Mohon tunggu...
Ricky Dwi Apriadi
Ricky Dwi Apriadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Currently Newbie. College, Bank Finance.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Problematika Skema Terkikisnya Kawasan Hijau (Hutan) dan Dampak Negatifnya

7 Oktober 2012   10:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:08 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13494945771885642501

Kita ketahui, reboisasi adalah penanaman kembali hutan yang gundul/tandus. Sangat berguna untuk menyerap polusi udara dan debu-debu kotor, membangun kelestarian ekosistem alam dan habitat hewan, menyaring karbon dioksida untuk pencegahan terhadap pemanasan global, serta hasilnya dapat digunakan dan dimanfaatkan (re:kayu). Hutan atau lingkungan hijau merupakan paru-paru dalam suatu kota atau wilayah, tidak dapat dibayangkan tinggal di sebuah kota tanpa pohon-pohon rindang dan taman-taman bersahabat. Tentunya harus disertai niat dan ketegasan memberantas kegundulan hutan, untuk mengupayakan reboisasi ini. Salah satu contoh yang menarik, pada tahun 2009, pemerintah Kabupaten Garut memprakarsai kebijakan bahwa penanaman 10 pohon bagi pasangan pengantin yang baru dan menanamkan 50 pohon bagi pasangan yang bercerai. Kebijakan ini diambil lantaran lahan kritis di Garut semakin luas. Bagi saya, ini sungguh suatu ide yang menarik dan patut diperbincangkan.

Kebun milik Ejen Zaenal di Desa Cikajang, Kecamatan Cikajang, Garut, Jawa Barat, dipenuhi pohon seperti nangka dan alpukat yang ditanam pasangan Murni Kurniawati dan Sholehudin. Murni dan Sholehudin merupakan pasangan pertama yang melaksanakan himbauan atau edaran Bupati terkait kewajiban menanam pohon bagi pasangan yang hendak menikah. Pohon-pohon ini tampak tidak terurus dan hanya ada satu pohon alpukat yang masih terawat dengan baik. Murni mengaku tak merawat pohon di kebun ini, meski dulu ia sendiri yang menanamnya dua tahun lalu.

“Pohon yang sekarang masalah dirawatnya terus terang saya sendiri nggak merawat. Tapi suami saya pernah ngebetulin pagarnya karena pohonnya sudah nggak ada terus dibetulin lagi dipagar lagi. Untuk sekarang belum dilihat lagi,” kata Murni.

Di Garut ada 40 lebih kecamatan. Tapi baru tiga kecamatan yang melaksanakan program wajib tanam pohon bagi pasangan yang hendak menikah atau bercerai. Selain Cikajang, ada kecamatan Tarogong Kidul dan Banyuresmi. Sejak aturan diberlakukan, Garut mendapat tambahan pohon hampir 10 ribu pohon. (sumber)

Mari kita bayangkan, kebijakan ini diberlakukan di seluruh warga Indonesia, di seluruh kecamatan dan provinsi Indonesia yang hendak menjadi pengantin maupun pengantin yang hendak bercerai. Krisis tidak krisis, penanaman pohon selalu dinilai positif dan membawa dampak yang sehat. Dalam tujuan apapun, tidak akan ada alasan institusi pemerintah akan memberhentikan penghijauan.

Namun.

Faktanya, kebijakan hanyalah kebijakan. Mereka mempertimbangkan sesuatu demi sesuatu. Ironis jika hanya menanam dan tidak melestarikannya, buat apa? Berbeda dengan apa yang dialami masyarakat di luar Kabupaten Garut. Berhubung saya tinggal di sebuah kota metropolitan, kasusnya adalah penanaman pohon disertai dengan pelebaran jalan yang maksimal. Maksudnya, disamping kita menanam pohon (karena) dikomandokan untuk menanam dari pemda setempat, dilain sisi pelebaran jalan juga diberlakukan dengan memotong lahan hijau di jalan-jalan umum. Miris.

Respon kritikannya sudah dalam tahap yang benar, yaitu melebarkan jalan untuk tempat manusia berlalu-lalang dengan kendaraan berplat-nomor, tetapi mengorbankan tanaman hijau yang berada tepat dipinggirnya.

Masih ada yang lebih menyedihkan.

In another hand. Talk broadly about forest of Indonesia.

Berdasarkan data-data dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), tahun 2000 hingga 2005, rata-rata perhari  5,1 km2 hutan Indonesia hilang (rusak).  Dengan menghitung rata-rata kerusakan hutan Indonesia pada tahun 2002 PBB, merilis Hutan Sumatera dan Hutan Kalimantan akan punah pada tahun 2032.  Namun rilis resmi PBB tersebut di ralat pada tahun 2007.  Hal tersebut di latar belakangi oleh pengrusakan dan pengundulan hutan yang berjalan jauh lebih cepat dari yang di perkirakan, sehingga rilis resmi terbaru PBB menyatakan hutan di Sumatera dan Hutan Kalimantan diperkirakan punah pada tahun 2022. (sumber)

Oh my God!

Ini sudah merambat ke permasalahan dunia, karena Indonesia salah satu negara dengan kapasitas hutan yang luas. Di Indonesia terdapat lembaga yang melaksanakan penyusunan rencana makro di bidang kehutanan dan memantau mekanisme kawasan huta yaitu Badan Planologi Nasional (BPN), menyatakan bahwa kawasan hutan yang terdegradasi di Indonesia mencapai 59,6 juta ha yang disebabkan oleh aktifitas Pembalakan Liar (Illegal Logging), konservasi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit, karet, dan juga kebakaran hutan. Entah siapa yang harus bertanggung-jawab, saya sendiri tidak terlalu yakin atas tuduhan-tuduhan yang umum dibicarakan. Yang jelas, disini pembalakan liar adalah musuh nomor satu atas terdegradasinya hutan di Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Fakta sudah berbicara Ini masalah serius, bahkan mengakibatkan dampak negatif ke seluruh dunia. Tidak ada kata lagi untuk diam saja dan tidak peduli terhadap kelestarian hutan. Menurut saya, untuk peduli adalah dengan kesadaran bahwa hutan disini memiliki fungsi prinsipil sebagai paru-paru dunia, kita harus benar-benar tersadar dahulu. Setelahnya kita usaha untuk melestarikannya, dengan cara masing-masing yang kompeten dan minded. Ternyata, not over yet!

Dampak lainnya yang juga kini mengancam manusia akibat laju kerusakan hutan adalah berkembangnya berbagai virus yang mematikan. Kok bisa? Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Hadi S Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

Menurutnya perkembangan virus flu burung yang telah merenggut puluhan jiwa Orang Indonesia sejak dua tahun belakangan ini tidak lepas dari deforestasi yang tinggi di negeri ini. Jumlah mikroba yang hidup di alam seimbang dengan ekosistemnya sehingga tidak sampai menyerang manusia. Tapi apa daya! Manusialah yang merusak ekologi mikroba tersebut. Hasilnya, keseimbangan hidup mikroba pun berubah. Dan perubahan itu menyebabkan mikroba mengalami transformasi dalam kehidupannya. Mikroba transformatif itulah yang akhirnya menyerang manusia.

Flu burung merupakan penyakit yang menular lewat pernafasan. Penyebab penyakit tersebut adalah polusi udara dan penebangan hutan yang sewenang-wenang. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan minimnya suplai oksigen (O2) yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Seperti diketahui, suplai oksigen terbesar berasal dari hutan. Jika hutan itu rusak, maka suplai oksigen pun berkurang. Dampaknya luar biasa: mikroba akan tumbuh subur dan perkembangbiakannya tak terkendali. Sebab, oksigen – yang bila terkena sinar ultraviolet dari matahari berubah menjadi ozon (O3) dan O nascend – adalah pembunuh mikroba dan virus yang amat efektif.

Bila oksigen itu berkurang, pembunuh mikroba dan virus pun berkurang. Dampaknya, mikroba dan virus akan makin berkembang, hingga muncullah varian baru virus flu burung HxNy, dengan yang kini menyerang manusia merupakan farian H5N1. So, apakah kita akan birakan hutan hancur dan virus, bakteri dan mikroba lain yang selama ini hidup tenang dihabitatnya gentayangan dengan beragam varian dan siap menyerang manusia? (sumber)

Speechless. Begitu banyak dampak luar biasa dari kepunahan hutan. Mungkin terbesit pikiran, ini hanya data-data dan statement menakut-nakuti saja, tapi sesungguhnya ini fakta yang kongkrit dan analytical. Begitu banyak kerugian yang dialami ketika reboisasi tidak diterapkan di banyak tempat, lalu aktifitas pembalakan liar yang tak meredam, konservasi kawasan hutan menjadi perkebunan yang dikelola pihak swasta, dan menjadi profit tersendiri bagi pengusaha-pengusaha, walaupun negara mendapat bagiannya, lalu ada kebakaran hutan yang selalu membentuk kewaspadaan, serta berkembangnya virus mematikan akibat laju kerusakan hutan yang tak terbendung mengakibatkan mikroba transformatifmenyerang manusia. Kini saatnya kita berpikir dan mencairkan passion kita, langkah apa yang seharusnya kita ambil sesuai dengan kompetensi kita. Karena Indonesia (kita) memiliki hutan tropis terbesar ke-3 di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun