Remaja, bernuansa pemain muda. Imajinasi singkat dari seorang remaja. Kontennya adalah remaja kelas menengah, karena, opini saya bersinggungan dengan itu. Pembahasan ini berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan remaja metropolitan, yang menggunakan materinya sebagai pembentuk kebahagiaan yang sempurna. Jadi, melakukan segala sesuatunya atas dasar lingkungan dan materi yang dia miliki. Artinya, ketergantungan akan hal-hal yang ada di sekelilinganya, lalu membuat pola sendiri untuk mencari kebahagiaan.
Contohnya dari perspektif remaja itu sendiri, Anak Diskotik, tentu berbeda dengan Anak Mall, berbeda dalam mencari dan menemukan pola, yang nantinya akan berujung pada rutinitas, untuk mencari kebahagiaan. Kebahagiaan secara umum tapi mutlak. Namun, belum sampai titik klimaks suatu kebahagiaan. Mengapa? Karena mereka masih ingin berkompetisi.
Di Jakarta, disebut sebagai Kota Metropolitan, bahkan saya pernah mendengar jika ada yang berpendapat sebagai Kota Megapolitan. Padahal definisinya, dari sumber yang reliable (re: wikipedia), bentuk metropolitan merupakan bentuk adjektif dari metropolis. Kata metropolis berasal dan bahasa Yunani, yaitu dari kata meter yang bermakna ‘ibu’ dan polis bermakna ibu kota atau kota terpenting dalam negara atau wilayah dan kota yang menjadi pusat kegiatan perdagangan industri, dan pemerintahan. Sedangkan megapolitan, pertumbuhannya secara alami. Kata megapolis bemakna kota yang sangat besar, daerah yang amat padat penduduknya dan yang berpusatkan metropolis, atau gabungan beberapa metropolis. Sekedar berbagi informasi, hehe...
Dengan begitu, di Jakarta, banyak segala ragam remaja yang dihimpun melalui kegemaran dan pola kebahagiaan yang dilakukan. Tidak fair rasanya, jika harus ada beberapa orang yang tidak patut bahagia apabila "perbedaan kebiasaan" timbul di kerumunan para remaja di Jakarta. Masalahnya, hal tersebut kerap terjadi di Kota Besar ini. Ekspresif dalam melakukan suatu keinginannya. Saya beropini sesuai dengan apa yang saya rasakan, jadi sangat subjektif.
Seperti ini, saya menemukan suatu kegundahan dalam sejumlah kegiatan pertemanan dari sekelompok anak-anak muda/remaja di suatu daerah di Jakarta. Mereka menilai jika kebiasaan yang dilakukan sekelompok permainannya, secara tidak sahaja, harus dilakukan juga oleh kelompok permainan yang lainnya. Apabila tidak, itu dianggap sebagai perbedaan. Memang beda, namun mengapa harus dikategorikan seolah-olah kebahagiaan yang diraih pelak berbeda. Padahal, sama.
Contoh sederhananya yang saya temukan begini: Misalnya saja kelompok A, senang pergi ke tempat diskotik, hingga larut pagi, "minum-minum", bermain wanita, dan sebagainya. Mereka melakukan kebahagiaannya sesuai dengan keinginan dan orientasinya untuk pergi ke tempat tersebut. Lalu, kelompok B dalam komunitas yang sama, senang untuk pergi ke hiburan-hiburan yang lebih ringan, tidak senang dan tidak ingin ke tempat diskotik. Mereka sama-sama menemukan kebahagiaan dengan kapasitas yang sama, sekali lagi saya tekankan, kapasitas kebahagiaan yang sama. Namun, realitanya? Dalam komunitas tersebut, rutinitas yang berbeda saling memperolok kebahagiaan. Berlomba-lomba menunjukan siapa yang lebih bahagia. Walau sejatinya, tidak ditunjukan secara langsung dan terang-terangan. Dilakukan melalui perasaan dari pihak masing-masing. Menurut saya, seharusnya yang dewasa tidak begitu.
Pada dasarnya, hal tersebut hanya soal pilihan, konteksnya dalam tujuan yang sama. Maka dari itu, mengklasifikasi perbedaan tidak harus dirasakan berbeda. Datang dari mana perasaan tersebut? Menurut saya, datang dari pikiran yang tersugesti terhadap perasaan sombong dan naluri ingin menonjol. Remaja di Kota Metropolitan seperti Jakarta, kompetitif menunjukan perbedaan yang tidak seharusnya dirasakan. Ini hanya soal, saya suka bola, dia suka basket. Bahagianya sama, kegiatannya berbeda. Tidak perlu ada yang lebih keren, atau lebih berkelas. Paham?
Tindak analisa sok-dewasa saya ini, tentunya sangat subjektif. Dimana komunitas tersebut (mungkin) hanya saya yang merasakan. Jadi, seperti itu, interpretasi yang saya dapat adalah remaja di daerah metropolitan ini (re: Jakarta), tidak perlu menggunakan perasaan yang mendalam untuk mengkategorikan "kebiasaan" mana yang layak mendapat kebahagiaan paling banyak, kebiasaan mana yang layak dinobatkan sebagai hal yang paling keren. Semua hanya pilihan, terbukalah untuk menentukan tindakan yang baik. Karena pada dasarnya, semua sama-sama bahagia. Disadari atau tidak, hal ini kerap terjadi, saya hanya mengkritik dan sedikit tertawa jika hal ini masih mendominasi remaja - yang sesuai konteks - di Kota Metropolitan, Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H