Mohon tunggu...
Ricky Hamanay
Ricky Hamanay Mohon Tunggu... Penulis - a cosmology aficionado

a spectator of the cosmic dance

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Einstein: "Tuhan Tidak Bermain Dadu"

6 Desember 2021   00:42 Diperbarui: 9 Januari 2023   07:00 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: logical hindi

Ketika membicarakan Einstein, maka yang muncul dalam benak sebagian besar orang adalah kata jenius, fisika, dan E = mc^2 (rumus Einstein yang paling terkenal sebagai cikal bakal lahirnya teknologi nuklir). Dalam kalangan ilmuwan, Einstein dihormati berkat kontribusinya dalam mempelopori teori kuantum dan teori relativitas. Selain hal-hal yang disebutkan di atas, salah satu hal yang paling membuat banyak orang mengingat Einstein adalah kutipannya yang terkenal; "Tuhan tidak bermain dadu". Quote ini begitu terkenal, sangking terlalu terkenalnya maka seringkali digunakan secara salah oleh orang-orang tertentu untuk menunjukkan posisi Einstein sebagai seorang theism. Pandangan ini umumnya datang dari orang-orang yang mengidolai Einstein dan disaat yang bersamaan mempercayai pribadi yang disebut Tuhan dalam ajaran-ajaran agama mayor di dunia. Jadi, mereka menggunakan kutipan Einstein "Tuhan tidak bermain dadu" sebagai dasar keyakinan diri sendiri untuk menciptakan versi Einstein yang mereka inginkan, yaitu Einstein yang beragama, alih-alih versi riil Einstein.

Albert Einstein adalah fisikawan Yahudi kelahiran Jerman yang memiliki pengaruh paling kuat dan dominan dalam membangun dua fondasi utama fisika modern; yaitu teori kuantum dan teori relativitas. Melalui teori relativitasnya Einstein merombak konsep dan pemahaman klasik tentang ruang-waktu dan gravitasi. Berkat teori relativitasnya, kita dapat memahami sebagian besar teka-teki alam semesta dalam skala dunia makroskopik. Di sisi lain, Einstein menjadi salah satu pelopor yang merintis teori kuantum. Jika pada awalnya konsep kuanta yang diperkenalkan Max Planck hanya sekedar sebagai gimmick matematika, maka Einstein menjadi orang pertama yang meyakinkan Planck bahwa kuanta bukan sekedar trik matematika melainkan sesuatu yang nyata - ini dibuktikan oleh Einstein melalui penjelasan eksperimental dan teoretikal dari efek fotolistrik.

Meskipun Einstein adalah salah satu perintis teori kuantum, namun pada saat teori kuantum mulai berkembang dan mendapatkan pijakan yang mapan berkat ditemukannya mekanika atom (mekanika kuantum) oleh Heisenberg dan Schrodinger, Einstein pelan-pelan menarik diri dan menempatkan diri pada sisi yang menentang teori kuantum. Teori kuantum adalah salah satu pilar fisika modern - seperti yang telah disinggung di atas - yang berguna dalam menjelaskan sifat dan perilaku objek dalam skala kecil atau skala atom (dunia mikroskopik). Berkat teori kuantum, manusia akhirnya bisa menciptakan berbagai teknologi modern seperti transistor misalnya yang berperan dalam lahirnya teknologi ponsel maupun laptop, serta teknologi laser yang digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai pemindai, ataupun sebagai media pembawa informasi dalam kabel serat optik. Jika teori kuantum adalah teori yang sangat berperan penting dalam perkembangan teknologi, mengapa Einstein tidak setuju dengannya?

Salah satu alasannya karena teori kuantum didasarkan pada prinsip peluang. Misalnya 'Prinsip Ketidakpastian' dari Heisenberg yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat secara bersamaan mengukur posisi dan momentum dari sebuah partikel secara akurat. Artinya, dalam dunia partikel, menurut prinsip ketidakpastian Heisenberg, setiap objek (materi atau partikel) bergerak dengan sangat acak, sehingga ketika kita menghitung nilai dari dua variabel yang saling berhubungan dari partikel tersebut maka kita hanya bisa menghitung secara akurat nilai dari salah satu variabelnya saja, sedangkan yang lainnya tidak. Jadi, jika kita bisa menghitung momentum partikel dengan tepat, maka kita tidak bisa menghitung atau mengukur posisi partikel dengan tepat atau sebaliknya. Kemudian, jika kita dapat mengukur perubahan waktu dari partikel dengan tepat, maka kita tidak bisa menghitung perubahan energi partikel dengan tepat atau sebaliknya. Hal ini berbeda dengan fisika klasik - fisika yang mengatur perilaku objek dalam skala normal - yang mana jika kita bisa mengetahui momentum objek dengan tepat maka kita juga bisa menghitung atau memprediksi posisi objek dengan tepat. Ketidakpastian inilah yang tidak disetujui Einstein.

Einstein adalah seorang yang menganut paham deterministik, yaitu paham atau pandangan filosofis bahwa semua peristiwa yang terjadi ditentukan sepenuhnya oleh sebab-sebab yang telah ada sebelumnya. Einstein mempercayai hukum kausalitas atau hukum sebab-akibat, bahwa perilaku alam semesta dapat dipelajari dan semuanya bergerak secara teratur. Oleh karena itu, menurut Einstein, peristiwa dan sifat fisik setiap partikel individu harus dapat diukur dengan presisi tinggi. Sebaliknya, teori kuantum tidak memungkinkan untuk hal itu; teori kuantum memberi tahu kita seberapa besar kemungkinan suatu sistem partikel berperilaku dengan cara tertentu, tetapi tidak akan pernah memberitahu kita bagaimana setiap partikel individu yang termasuk dalam sistem itu akan berperilaku. Einstein tidak dapat menerima tingkat keacakan dan ketidakpastian ini sehingga dia mengungkapkan pendapatnya dalam kalimat; "Teori kuantum menghasilkan banyak, tetapi hampir tidak membawa kita dekat dengan rahasia Yang Lama (tua). Bagaimanapun, saya yakin Dia tidak bermain dadu dengan alam semesta."

Pada masa kecil, Einstein memang seorang yang taat memeluk Yudaisme atau agama orang Yahudi atau umum dikenal sebagai agama Yahudi. Namun, lewat berbagai pergolakan, rasa ingin tahu dan pencarian yang mendalam maka saat memasuki usia remaja Einstein mulai enggan pada dogma-dogma agama dan berubah menjadi seorang yang realis. Dia lebih suka menerima isi teori ilmiah secara realistis sebagai representasi yang benar dari suatu realita fisik. Ketika ditanya apakah Ia percaya pada Tuhan, Einstein menjawab: "Saya percaya pada tuhan versi (Baruch) Spinoza, yang mengungkapkan dirinya dalam harmoni yang sah dari semua yang ada, tetapi tidak pada Tuhan yang memperhatikan dirinya sendiri dengan nasib dan tindakan umat manusia." 

Baruch Spinoza merupakan seorang filsuf yang hidup sezaman dengan Isaac Newton dan Gottfried Leibniz. Dalam pandangan Spinoza, tuhan identik dengan alam. Pandangan filsafat Baruch Spinoza (Spinozism) ini melahirkan apa yang disebut panteisme yang merupakan sebuah keyakinan bahwa realitas identik dengan keilahian. Pengikut paham ini - termasuk Einstein - tidak mengakui keberadaan Tuhan yang berkepribadian layaknya Tuhan dalam agama Abrahamik seperti Yudaisme (agama Yahudi), Nasrani dan Islam. Dengan kata lain, tuhannya Einstein adalah alam itu sendiri. Karena itu, ketika mekanika kuantum muncul dengan konsep 'acak' dan 'ketidakpastian' Einstein menolaknya. Einstein tidak bisa menerima bahwa 'tuhan'-nya akan membiarkan 'keharmonisan yang sah' terurai sepenuhnya pada skala atom, membawa ketidakpastian dengan efek yang tidak dapat diprediksi sepenuhnya dan secara jelas dari penyebabnya.

Dalam kutipan Einstein; "Teori kuantum menghasilkan banyak, tetapi hampir tidak membawa kita dekat dengan rahasia Yang Lama (Tua), bagaimanapun, saya yakin Dia tidak bermain dadu dengan alam semesta" Einstein sama sekali tidak menggunakan kata tuhan secara langsung, melainkan menyebutnya sebagai 'yang lama (yang tua)'. Kata "Yang lama (tua)" merupakan istilah umum sebagai personifikasi yang mewakili alam semesta itu sendiri. Jadi Einstein bukanlah seorang atheis. Karena ia juga berulang kali menyatakan dengan terang-terangan bahwa dirinya bukanlah seorang atheis atau seseorang yang tidak mempercayai atau meyakini keeksistensian Tuhan. Einstein mempercayai tuhan, hanya saja apa yang dimaksud tuhan dalam pemahaman Einstein berbeda dengan Tuhan yang disembah oleh orang-orang beragama.

