Mohon tunggu...
Ricky Sebastian
Ricky Sebastian Mohon Tunggu... Lainnya - Building Manager at Tamansari Skylounge

apakah diri kita sudah benar - benar memiliki loyalitas terhadap negaramu dan agamamu? apakah kita sudah benar - benar membenci tirani dan diktatoral? lebih baik kita menjadi pengemis ilmu dari pada kita menjadi penjilat penguasa...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penyalahgunaan dan Perusakan Terhadap Lingkungan Berdampak Pada Kemunduran Geostrategis Jakarta

17 Maret 2014   08:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:51 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I.AKAR PERMASALAHAN KOMPLEKS IBUKOTA

Jakarta yang merupakan Jantung ibukota Republik Indonesia dengan segala keragaman budaya ( heterogen ) dengan penduduk ± 10 juta penduduk dengan aktivitas kegiatan masyarakat yang hampir tak pernah berhenti. Permasalahan di Ibukota sangatlah Klimaks dan resistensi. Dari hal Banjir besar sejak tahun 2002 hingga kini permasalahan banjir tidak pernah usai. Penyempitan Sungai – sungai besar yang melalui Jakarta dengan dihiasi rumah – rumah non permanen bahkan permanen dibantaran sungai, menyebabkan kebanjiran yang hampir menggenangi Jakarta di saat musim hujan datang baik di Jakarta sendiri maupun di kota – kota yang bertetanggaan dengan Jakarta. Bukan hanya banjir yang menjadi permasalahan sentral tetapi kemacetan menjadi salah satu masalah dari sederet masalah yang saat ini belum tuntas diselesaikan.

Kemacetan di seluruh jalan Jakarta setiap harinya baik di jalan – jalan TOL berbayar,protokol ( primer ) maupun di jalan – jalan alternatif ( sekunder ) acapkali tidak pernah kita lihat kekosongannya, dan antrian kendaraan bermotor memanjang hingga jauh puluhan kilo meter. Ironis memang ketika aktivitas yang besar tetapi fasilitas tidak menunjang dan pemerintah Daeran Provinsi DKI jakarta seakan tidak ada PR yang harus diselesaikan, khususnya kepemimpinan Joko widodo yang hampir dua tahun menjabat. Baik banjir maupun macet memang tidak mudah di selesaikan tetapi pemimpin DKI Jakarta tentu mengetahui resiko memimpin ibukota dengan segudang permasalahan. Dan yang terpenting ialah pemimpin itu menciptakan solusi dari segudang permasalahan menjadi komoditi utama pelayanan publik guna menciptakan korelasi yang seimbang baik dari aspek ekonomi dan bisnis maupun segi politik dan hukum di Ibukota. Banjir dan Kemacetan tidak hanya menimbulkan kerugian jangka pendek tetapi kerugian jangka panjang pun dirasakan masyarakat baik yang tinggal di Jakarta maupun yang melakukan kegiatan bisnis dan lain – lainnya di Jakarta. 19 Janji Jakarta baru yang di kemukakan gubernur DKI Joko widodo dan Basuki Tjahya Purnama saat kampanye dan akan direalisasikan menjadi program kerja lima ( 5 ) tahunan ternyata belum satupun permasalahan Banjir dan kemacetan yang secara signifikan berkurang. Jika kita lihat kembali kepada janji – janji kampanye Joko Widodo terkait penanganan banjir yang berikut ini :

“ Membangun perkampungan yang sehat dan layak huni. Hunian di bantaran Sungai Ciliwung di desain menjadi kampung susun. Melakukan intervensi sosial untuk merevitalisasi pemukiman padat dan kumuh tanpa melakukan penggusuran. (Debat Calon Gubernur DKI Jakarta, 14 September 2012)

Mengatasi banjir dengan melakukan pembangunan embung/folder untuk menangkap dan menampung air hujan di setiap kecamatan dan setiap kelurahan. Mengintegrasikan seluruh saluran drainase agar terkoneksi dengan kanal-kanal pembuangan air “.

