[caption caption="RS Sumber Waras (Dok : Kompas.com)"][/caption]Tudingan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Aziz yang terus menuding bahwa pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras penuh dengan kejanggalan akhirnya terbantahkan dengan keterangan yang disampaikan oleh Direktur Utama Rumah Sakit Sumber Waras Abraham Tadjanegara. Disampaikan bahwa sertifikat atas nama Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang berkedudukan di Jakarta. Luasnya 36.410 meter persegi (Luas lahan yang dibeli Pemerintah Provinsi DKI hanya seluas 3,6 hektare), statusnya Hak Guna Bangunan (HGB). Alamatnya di jalan Kyai Tapa.
Dan seiring dengan keterangan yang disampaikan oleh Direktur Utama Sumber Waras ini mematahkan semua keterangan yang belakangan ini rajin disampaikan oleh Ketua BPK. Tudingan kejanggalan karena pembayaran dilakukan pada 31 Desember pukul 7 malam (malam tahun baru), sudah lewat batas waktu tutup buku tahun anggaran, pembayaran menggunakan UP (Uang Persediaan), cek tunai pun semuanya makin tidak beralasan secara hukum.
Pertama. Ketua BPK mengatakan bahwa tutup buku tahun anggaran (APBD) adalah tanggal 25 Desember 2014. Tanggal 25 Desember adalah pernyataan yang tak beralasan, karena masa berlakunya tahun anggaran adalah satu tahun terhitung mulai 1 Januari – 31 Desember.
Lalu dimana logikanya kalau tutup buku anggaran pada tanggal 25 Desember? Jika tidak dibayar pada tanggal 31 Desember maka pembayaran akan tertunda karena pemerintah tidak bisa menggunakan anggaran tahun sebelumnya, sehingga dipenghujung tahun pembayaran masih bisa dilakukan karena tutup tahun anggaran adalah 31 Desember sebelum pukul 24:00 wib.
Sehingga pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Dinas Kesehatan yang melakukan pembayaran kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras melalui transfer pada 31 Desember pukul 7 malam adalah sangat masuk akal karena melalui transfer dan hanya pemindahbukuan Dinas Kesehatan DKI Jakarta kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Menjadi aneh apabila pembayaran itu dilakukan melalui antar bank yang harus menunggu terlebih dahulu opersional dari bank terkait pada tanggal 31 Desember 2014, jika demikian baru terkesan dipaksakan, tetapi kenyataanya tidaklah demikian.
Kedua. Tudingan Ketua BPK yang menuding bahwa pembayaran secara cek tunai senilai Rp. 755 miliar yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kesehatan kepada Yayasan Sumber Waras juga makin tidak beralasan.
Karena jika ingin berlogika bagaimana mungkin Dinas Kesehatan DKI Jakarta membayar secara cek tunai senilai Rp. 755 miliar tersebut? Butuh berapa truk yang bisa mengangkut uang senilai Rp. 755 miliar tersebut? Pembayaran yang dilakukan Dinas Kesehatan DKI Jakarta kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras adalah melalui cek lalu transfer.
Dan oleh karena itulah harus dibedakan dulu antara cek tunai dan transfer. Cek tunai adalah cek yang dapat dicairkan secara tunai kepada bank, baik cek atas nama maupun cek atas tunjuk, Sedangkan transfer adalah pemindahan dana antar rekening (dari satu rekening ke rekening lainnya). Sehingga tudingan dari Ketua BPK tersebut tidak dapat diterima secara hukum karena terjadi perbedaan yang sangat mendasar antara cek tunai dan transfer.
Sehingga hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menuding ada kerugian negara dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah sangat tidak masuk akal. Â
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menuding Ahok menimbulkan kerugian negara karena telah membeli lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang harga pembeliannya lebih mahal ketimbang dari harga penawaran pertama dari PT. Ciputra Karya Utama seharga Rp. 564 Miliar pada 2013 lalu adalah tidak beralasan secara hukum.
Menjadi tidak beralasan secara hukum karena dasar hukum yang digunakan Badan Pemeriksa Keuangan ketika mengaudit adalah pasal 121 Peraturan Presiden No 71/2012, yang padahal pasal 121 Peraturan Presiden No 71/2012 sudah direvisi dalam pasal 121 Peraturan Presiden No 40/2014. Sehingga Keputusan Ahok yang menunjuk langsung pembelian terhadap lahan Sumber Waras tanpa kajian tidaklah asal-asalan sebagaimana yang seperti yang ditudingkan BPK kepada Ahok.