[caption caption="RS Sumber Waras (Dok : Kompas.com)"][/caption]Kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras kian menunjukan bahwa ada ketidakwajaran dan penyelundupan hukum dalam audit pembelian lahan milik Ketua Yayasan Kesehatan Sumber Waras, Kartini Muljadi. Menjadi ada ketidakwajaran secara hukum karena sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan menyebut bahwa berdasarkan hasil audit, Kerugian negara dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2014 adalah senilai Rp. 191 miliar, tetapi setelah Komisi III DPR melakukan kunjungan ke Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi III menyebut bahwa kerugian negara turun dari Rp 191 miliar menjadi Rp 173 miliar.
Tentu yang menjadi pertanyaan besarnya adalah bagaimana mungkin Badan Pemeriksa Keuangan dengan gegabahnya dan mudahnya mengumumkan bahwa telah terjadi kerugian Rp 191 miliar dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, yang lalu kemudian oleh Komisi III DPR disebut bahwa kerugian negara dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras adalah Rp. 173 miliar. Menjadi sesuatu yang sangat aneh apabila hasil audit belum selesai diaudit hingga final tetapi seolah-olah dikejar-kejar waktu agar segera diumumkan kepada publik terkait kerugian negara Rp 191 miliar yang sebelumnya disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Ada 4 alasan hukum mengapa kasus ini tidak bisa dilanjutkan:
Pertama, Menjadi ketidakwajaran hukum adalah pembelian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras adalah pada tahun 2014 tetapi Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit pembelian itu menggunakan NJOP tahun 2013yang mana pada tahun 2013 belum ada pembelian terkait luas lahan seluas 3,6 hektare tersebut. Sehingga hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tersebut sesungguhnya penuh dengan ketidakwajaran secara hukum. Sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi tidak akan bisa melanjutkan kasus ini karena banyak ketidakwajaran hukum dalam pengauditan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan tersebut.
Kedua, Dan selain soal adanya ketidakwajaran secara hukum karena adanya perbedaan kerugian negara yang timbul akibat pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, ada pula penyelundupan hukum yang terjadi dalam audit pembelian laha seluas 3,6 hektare tersebut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dilakukan oleh badan Pemeriksa Keuangan. Yang dimaksud dengan penyelundupan hukum disini adalah bahwa pasal yang dijadikan acuan Badan Pemeriksa Keuangan melihat ada ketidakwajaran dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras secara hukum sudah tidak berlaku lagi karena pasal tersebut sudah direvisi dengan ketentuan yang baru.
Pasal yang dimaksud di atas adalah pasal 121 Peraturan Presiden No 71/2012 yang bunyinya: Pembelian tanah di atas satu hektare harus melalui serangkaian prosedur, seperti uji kelayakan, serta tidak boleh lewat penunjukan langsung. Hanya pembelian di bahwa satu hektare bisa tunjuk langsung. Tetapi pasal yang dijadikan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai acuan utama untuk mengaudit pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras sudah direvisi ke dalam Peraturan Presiden No 40/2014 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah, yang mana bunyi pasal 121: Pengadaan tanah di bahwa lima hektare tidak memerlukan kajian panjang dan bisa lewat penunjukan.
Dan apa yang dilakukan Ahok dalam pembelian lahan seluas 3,6 hektare milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras tersebut adalah sudah benar secara hukum karena pengadaan tanha dibawah 5 hekatre adalah tidak memerlukan pengkajian yang panjang lagi dan bisa tunjuk langsung, dan hal ini memang berbeda dengan pasal 121 Peraturan Presiden No 71/2012 ( yang sudah dicabut seiring terbitnya revisi pasal 121 dalam Peraturan Presiden No 40/2014 tersebut) yang memang mengharusnya pengkajian apabila melakukan pengadaan tanah (membeli tanah) di atas 1 hektare. Dan apabila pasal yang dijadikan hasil audit sudah tidak berlaku lagi harusnya hasil audit tersebut menjadi batal demi hukum karena sifatnya menjadi ilegal akibat adanya penyeludupan hukum terhadap pasal yang sudah tidak berlaku lagi.
Ketiga, Selain itu audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sudah dibayar melalui transfer bisa dipertanggung jawabkan secara hukum pada 31 Desember 2014 pukul 7 malam tersebut adalah tidak sah secara hukum karena dasar hukum yang dijadikan acuan utama untuk mengaudit pembelian lahan seluas 3,6 hektare tersebut sudah tidak berlaku lagi dan jika pasal yang dijadikan acuan mengaudit sudah tidak berlaku lagi maka secara hukum pula hasil audit dari Badan pemeriksa Keuangan tersebut tidak dibenarkan secara hukum dan tidak sah secara hukum karena psalnya sudah direvisi.
Dan selain itu pula, Meskipun yang meminta dilakukannya audit terhadap pembelian lahan milik Yayasan Sumber Waras tersebut adalah atas dasar permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi tetapi secara hukum Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tidak memiliki alasan hukum apapun apabila hendak menentapkan tersangka dalam kasus ini karena pasal yang dijadikan acuan sudah tidak berlaku lagi dan secara hukum pula hasil audit tersebut tidaklah dibenarkan dan tidak bisa ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Keempat, Menjadi tidak bisa ditindaklanjuti dan tidak dibenarkan secara hukum karena Komisi Pemberantasan Korupsi tidak bisa memakai data hasil audit tersebut untuk meningkatkan kasus ini ke tahap penyidikan, karena jika ada penetapan tersangka bisa dipastikan gugatan praperdilan tidak akan pernah dimenangkan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi karena prosedur penetapan tersangkanya cacat hukum akibat berpatokan dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang juga cacat secara hukum dan tidak dibenarkan secara hukum karena menggunakan pasal yang sudah tidak berlaku lagi an dengan kata lain ada penyelundupan hukum yang terjadi dalam audit pembelian lahan seluas 3,6 hektare milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H