Salah satu point janji – janji Joko Widodo ini untuk mengatasi banjir di Jakarta hingga wacana pemasangan alat deep Tunnel bahkan yang menghebohkan lagi melakukan Perekayasaan pemindahan hujan dengan anggaran mencapai 20 miliar rupiah ini dinilai tidak signifikan. Proses perekayasaan melibatkan 4 pesawat terbang yaitu 1 Hercules C-130 TNI AU dan 3 pesawat Casa 212-200 untuk mempercepat awan menjadi hujan. Sedangkan untuk menghambat pertumbuhan awan dipasang 25 titik GBG (Ground Based Generator) yang membakar flare berisi bahan higroskopis (NaCl). Selain itu didukung 3 radar hujan, dan 6 stasiun pos meteorologi. Posko dengan Hercules di Lanud Halim PK sedangkan 3 Casa berada di Pondok Cabe.

Mau dilakukan Proses Perekayasaan dengan menggunakan metode Jumping Process terhadap awan hujan ataupun memasang alat GBG tetap saja banjir tidak dapat dihindari. Seharusnya program pemerintah DKI melakukan tindakan cepat dengan melakukan sterilisasi bantaran sungai, proses penggalian kedalaman sungai dan pembersihan sampah – sampah di sepanjang jalur sungai hingga merapikan jalur hijau yang selama ini dipakai / disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Permasalahan Klimaks dari Banjir dan macet tersebut terbentuk dari beberapa faktor, salah satunya ialah faktor pembiaran yang dilakukan pemerintah DKI Jakarta baik sebelum masa Jokowi maupun di era kepemimpinan Jokowi. Efek pembiaran inilah yang menjadi titik pusat terjadinya permasalahan – permasalahan utama Ibukota Jakarta. Sebagai contoh ialah, Kegunaan dan Fungsi lingkungan yang selama ini diabaikan oleh pemerintah DKI Jakarta, Baik Pemerintah Kota mapun pemnerintah Provinsi. Fungsi Lingkungan yang dimaksud ialah Fungsi dari Ruang Hujau terbuka ( Green Open Space ), Jalur hijau ( Green Line ) yang masih disalah fungsikan bahkan penyalahgunaan fungsi tersebut tidak hanya dimiliki secara pribadi, bahkan dikomersialisasikan. Sebenarnya hal tersebut sangatlah bertentangan dengan Perda DKI Jakarta No 8 tahun 2007 BAB 3 Pasal 12 point a s/d h yang di atur juga dalam UU no 26 tahun 2007 tentang tata ruang dalam lingkup skala Nasional.

Bagaimana Jakarta mampu keluar dari permasalahan, jika Pemerintah DKI Jakarta kurang serius dan melalaikan setiap peraturan – peraturan yang telah dibuat untuk mengatur mekanisme pemerintahan. Lingkungan merupakan geostrategis dari segala kegiatan, ketika minimnya Ruang terbuka ( Open Space ) maka banyak permasalahan yang akan timbul, seperti kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang terbuka(Openspace)untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat. Di sinilah kita bisa menilai bahwa pemerintah DKI dengan sederet program penanganan banjir, kemacetan, bencana alam maupun masalah kesehatan dengan program Kartu Jakarta Sehat ( KJS ) yang diberikan secara gratis tidak akan signifikan terbantu, bilamana Openspace tidak maksimal disediakan atau ditertibkan dari penyalahgunaan Jalur Hijau / Ruang publik tersebut. Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi publik. Ironis memang, jika sebuah Ibukota Negara tidak memaksimalkan ruang publik ( Public Space ) maupun Ruang terbuka ( Open Space ).

