Kembali aku memasuki rumah, sementara Papa tengah sibuk menenangkan Mama. Kelihatan sekali beliau sangat syok dengan kejadian Pak Ahmad yang tepat di hadapannya.
Penasaran dengan kronologis kejadian, aku bertanya kepada Mama.
"Gimana ceritanya, sih, Ma. Sampai Pak Ahmad bisa jatuh begitu?" tanyaku pada Mama. Namun, beliau belum bisa menjawab. Sembari menuangkan air putih yang ada di meja, lalu kuberikan kepada Mama. Kembali aku pun bertanya, kali ini dengan Papa.
"Pa, Papa tahu kronologis kejadiannya?"
"Papa juga nggak tahu, Na," jawab Papa bingung, bercampur rasa tidak percaya.
"Ya, sudahlah, Pa, Ma. Ini sudah ajal beliau. Mama jangan panik lagi, istirahat aja dulu," ujarku menenangkan Mama dengan memeluknya.
"Mama mendengar teriakan Pak Ahmad pada saat terpental dari jendela. Beliau berteriak meminta ampun, dan anehnya mama mendengar dia menyebut nama kamu, Nak. Naina ...."
Aku terbungkam, bagaimana bisa Pak Ahmad menyebut namaku? Apa hubungannya?
"Mama salah dengar kali! Pada saat kejadian, aku masih tidur. Kebangun karena teriakan Mama," ucapku masih dalam kebingungan.
"Iya, Ma. Na dan Papa bersamaan keluar dari kamar masing-masing." Papa ikut menimpali, kalau aku tidak bersalah di sini. Aku dan Papa makin dibuat bingung oleh pengakuan Mama.
"Mungkin juga mama salah dengar, Sayang. Maafin mama, ya," ujar Mama membelai rambutku.
"Ya, udah, Mama istirahat! Na juga mau mandi air hangat, biar badan kembali rileks." Aku pun meninggalkan Mama dan Papa di ruangan bawah, lalu menuju lantai dua tempat kamarku.
Saat menaiki anak-anak tangga, sayup-sayup terdengar lagi suara itu.
"Nainaaa ...."
Aku membalikkan badan. 'Bulshit', tak ada satu orang pun memanggilku. Aku menepis pemikiran bermain-main di otak. Mungkin hanya halusinasi.
Kreekkk!