalam. Secara natural, sepak bola Indonesia seperti tak terjadi apa-apa. Suporter tetap saja memenuhi stadion sepak bola, klub sepak bola pun tetap saja bertanding setiap minggunya. Namun di dalam tubuh PSSI sendiri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab pada urusan sepak bola Indonesia ternyata di dalamnya terjadi sebuah konflik internal yang jika tidak dilakukan treatment akan merusak eksistensi sepak bola Indonesia.

Karut marut sepak bola Indonesia adalah sebuah hasil dari salah urus organisasi yang dilakukan oleh pengurus PSSI selama ini. Dalam struktur organisasi PSSI sendiri, sebagian besar figur yang mengisi posisi penting di PSSI diisi oleh orang-orang dari partai politik tertentu. PSSI pun dikuasai oleh sekelompok orang dari salah satu partai tertentu, dari pusat hingga daerah.

Berbicara mengenai kekuasaan tentu tak bisa dilepaskan dari budaya politik. Pemaknaan sebuah kekuasaan erat kaitannya dengan konteks budaya politik yang dianut oleh sebuah negara. Dalam konteks negara Indonesia, pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia yang multietnis sebenarnya bukan dipengaruhi oleh campuran nilai budaya berbagai suku bangsa yang banyak tersebut. Sebaliknya, yang benar-benar memperngaruhi hanya nilai beberapa suku bangsa tertentu.[1] Diantara beberapa suku bangsa, cara berpikir dan pola hidup (budaya) suku Jawa paling dominan diantara suku bangsa lainnya, meskipun sesekali ada desakan dari suku bangsa lain.

Peninggalan peradaban Jawa serta sejarah colonial yang menempatkan Jawa sebagai pusat pemerintahan menjadi poin paling penting dalam memahami dominasi budaya Jawa terhadap politik Indonesia. Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson dalam karyanya The Idea of Power In Javanese Culture, orang Jawa percaya bahwa kekuasaan merupakan hal yang konkret (nyata adanya) yang adanya terlepas dari pihak yang mungkin menggunakannya.[2] Dalam simbol-simbol tertentu kekuasaan itu digambarkan pada sebuah benda-benda pusaka atau gaib yang mengandung energy yang mana merupakan pusat dari kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan seorang raja sangat bergantung pada keberlangsungan energi tersebut. Kekuasaan mampu memberikan kehidupan. Jika kekuasaan berada di tangan orang yang tepat, maka akan terdapat keselarasan dalam alam dan masyarakat. Tetapi jika tidak, maka kekuasaan akan terlepas dari tangan penguasa, betapapun penguasa itu berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya.[3] Terminologi konkret ini tampaknya sudah merasuk pada seluruh masyarakat Indonesia. Semua percaya bahwa kekuasaan bisa dimiliki. Ia bisa didapatkan dengan segala cara. Ia bukan sesuatu yang imaji.

Dominasi budaya Jawa disebabkan oleh jumlah masyarakat orang Jawa yang memang cendrung mendominasi kehidupan politik, dan keberadaan pusat pemerintahan yang kebetulan berada di Jawa. Oleh karena itu, selalu terdapat kecenderungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai kejawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka. (Muhaimin, Yahya; 53-54). Pendapat tersebut juga diamini oleh Artides Katoppo, bahwa budaya politik nasional, termasuk budaya berdemokrasi dan khususnya berkaitan dengan bangunan sistem kekuasaan, merupakan hasil akumulasi, agregasi dari budaya, dan sistem kekuasaan dari daerah-daerah (budaya lokal). Kondisi seperti ini membuat kecenderungan etnis lain mengakomodir/menyesuaikan dengan tradisi/budaya Jawa, termasuk dalam berdemokrasi (mengelola kekuasaan). Akibat lanjutannya konsep demokrasi dan konsep kekuasaan nasional, sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. (Katoppo, Aristides; 2).

