Mohon tunggu...
rico irawan
rico irawan Mohon Tunggu... lainnya -

insan pengembala hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Potret Kecil, Berkampus itu?

10 Maret 2013   15:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:01 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu saat nanti pasti semua orang tertawa lebar, ketika semua yang mereka ‘anggap’ hebat itu ternyata tidak beda dengan pelawak-pelawak seperti di TV. Mainan hingga bohong besar, ya munafik. Meilirik potret kecil tiap ujian blok modul perkuliyahan.

Dalam hal ini kehupan berkampus dipilih menjadi substitusi di atas skenario kehidupan. Sudah menjadi rahasia umum, berkampus merupakan kata indah namun penuh dengan ancaman, baik ancaman kesenangan maupun ancaman penderitaan hingga frustasi. Huh, sakit sekali rasanya. Berkampus, demi pencapaian pengetahuan, di dalamnya berisi belajar dan pencarian pengalaman. Sayang, dalam prosesnya belum bisa mengukur segalanya. Bukti nyata bisa dirasakan oleh perasaan nan suci.

Masalah yang menjadi ancaman besar yaitu mengacu pada penilaian secara subjektif untuk pencapaian nilai akademik. Dosen juga manusia, sehingga mutlak keliru dan salah pasti menyertainya. Di dalam skenario kehidupan, baik itu profesi, pencapaian pengetahuan, kepemimpinan dan organisasi, kompetisi, dan lain- lain.  Terdapat dua mekanisme, alami dan buatan. Tentu keduanya sudah bisa didefinisaikan lewat prase per prase. Singkatnya secara Automatic dan Manual, bisa juga kongnital (bawaan) dan dapatan. Memang hebat pada dasarnya atau hebat-hebatan saja. Evaluasi diatas tertuang dalam kesenangan sesaat dan selamanya.

Maksud di atas disimpulkan menjadi:

·Mereka yang secara bangga mengatakan yang terhebat karena usahanya sendiri dan lahir batin dalam belajar

·Mereka bangga karena memiliki keberuntungan di atas meja ujian tersedia lembar jawaban teman tanpa mau tahu resiko dan dampaknya.

·Mereka bangga berapa pun atau bagaimana pun  hasilnya, yang terpenting ialah kerjanya sendiri

·Mereka bersedih dan kecewa karena nasibnya belum beruntuing

·Mereka bersedih karena atas nama penyesalan.

Rasanya kasihan ketika menyaksikan perasaan bangga mereka atas keberuntungan dan kelicikan kemudia mereka apresiasi kelicikan yang amat besar itu. Akan tetapi suatu saat nanti mereka akan tertawa besar atas kebusukan dan munafiknya.

Dibalik bangga atas kesenangan sesaat, ternyata ada kehebatan luar biasa yaitu perasaan bangga atas jerih payah dan kerja keras sendiri. Ketika muncul kegalaun diri yang bersumber dari hati nurani maupun hati tak nurani. Hal ini akan menimbulkan dampak yang tidak sedap ketika terbau oleh penghidu jiwa. Hakikatnya, jiwa suci manusia yang sebenarnya adalah jiwa (nafsu) Muthmainnah.

Seperti tertuang dalam sajian syair abadi, “wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu yang meridhai”.

Tetapi ada jiwa-jiwa yang lain yang ditimbulkan bukan karena kesucian, melainakn bersumber dari kekotorannya sendiri. Tidak sedikit jiwa kotor itu muncul akibat ulah dosen yang berotoriter atas kebijakan-kebijakan.

*bangga usah sendiri, dan diridhai Ilahi.

Selamat berkampus!!!!!!!!!!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun