Ah, tidak! Jangan lagi mengingat kejadian, saat di mana Pak Ahmad ingin menodaiku. Aku menggelengkan kepala. Papa dan Mama tidak mengetahui ini semua. Ada sesuatu yang menolongku di lantai tiga. Sesuatu yang membuat diri ini mendorong Pak Ahmad hingga ia terpental jatuh. Dari lantai tiga ke bawah.
Namun, sedikit aneh. Bagaimana mungkin aku saat itu berada di lantai tiga dan tiba-tiba terbangun sudah berada dalam kamarku? Papa dan Mama saat itu sedang keluar belanja bulanan. Hanya ada aku dan Pak Ahmad.
"Naina ... ke marilahhh!"
Tidak, apa ini semua? Aku tidak mengerti siapa pemilik suara itu. Di mana-mana aku selalu mendengarnya. Suara lembut namun terdengar menusuk di telingaku.
"Nainaaa jangan lupakan janjimu. Aku meminta hadiahku!"pinta suara itu mulai menggema dalam kamarku
"Siapa kamu? Apa yang kamu mau dariku?!" ucapku setengah berteriak. Ada yang mengganjal di sini. Badanku yang seketika mulai melemah, darah ini juga serasa berhenti mengalir. Jantung kini tidak lagi berdetak. Tubuhku mulai dingin, apa aku sudah mati?
"Jiwamu Naina. Aku tidak ingin kesepian di dalam jeratan cermin ini."
Aku memandangi cermin itu lagi, tangan ini bergerak dengan sendiri mengambil cermin tersebut. Mengusap cermin tiga kali seperti awal aku memegang pahatan indahnya. Tubuhku seperti ringan, melayang tanpa beban sedikit pun, hingga sampai di kamar lantai tiga.
Nampak sosok wanita cantik memesona dengan anggunnya duduk sambil bercermin. Mata indah, bibir mungil yang berbalut lipstik merah merona. Rambut panjang kecoklatan dan sedikit bergelombang. Sungguh, kecantikan yang sangat sempurna.
"Selamat datang, Naina Sayang. Aku meminta hadiah besar yang kau janjikan padaku!" ucap wanita anggun yang bergaun putih itu dengan tersenyum manis.
"Hadiah apa? Aku tidak mengerti."