Sebagai etnis yang sangat mendominasi di pemerintahan, pulau-pulau di luar Jawa tidak lainhanya menjadu perluasan dari Jawa. Konsep kekuasaan yang sejak republik di dirikan berhasil bertahan kurang lebih selama lima puluh tahun dan kemudian dilanjutkan oleh rezim-rezim berikutnya dengan atribut tidak jauh kemiripannya.

Sepak bola sebagai sebuah olahraga yang seharusnya imun terhadap politik pun terkena imbas dari persoalan ini. Memang kita tak perlu naïf dengan kondisi sekarang ini. Dunia pun telah banyak mengamini banyak tokoh yang telah menjadikan sepak bola sebagai media politik (pencitraan). Sebut saja mantan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi, yang bisa naik kekuasaan tertinggi di Italia setelah berhasil membangun image positif saat menjabat Presiden klub AC Milan. Namun penulis beranggapan bahwa kasus di Italia begitu berbeda dengan di Indonesia. Di Indonesia, politisasi dilakukan secara berjamaah. Pusat hingga daerah dipegang oleh orang partai politik. selain itu, dana APBD yang menjadi senjata utama klub-klub sepak bola semakin memperlebar ruang politisasi terhadap klub tersebut. Klub sepak bola yang seharusnya menjalankan sebuah konsep manajemen yang professional, mandiri, dan cenderung kapitalis, mengalami degradasi prestasi. Di Indonesia terminology yang tepat untuk menggambarkan klub sepak bola Indonesia adalah “Klub Pemerintah”.

Ada beberapa faktor yang membuat klub-klub Indonesia sulit keluar dari mainstream sebagai klub “amatir”. Diantaranya adalah, pertama, ketergantungan terhadap pemerintah daerah sebagai penyandang dana yang begitu tinggi. Kedua adalah sikap status quo yang diperankan oleh pemerintah yang mengapresiasi kebiasaan tersebut karena beragam faktor. Salah satunya adalah faktor politik. Selain itu pola manajemen klub yang cenderung konvensional, artinya masih mempertahankan gaya menajamen lama, tidak mengarah pada maksud dan tujuan sebagaimana klub sepak bola yang semestinya terus dipertahankan. Yang berkembang di dalam klub tersebut adalah sebuah pola manajemen yang mengarah pada konsep manajemen “feodalisme”, yang mana muncul sosok orang kuat yang menjadi “patron”. Budaya ‘patron-klien” ini dicirikan dengan menjadikan gubernur/bupati/wali kota sebagai top manager (biasanya sebagai ketua umum).

Membicarakan Nasionalisme Sepak Bola

Bagi sebuah bangsa, sepak bola bisa menentukan harkat dan martabat negaranya. Ia memainkan perasaan semua rakyat yang mencintainya, atau dengan kata yang lebih indah ia memainkan rasa nasionalisme. Nasionalisme kita selama ini baru sebatas nasionalisme akibat. Maksudnya adalah ia muncul setelah adanya sesuatu yang perlu didukung atau dipertahankan. Contoh paling gampangnya adalah mendukung Timnas Indonesia atau klub sepak bola di daerah masing-masing. Dalam kondisi karut marut seperti saat ini, nasionalisme belum hadir sebagai sebuah sebab. Hal ini penting karena ini menyangkut hakat dan martabat tadi. Bahwa sepak bola adalah identitas sekaligus asset berharga yang harus dipertahankan.