Besar dampak positif lingkungan bagi manusia dan besar pula dampak negatif akibat rusaknya tatanan lingkungan di perkotaan. Maka dari itu ketika seorang pemimpin tetap serius menjaga amanah konstitusi, permasalahan kerusakan lingkungan dan pengalih fungsian Jalur hijau / ruang publik tidak akan berlarut hingga saat ini. Yang membuat miris, terkadang Jalur primer dijakarta dan akses – akses menuju jalur primer tersebut banyak sekali penyalahgunaan jalur hijau ataupun ruang publik. Kalau kita lihat, akses menuju jalur primer banyak sekali pedagang – pedagang (baik pedagang kaki lima maupun pedagang kios / ruko permanen ) yang telah melanggar aturan dengan cara menempati ruang publik maupun Jalur hijau tersebut. Kita ambil contoh di bantaran sungai ciliwung, masih banyak bangunan semi permanen dan permanen berdiri merapat. Selanjutnya di area jalan, seperti di jalan Jl Oto Iskandar Dinata ( Otista ), Pasar rebo, Jl Basuki Rahmat, Jl raya Kramat Jati dan Cililitan ( Jakarta Timur ), Jl Raya Pasar Minggu, Blok M, Jl Kapt tendean, Semanggi, Jl Kasablanka, Jl KH Abdullah Syafe’i, Kp Melayu, Kemang, Pondok Labu ( Jakarta Selatan ), Palmerah, Slipi, Boulevard, Tomang, Gajah Mada dan Hayam Wuruk, Kota, Glodok, Kebon Jeruk ( Jakarta Barat ) Senen, Jl Pramuka, Jl Kramat Raya, Salemba Raya ( Jakarta Pusat ), Penjaringan, Pademangan, Cilincing ( Jakarta Utara ) dan masih banyak lagi daerah / jalan – jalan publik yang dimana aktivitas pelanggaran atas penyalahgunaan fungsi jalur hijau masih bertahan hingga saat ini dan pemerintah seakan tidak mampu menyelesaikan polemik tersebut.

II.PENDEKATAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN FUNGSINYA

Pendekatan ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh ruang terbuka hijau terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan, atau dalam upaya mempertahankan kualitas yang baik.

a.       Daya Dukung Ekosistem

Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau tersebut merupakan komponen alam, yang berperan menjaga keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30%.

b.       Pengendalian Gas Berbahaya dari Kendaraan Bermotor

- Gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya), tertama yang berbahaya sekali adalah dari golongan Nox, CO, dan SO2. Diharapkan ruang terbuka hijau mampu mengendalikan keganasan gas-gas berbahaya tersebut, meskipun ruang terbuka hijau sendiri dapat menjadi sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan ruang terbuka hijau dengan komponen vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya. Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia (oleh Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman kemampuan berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya tersebut. Perkiraan kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini tergantung pada jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.

- Sifat dari vegetasi di dalam ruang terbuka hijau yang diunggulkan adalah kemampuannya melakukan aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme  di dalam vegetasi dengan menyerap gas CO2, lalu membentuk gas oksigen. CO2 adalah jenis gas buangan kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya, sedangkan gas oksigen adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian ruang terbuka hijau selain mampu mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah suplai oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan ruang terbuka hijau dalam mengendalikan gas karbon dioksida ini ditentukan berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas karbon dioksida dari sejumlah kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan perkotaan tertentu.

c.       Pengamanan Lingkungan Hidrologis

- Kemampuan vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat dijadikan alasan akan kebutuhan keberadaan ruang terbuka hijau tersebut. Dengan sistem perakaran yang baik, akan lebih menjamin kemampuan vegetasi mempertahankan keberadaan air tanah. Dengan semakin meningkatnya areal penutupan oleh bangunan dan perkerasan, akan mempersempit keberadaan dan ruang gerak sistem perakaran yang diharapkan, sehingga berakibat pada semakin terbatasnya ketersediaan air tanah.

-          Dengan semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan air  tanah, maka secara tidak langsung dapat mencegah  terjadinya peristiwa intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang ada, yang dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan kualitas air minum dan terjadinya korosi/ penggaraman pada benda-benda tertentu.

d.       Pengendalian Suhu Udara Perkotaan

-          Dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala yang lebih luas lagi, ruang terbuka hijau menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan ‘heat island’ atau ‘pulau panas’, yaitu gejala meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya.

-          Tingkat kebutuhan ruang terbuka hijau untuk suatu kawasan perkotaan bergantung pada suatu nilai indeks, yang merupakan fungsi regresi linier dari persentase luas penutupan ruang terbuka hijau terhadap penurunan suhu udara. Jika suhu udara yang  ditargetkan telah ditetapkan, maka melalui  indeks tersebut akan dapat diketahui luas penutupan ruang terbuka hijau minimum yang harus dipenuhi. Namun yang harus dicari terlebih dahulu adalah nilai dari indeks itu sendiri.

e.       Pengendalian Thermoscape di Kawasan Perkotaan

-          Keadaan panas suatu lansekap (thermoscpe) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau. Kondisi Thermoscape ini tergantung pada komposisi dari komponen-komponen penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan komponen yang menunjukan struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan, permukiman, paving, dan konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara  komponen-komponen dengan struktur panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh manusia, maka komponen-komponen  dengan struktur panas yang rendah (vegetasi dalam ruang terbuka hijau) merupakan kunci utama pengendali kualitas thermoscape yang diharapkan. Keadaan struktur panas komponen-komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra merah.

-          Keadaan panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan indikator penting dalam menilai suatu struktur panas yang ada. Guna memperoleh keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas yang dirasakan nyaman oleh manusia. Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara komponen-komponen penyusun struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas oleh manusia. Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih tinggi.

f.         Pengendalian Bahaya-Bahaya Lingkungan

-          Fungsi ruang terbuka hijau dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan pada dua aspek penting : pencegahan bahaya kebakaran dan perlindungan dari keadaan darurat berupa gempa bumi.

-          Ruang terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu mencegah menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya. Demikian juga dalam menghadapi resiko gempa bumi yang kuat dan mendadak, ruang terbuka hijau merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan demikian, ruang terbuka hijau perlu diadakan dan dibangun ditempat-tempat strategis di tengah-tengah lingkungan permukiman.

Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari  ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Dan akar rumput permasalahan segala masalah yang kompleks akibat penggunaan serta pengawasan lingkungan yang termasuk dalam tata ruang belum berjalan optimal dan terkesan dibiarkan hingga mengakibatkan kebiasaan – kebiasaan yang timbul ditengah – tengah masyarakat dalam menempati wilayah ruang terbuka maupun jalur hijau. Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m2 tajuk tanaman diperlukan untuk  satu orang, Grove (1983).

Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota.

Singapura, dengan luas 625 Km2 dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwa/ km2, diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177 Km2 sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1.000 orang.

Amanat UU nomor 26 tahun 2007 Tentang Tata Ruang sudah menjelaskan bahwa wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi, kabupaten dan kota dalam melakukan penataan tata ruang wilayah dan melakukan pengawasan terhadap fungsi tata ruang wilayah tersebut sehingga tidak adanya penyalahgunaan lahan tersebut sebagai lahan privat apalagi komersialisasi dan tugas pemerintah provinsi, kabupaten dan kota lah dalam menindak tegas penyalahgunaan tersebut demi tercapainya kepentingan bersama yang bebas dan nyaman dan mengurangi bahaya yang dapat merugikan secara finansial yang sangat besar sehingga ketertarikan investor dalam menginvestasikan dana di negara ini akan melemah dan berefek terhadap pertumbuhan ekonomi yang lambat dan berdampak sosial secara keseluruhan. Dari segi kesehatan serta sosial dampak paling signifikan ialah efek gas beracun yang menggangu kesehatan karena tidak tereduksi dari tanaman hijau. Selain itu tingkat kecelakaan yang tinggi akibat trotoar ( akses pejalan kaki ) yang merupakan klasifikasi jalur hijau yang selama ini digunakan untuk kepentingan pribadi berdampak kepada tingginya angka kecelakaan dan tidak dipungkiri akan mengakibatkan korban jiwa bagi pengguna jalan dan sudah jelas merugikan kepentingan umum.

Dengan Tulisan Kita Mencari Kebenaran Bukan Pembenaran

RICKY SEBASTIAN HAFIZ

Ketua Bidang Informasi Dan Komunikasi

Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI )

JABODETABEKA BANTEN

DAFTAR PUSTAKA

Danoedjo,S. 1990., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

Pemerintah DKI Jakarta, Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Tahun 1991. Jakarta, Maret 1992.

Rustam Hakim, Thesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta, Institut Teknologi Bandung, 2000.

Rustam Hakim, 1996, Tahapan dan Proses Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, penerbit Bina Aksara Jakarta

Rustam Hakim, 2004, Arsitektur Lansekap,Manusia, Alam dan Lingkungan, penerbit Bina Aksara Jakarta

Dusseldorp, D.B.M.W.Van, 1981. Participation in Planed Development : Influence by Government of Developing Contries of Local Level in Rural Areas.

Susanto A., 1993. Gerakan Penghijauan Sejuta Pohon Menuju Jakarta Berwawasan Lingkungan. Dinas Bina Program Dinas Pertanaman DKI Jaya.

Robinette, J., 1983.  Lanscape Planning For Energy Conservation. Van Nostrand Reinhold Co., New York.

Soemarwoto, O., 1983.  Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Jambatan Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun