"Kutemukan, kau Naina! Hahaha ...." Pria tua itu menarik rambut panjangku dan kini mulai menarik lengan kananku dengan kasar.
"Tidaaak ... aku mohon jangan." Apalah dayaku, anak berumur lima belas tahun. Tidak berdaya, dengan tangan yang kekar dan kuat.
Pak Ahmad menyeret tubuhku dari dalam kardus, lalu membanting di atas lantai. Tangisan pun sudah pecah. Hanya satu harapanku, keajaiban! Semoga ada yang menolong. Berharap seorang peri kebaikan akan datang menolong, seperti film-film Hollywood yang pernah aku tonton.
Beberapa saat kemudian, tubuh ini terasa panas, seperti ada yang membakar. Cahaya dari cermin tadi sangat menyilaukan. Aku tidak melihat dan merasakan apa-apa lagi.
"Beraninya kau, Ahmad!"
"Ampun, Naina. Ampuuun ...."
"Tidak ada ampun bagi pendosa seperti kau, sekarang lenyaplah kau! sekarang juga.Huuuaaah ...."Suara itu aku kenal dengan pasti. Suara yang sering memanggil namaku.
"Ampun, Nainaaa!"
-----
Aku tersentak, pun terbangun memandang di sekeliling. Ini dalam kamarku, masih berada di depan cermin ini. Segera menyambar handuk mandi dan pergi ke kamar mandi.
Apa yang kulihat tadi? Pak Ahmad dan cermin itu? Semuanya nampak jelas di lantai tiga malam itu. Bagaimana bisa semua ini terjadi, aku melupakan memoar dan aku melihat Pak Ahmad akan menodaiku.