Nasionalisme dapat diartikan sebagai sebuah situasi dimana sekelompok orang bersatu karena situasi yang sama yang dialami. Kemana nasionalisme sepak bola kita harus diarahkan? Artinya Nasionalisme kita saat ini sudah saatnya diarahkan pada isu-isu yang lebih seksi. Datang ke stadion, menyanyikan lagu Indonesia Raya, berteriak selama 90 menit sudah bukan lagi menjadi barang baru dalam nasionalisme kita. Ia sudah melekat pada sanubari dan darah nadi bangsa. Mendengar kata bersatu untuk Indonesia pasti kita akan tegak berdiri dan berjuang hingga mati. Masalah kita saat ini adalah telah terbelenggunya sepak bola Indonesia oleh praktek-praktek politik. ia dijadikan sebagai alat politik kelompok tertentu. Dari dahulu hingga saat ini. Sudah saatnya perlawanan diberikan kepada mereka. Membebaskan sepak bola kita.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah setelah terjadi reformasi –kalau boleh disebut revolusi- ditubuh PSSI akan menjamin peralihan supporter klub kita yang bercorak tradisional menuju supporter yang lebih moderat? Harus diakui bahwa syarat terjadinya reformasi adalah sebuah persatuan. Hingga saat ini supporter kita masih terpecah menjadi dua kutub. Ada beberapa supporter yang sudah berani menyuarakan perlawanan namun ada juga yang masih setia mengikuti arus. Dualisme kompetisi liga Indonesia saat ini memperlihatkan secara jelas bahwa terjadinya perpecahan dua corak supporter (klub) Indonesia. Pada awalnya kita optimis ketika rezim Nurdin Halid yang telah berkuasa selama 8 tahun berhasil diturunkan dan nerganti ketua umum yang baru, Djohar Arifin. Namun rasa itu kemudian menghilang setelah rezim lama yang tak puas dengan hasil kongres dan keputusan-keputusan yang tak menguntungkan mereka, kembali merong-rong situasi hingga pada akhirnya terciptalah dua kompetisi yang sama artinya memecah belah rakyat Indonesia. Kemudian ada supporter yang pro dengan kompetisi yang diusung oleh PSSI (LPI). Kita kategorikan mereka sebagai supporter yang moderat. Sedangkan kategori kedua adalah supporter yang kontra dengan PSSI. mereka lebih memilih mendukung klub yang bermain untuk kompetisi yang bisa dikatakan illegal (karena tak sesuai organisasi induk). Mereka kita kategorikan sebagai supporter tradisional dimana dukungan mereka sebatas dukungan terhadap klubnya saja tanpa melihat kompetisi mana yang legal atau illegal. Namun penulis yakin pasti tak semua supporter tersebut yang suka dengan dualisme ini. Kita harus percaya bahwa mereka juga pasti sangat merindukan persatuan.

Sekarang yang kita harapkan untuk dapat menyelesaikan permasalahan ini adalah sebuah pakta integritas dari seluruh pelaku sepak bola. Penulis pikir tak ada jalan keluar yang mulus lagi. Semua mengandung resiko yang amat berat. FIFA pun tak akan ambil pusing dalam mengambil keputusan untuk memberikan sanksi kepada Indonesia karena badan tertinggi sepak bola itu juga sudah memberikan kita harapan agar bisa menyelesaikan permasalahan ini. Kita juga harus sadar bahwa kita memiliki potensi yang begitu besar dalam sepak bola. Anak muda kita banyak yang memiliki bakat mumpuni. Timnas junior kita juga pernah mencetak prestasi yang membanggakan di tingkat internasional. Tinggal bagaimana para elit di atas sadar diri akan tanggung jawab yang dibebankan di pundak mereka. Suporter Indonesia pun diharapakan semakin cerdas dalam bersikap. Jangan mau menerima segala bentuk politisasi dan jangan ikut-ikut berpolitik.

[1]Yahya Muhaimin, Persoalan Budaya Politik Indonesia, dalam Alfian & Nazaruddin Sjamsudin, 1991, Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta : Pustaka Grafiti, hal. 53.

[2]B. O. G. Anderson, “The Idea of Power in Javanese Culture” in Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, 1972, hal 5 & 7.

[3]Arief Budiman, Peranan Mahasiswa sebagai Kaum Intelegensia, dalam Aswab Mahasin & Ismed Natsir (ed,), Cendekiawan dan Politik, Jakarta : LP3ES, hal 147

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun