[caption caption="Basuki Thajaya Purnama (Dok: Kompas.com)"][/caption]Ahok memang keterlaluan, terlalu pemberani, pantang takut, pantang mundur, tanpa kompromi, konsisten, penuh percaya diri dan sekali bilang tidak tetap tidak, sekali bilang iya tetap iya. Ahok telah mengambil sebuah keputusan yang amat sangat berani namun mengandung resiko yang sangat besar. Namun Ahok tidak memperdulikan betapa besarnya risiko yang akan dihadapinya kedepan. Yang ada dibenak Ahok hanyalah ingin membenahi Jakarta. Ahok telah memutuskan meninggalkan PDIP dan lebih memilih ‘’Teman Ahok’’ sebagai kendaraannya untuk maju dan bertarung menghadapi rival-rival politik yang kini telah bersiap untuk meladeni Ahok. Tentu hitung-hitungan politik telah dilakukan Ahok. Ahok ingin menorehkan tinta emas untuk pertama kalinya bahwa jalur independen bisa mulus melenggang kembali ke Balai Kota tanpa kendaraan elit, cukup dengan kendaraan yang sangat sederhana yang siap mengantarkannya melenggang kembali ke Balai Kota.
Persaingan menuju kursi DKI-1 kian sengit dan panas. Pasca PDIP menolak menyerahkan Djarot Saiful Hidayat kepada Ahok, Djarot pun enggan pula meninggalkan PDIP. Ahok langsung mengambil sebuah keputusan yang amat sangat berisiko yakni Ahok memutuskan meninggalkan PDIP dan tetap maju lewat jalur independen. Bisa dibayangkan tidak maju melalui jalur partai, karena biar bagaimana pun juga Ahok perlu dukungan politik yang sangat kuat dari DPRD DKI Jakarta yang mayoritas berasal dari partai politik. Bisa dibayangkan Ahok akan menghadapi tingginya tensi dan pertarungan politik dari dari lawan-lawan politiknya. Â Ahok ibarat pemain catur, Ahok seharusnya tidak bisa langsung melompati beberapa anak catur yang harusnya dilewati lebih dulu, Ahok harusnya berputar-putar untuk mencari jalan yang membawa keberuntungan, Namun Ahok telah memutuskan melakukan lompatan yang amat sangat jauh.
Tentu pula keputusan Ahok yang melakukan lompatan jauh tersebut mengandung resiko yang amat sangat besar. Namun ternyata Ahok telah memperhitungkan segala resiko yang bisa saja muncul akibat keputusannya untuk meninggalkan PDIP. Selama ini Ahok memang memiliki kedekatan emosional dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri termasuk pula beberapa elit PDIP. Antara Ahok dan PDIP sudah memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, hanya saja antara Ahok dan PDIP sudah terbilang tidak mesra lagi lantaran Ahok tega mengkhianati PDIP dan lebih memilih Teman Ahok yang telah bersusah payah memenuhi syarat agar Ahok bisa maju lewat jalur independen. Namun resiko makin bertambah besar jika jumlah fotocopi KTP tidak mencapai 1 juta lembar fotocopi dan partai marah, dan saat ini PDIP sudah mulai panas dengan Ahok.
Namun Ahok dengan segala resiko yang telah diambil, Maka Ahok telah siap pula untuk menganggung akibat yang muncul manakala keputusan yang diambil Ahok itu menjadi blunder sendiri bagi Ahok. Termasuk untuk menghadapi monster-monster politik yang siap menganggu Ahok dalam memperebutkan kursi DKI-1. Monster berbeda dengan setan. Setan bisa diusir dengan mambaca kitab suci, sedangkan untuk dapat mengusir monster, tentulah harus memiliki kekuatan yang sakti, sama saktinya dengan monster yang bisa melahap siapa saja yang menjadi musuhnya. Tentunya ini sudah dipersiapkan oleh Ahok sehingga Ahok berani menanggung resiko politik yang amat sangat besar yakni meninggalkan PDIP dan memilih Heru Budi Hartono sebagai Calon yang akan mendampinginya pada Pilgub DKI Jakarta pada Februari 2017 mendatang. Yang lebih mengerikan lagi adalah jika lawan politik Ahok sengaja mengundang jin-jin politik yang sama jahatnya dengan monster politik yang sengaja dimunculkan.
Dengan menggandeng Heru Budi Hartono, Ahok telah siap menanggung semua resiko ini. Heru Budi Hartono adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dilirik Ahok karena kejujurannya dalam membantu pengelolaan aset dan anggaran di DKI Jakarta selama ini. Â Ahok selama ini diketahui mendapatkan ujian bertubi-tubi dari DPRD dan SKPD DKI Jakarta mengenai anggaran yang sangat rawan mulai dari dimanipulasi hingga di mark up. Namun bagi Ahok tak semua PNS memiliki kelakuan buruk tersebut. Ahok masih percaya bahwa masih ada PNS yang benar-benar tulus dan jujur mengabdi pada kemajuan wilayah tempatnya mengabdi. Dan itu telah dibuktikan Heru Budi Hartono sehingga Ahok memutuskan meminangnya degan resiko tingkat tinggi yang telah menanti Ahok.
Sejak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, cenderung Ahok bukan hanya menjadi Gubernur DKI Jakarta saja tetapi Ahok adalah Gubernur three in one. Menjadi Gubernur three in one karena Ahok selama ini bertindak sebagai pengawas, penjaga anggaran dan eksekutif. Pengawas yang dimaksud disini adalah Ahok mengawasi penggunaan anggaran sehingga besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk keperluan dinas-dinas terkait pun Ahok mengetahuinya. Menjaga anggaran yang dimaksud disini adalah Ahok sebagai penjaga utama anggaran DKI yang hanya diperuntukan untuk kesejahteraan masyarakat DKI bukan elit DKI. Ahok sebagai pengawas terbukti ketika ia membuka adanya anggaran siluman beberapa waktu yang lalu. Tak hanya menjadi Gubernur pengawas, Ahok juga selama ini kerap bersih-bersih PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan PNS yang dibersihkan inilah bisa berubah wujud menjadi monster-monster politik yang sangat menyeramkan sekaligus mengerikan bagi Ahok.
Monster-monster politik yang mengerikan karena dendam pada Ahok akibat perlakuan Ahok selama ini mungkin akan bermunculan dalam waktu dekat, Namun hal yang tak kalah penting dari monster politik adalah Ahok akan menghadapi lawan politik yang tangguh yang kini diyakini sedang dipersiapkan oleh PDIP. PDIP bisa dipastikan merasakan sakit hati dan luka yang mendalam akibat goresan yang sengaja digoreskan Ahok pada partai berlambang moncong putih itu. Dengan gampangnya Ahok menolak PDIP dan memutuskan maju lewat jalur independen dan menolak jalur partai yang padahal selama ini telah dipersiapkan PDIP untuk Ahok yang akan dikawinkan dengan Djarot Saiful Hidayat. Telah membuat PDIP tergores dan tersayat-sayat, praktis, PDIP akan memajukan Djarot Saiful Hidayat yang akan dihadapkan langsung dengan Ahok.
PDIP diyakini hanya akan mengusung Djarot Saiful Hidayat, dengan catatan jika PDIP tidak melakukan manuver politik putar haluan (Baca: Mendukung Ahok). Nama Djarot lebih unggul dan terjaga elektabilitasnya ketimbang kader lainnya yang dimiliki PDIP. PDIP memang memiliki kader-kader yang unik, salah satunya Rieke Diah Pitaloka alias Oneng , pameran Bajaj-Bajuri, namun tingkat kepopuleran saja tidak cukup untuk menghadapi Ahok. Tentu PDIP paham itu. Oneng memang kocak bisa membuat orang tertawa terbahak-bahak tapi bukan itu yang dibutuhkan masyarakat DKI Jakarta, yang dibutuhkan adalah sosok yang telah memuaskan PDIP sehingga PDIP hampir sudah dipastikan akan mengusung Djarot, lalu bagaimana dengan yang akan mendampingi Djarot, tentu PDIP masih akan berhitung secara cermat karena berhasil menguasai tingkat nasional, menjadi harga mati pula bagi PDIP untuk bisa mengantongi suara DKI Jakarta yang merupakan Ibu Kota RI.
Selain itu, Ahok juga  hadir dalam acara perayaan ulang tahun ketika Ketua Umum PDIP, Megawati merayakan ulang tahunnya, Ahok mendapatkan keistimewaan yakni mendapatkan suapan pertama sepotong tumpeng dari Megawati dan saat pada saat itu adalah sinyal  politik terkuat yang pernah ditangkap bahwa Megawati akan mengusung Ahok dan Djarot Saiful Hidayat, tapi kini keadaannya sudah berubah. Keadaan menjadi berubah karena Ahok telah memilih jalan sendiri dan tidak mau berjalan berdampingan dengan PDIP. PDIP akan mengusung Djarot Saiful Hidayat pada Pilgub DKI 2017 terlebih pola kepemimpinannya saat menjadi Bupati Blitar cukup memuaskan bagi PDIP, Kemudian ditambah pula bahwa selama Djarot cukup baik dalam mendampingi Ahok memimpin DKI, PDIP sudah merasa bahwa kepemimpinan Ahok dan Djarot sudah cocok, namun karena Ahok berputar haluan, Maka PDIP akan mengusung Djarot untuk menghadapi Ahok pada Pilgub DKI 2017 mendatang.
Terlebih lagi sebelumnya PDIP juga merasa kesal dan marah pada ‘’Teman Ahok’’ karena pada karikatur yang ditampilkan pada website resmi ‘’Teman Ahok’’, seolah Ahok sedang dihipnotis oleh banteng merah yang matanya mengeluarkan pancaran sinar berwarna merah dan Ahok terus ditarik-tarik oleh para relawan agar tidak terkena hipnotis banteng merah yang sangat identik dengan PDIP. Tentu ini menambah rasa kesal PDIP terhadap ‘’Teman Ahok’’ dan Ahok, terlebih setelah Ahok memutuskan akan maju lewat jalur independen. Bukan hanya rasa kesal tetapi PDIP seolah merasa makin tersayat-sayat oleh pedang emas Ahok. Namun itu menjadi kecelakaan politik yang sangat fatal bagi Ahok bilamana target 1 juta fotocopi KTP tak terkumpul dan tak ada partai yang mengusung Ahok. Sungguh fatal dan mengerikan.
Menjadi fatal dan mengerikan apabila target pengumpulan 1 juta KTP tak terkumpul dan PDIP enggan balik badan mengusung Ahok. Jika itu yang terjadi, itu adalah sebuah petaka politik terbesar yang pernah dialami warga DKI Jakarta. Karena jika sudah demikian Ahok bisa dipastikan ‘’game over’’ dan nasib Jakarta kedepannya makin tidak karuan akibat rendahnya kemampuan dalam menjalankan birokrat pemerintahan. Meskipun demikian, warga DKI Jakarta tidak akan pesimis, target pengumpulan 1 juta KTP sebagai syarat jika menginginkan Ahok maju sebagai calon independen sebagaimana yang diatur dalam UU No 8/2015 tentang Pilkada akan terkumpul, Syarat itu mutlak dan tak bisa dikurang-kurangi. Tentu inilah yang menjadi bumerang tersendiri bagi Ahok dan ‘’Teman Ahok’’.