Membatasi Subsidi BBM?
Dalam waktu begitu singkat, hanya sekitar 1 bulan setelah dilantik, Jokowi-JK memutuskan untuk membatasi subsidi BBM. Kebijakan tersebut cukup mengundang pro dan kontra, Bahkan sebagian masyarakat menuding Jokowi-JK mengingkar janji, tetapi apa benar Jokowi-JK telah mengingkar janji? Kita simak kembali visi, misi yang disampaikan Jokowi-JK pada masa kampanye, khususnya berkaitan dengan kebijakan enerji: a). Menghapus subsidi BBM dalam kurun waktu 5 tahun mendatang, b) Melakukan program konversi minyak ke gas di sektor transportasi, c) Membangun banyak infrastruktur pendukung produksi minyak dan gas di Indonesia. Mungkin saja berbeda dengan apa yang disampaikan oleh partai-partai pendukung, tetapi jika kita kembalikan kepada Jokowi-JK secara personal. mereka tidak mengingkar janji. Bahkan kebijakan enerji untuk membatasi subsidi BBM tidak hanya disampaikan oleh Jokowi-JK tetapi juga disampaikan oleh Prabowo-Hatta.
Melanjutkan diskusi kita pada kebijakan tersebut, kita akan mempertimbangkan berbagai sisi, dari segi manfaat dan ancaman yang akan dihadapi. Sejak puluhan tahun terakhir, pemerintah secara konsisten menerapkan kebijakan subsidi BBM, tetapi seiring waktu, biaya yang ditanggung Negara untuk subsidi BBM ternyata tidak sedikit, Namun kita akan membatasi data yang tersedia pada 6 tahun terakhir, mulai dari tahun 2009, biaya yang ditanggung Negara adalah sebesar Rp. 138 triliun, 2010 sebesar Rp. 193 triliun, tahun 2011 sebesar Rp. 295 triliun, tahun 2012 sebesar Rp. 346 triliun, tahun 2013 sebesar Rp. 348 triliun, 2014 sebesar Rp. 400 triliun. Berarti dalam waktu 6 tahun terakhir, Negara harus menanggung total biaya sebesar Rp. 1.720 triliun.
Menyikapi hal tersebut, tetap saja ada segelintir masyarakat yang menuding pemerintah sebagai tidak pro rakyat, terutama ‘rakyat kecil’, yang dimaksud adalah mereka yang berekonomi rendah atau yang berada di garis kemiskinan. Sebelum mereka hendak mewakili kepentingan ‘rakyat kecil’, sebaiknya memahami terlebih dahulu siapa yang bisa dianggap sebagai ‘rakyat kecil’. Mereka yang berada di garis kemiskinan adalah mereka yang memiliki penghasilan tidak lebih dari Rp. 320 ribu per bulan. Jadi sesungguhnya mereka yang berada di garis kemiskinan tidak dapat memiliki kendaraan pribadi, bahkan sulit untuk membeli motor dengan cara mencicil, apalagi memiliki mobil.
Sedangkan mereka yang menikmati subsidi BBM, sebagian besar adalah mereka yang berasal dari kalangan mampu, setidaknya tidak dapat dianggap sebagai ‘rakyat kecil’ karena apabila dapat membeli kendaraan pribadi, tentu jika dapat membeli kendaraan pribadi bisa juga menanggung biaya perawatan kendaraan pribadi dan juga biaya BBM secara mandiri bukan? Menurut data yang ada, 92% dari kuota BBM dialokasikan untuk transportasi darat. Kemudian dari 92% tersebut, sebanyak 53% digunakan pada mobil, hanya 40% digunakan pada motor, sisanya ditujukan kepada kepentingan industri dan transportasi publik.  Jadi secara singkat, jika kita memiliki kendaraan pribadi karena kita sanggup untuk membeli motor/mobil, jangan mengaku-ngaku sebagai ‘rakyat kecil’ apalagi mengaku miskin, mungkin saja kita bisa mengelabui yang lain tetapi kita tidak bisa mengelabui diri sendiri.
Dalam menentukan kebijakan subsidi BBM tersebut, tentu pemerintahan Jokowi-JK memiliki argumentasi tersendiri, manfaat apa yang bisa dinikmati oleh rakyat, rakyat yang dimaksud bukan pada rakyat golongan tertentu, tetapi rakyat secara keseluruhan. Membosankan jika kita hanya terfokus pada rakyat golongan tertentu, padahal Republik Indonesia mencakupi rakyat dalam berbagai golongan ekonomi. Setiap rakyat berhak menikmati fasilitas dari pemerintah, tetapi manfaat apa yang dapat mereka nikmati melalui kebijakan tersebut?
Manfaat yang paling menonjol adalah pengembangan infrastruktur, tentunya melalui pengalihan alokasi anggaran yang sebelumnya digunakan untuk menanggung subsidi BBM dan kemudian dialihkan kepada pengembangan infrastruktur. Kembali lagi, jangan lupa berapa anggaran yang bisa digunakan jika Negara tidak perlu menanggung subsidi BBM tersebut, jika mengacu pada yang terjadi di tahun 2014, Negara harus menanggung sebesar Rp 400 triliun untuk mewadahi subsidi BBM. Bahkan kebijakan subsidi BBM seringkali dinikmati oleh ‘mafia BBM’ yang melakukan manipulasi terhadap kuota BBM subsidi, bahkan terdapat oknum-oknum yang menjual BBM bersubsidi kepada pihak asing. Sejak masa reformasi, pemerintah belum berhasil mewadahi kebutuhan masyarakat, terutama dalam persoalan infrastruktur, padahal infrastruktur sangat penting untuk kelangsungan hidup masyarakat, atau dalam hal ini mungkin lebih menarik jika kita sebut ‘rakyat’, Kepentingan infrastruktur tidak hanya tertuju kepada ‘rakyat kecil’ tetapi juga rakyat secara keseluruhan karena infrastruktur yang dimaksud berkaitan dengan banyak bidang serta golongan masyarakat. Berbagai persoalan infrastruktur yang paling penting adalah, ketersediaan listrik, ketersediaan air, irigasi, akses transportasi dan selanjutnya kebutuhan terhadap bandara, pelabuhan serta transportasi massal yang lebih memadai. Melalui berbagai persoalan tersebut, tentu berkaitan dengan segala golongan masyarakat, dari tingkat ekonomi bawah, menengah dan atas, karena setiap masyarakat dapat menikmati manfaat dari pengembangan infrastruktur yang sudah mulai dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Begitu banyak anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur tersebut, sebagian lagi untuk mencakupi kepentingan sosial, pengobatan gratis, penanggungan perlengkapan pendidikan dan kebijakan sosial lainnya. Fakta konkrit, masuk tahun 2015, pemerintahan Jokowi-JK mencetak rekor anggaran terbesar untuk kebutuhan infrastruktur yang dialokasikan pada APBN-P 2015 sebesar Rp. 290 triliun, jauh dari APBN 2015 yang diajukan pemerintahan SBY-Boediono yang hanya sebesar Rp. 191 triliun. Secara jelas kita bisa melihat bagaimana pemerintahan Jokowi-JK mengutamakan kepentingan infrastruktur bagi masyarakat.
Namun harus diakui, kebijakan untuk membatasi subsidi BBM tersebut juga memiliki ancaman yang harus diwaspadai. Masalah utama yang akan dihadapi adalah biaya sembako serta seiringan dengan kenaikan biaya hidup lainnya. Dalam upaya untuk menangani persoalan tersebut, penting bagi pemerintah untuk mengawasi peningkatan berbagai biaya tersebut secara intensif karena kemungkinan terdapat beberapa pihak yang memanfaatkan kondisi tersebut, terutama dari kalangan pengusaha sembako, dll yang tidak mengikuti peraturan secara semestinya. Hukuman kepada mereka yang melanggar Undang-Undang harus ditegakkan secara tegas, jangan ada kompromi kepada pengusaha-pengusaha bandel atau terkadang disebut sebagai ‘mafia sembako’. Sebagai kesimpulan sementara, sudah saatnya kita tidak ketergantungan kepada pemerintah dengan menikmati hak yang sesungguhnya bukan milik kita. BIarkan anggaran tersebut digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Sebagai contoh, karena saya mengutamakan prinsip, setiap bulan saya harus menanggung biaya BBM non-subsidi setidaknya sebesar Rp. 2.5 juta. Bagi saya jumlah tersebut tidak kecil, karena itu saya harus melakukan berbagai upaya efisiensi, mengurangi kebiasaan berbelanja dan berfoya-foya. Apakah lebih baik jika saya bersikap sebaliknya, mengeluh dari hari ke hari tetapi ikut menikmati BBM bersubsidi? Mungkin dengan langkah tersebut saya bisa menghemat setidaknya Rp. 1 juta per bulan. Kembali lagi ke diri kita masing-masing. Sekian dari saya, jika ada kata yang tidak berkenan, mohon maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H