Einstein meyakini bahwa sifat dan perilaku alam semesta yang harmonis tunduk pada hukum-hukum alam tertentu berdasarkan hubungan sebab-akibat. Hanya saja, menurut Einstein, pikiran manusia sangat terbatas sehingga kita tidak bisa memahami sepenuhnya kekuatan misterius apa yang menggerakkan kosmos tersebut. Pemahaman kita hanya terbatas tentang struktur alam semesta sejauh mana dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan kita.

Lebih jelas lagi, Einstein, dalam sebuah surat balasan yang ditujukkan kepada seorang filsuf Eric Gutkind pada tahun 1954 (satu setengah tahun sebelum Einstein meninggal) mengatakan; "Kata Tuhan bagi saya tidak lebih dari ekspresi dan produk kelemahan manusia. Alkitab adalah kumpulan legenda yang terhormat, tetapi masih primitif dan kekanak-kanakan. Bagi saya agama Yahudi sama seperti semua agama lainnya merupakan inkarnasi dari takhayul yang paling kekanak-kanakan." Jadi jelas bahwa Einstein menolak konsep atau pemahaman Tuhan sebagai suatu individu yang berkepribadian seperti yang dipercayai para pemeluk agama Abrahamik. Sederhananya, dalam versi Einstein tuhan adalah kosmos itu sendiri yang oleh Einstein disebut sebagai "Yang tua" dan hukum-hukum alam yang berlaku merupakan sifat atau properti dari "Yang tua" tersebut. Jadi, kita hanya dapat mengenali kosmos (yang tua) melalui hukum-hukum alam yang mengatur keteraturan perilaku alam semesta yang sifatnya deterministik. Namun, karena pemahaman manusia yang terbatas, maka kita tidak bisa memahami "Yang tua" itu sepenuhnya, kita hanya bisa memahami sampai pada batas mana ilmu pengetahuan kita dapat melangkah.

Pada dasarnya Einstein adalah seorang yang mencoba untuk rendah hati dan mengakui keterbatasannya sebagai manusia. Bagi Einstein, pikiran, pemahaman dan ilmu pengetahuan manusia yang terbatas hanya memungkinkan manusia untuk memahami alam semesta pada level yang terbatas. Oleh karena itu, ketika agama memperkenalkan Tuhan sebagai pribadi yang mengatur alam semesta, Einstein menganggap itu sebagai takhayul dan sesuatu yang mengada-ngada, karena menurutnya dengan keterbatasan kita sebagai manusia kita tidak bisa sampai pada kesimpulan itu. Lebih jauh lagi, Tuhan yang dipercayai dalam agama adalah sosok berkepribadian yang mengatur alam semesta. Einstein tidak bisa menerima hal ini karena ia tidak mau menerima gagasan tentang makhluk yang ikut campur dalam jalannya setiap peristiwa yang terjadi dalam alam semesta. 

Seperti yang sudah disinggung di atas, Einstein adalah seorang yang menganut paham deterministik, bahwa segala peristiwa terjadi dalam runtutan hubungan sebab-akibat yang teratur berdasarkan hukum-hukum alam yang menjadi properti dari kosmos itu sendiri, dan bukan karena diatur melalui campur tangan dari sosok yang disebut sebagai Tuhan. Jadi, makna frasa "tuhan tidak bermain dadu" yang populer itu merujuk pada tuhan versi Einstein yang radikal dan berbeda dari pemahaman Tuhan pada umumnya. Sayangnya, ada banyak dari mereka yang terjebak dalam pemahaman yang keliru dan ikut-ikutan menyesatkan orang lain dengan mengatakan bahwa quotes "tuhan tidak bermain dadu" yang dilontarkan Einstein merujuk pada Tuhan dalam pengertian mereka, dan oleh karenanya berkesimpulan bahwa Einstein adalah seseorang yang beragama seperti mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun