Sebelum panjang lebar memaparkan pendapat dan opini pribadi saya mengenai masalah ini, izinkan saya mengatakan bahwa perseteruan antara angkutan umum konvensional dan berbasis online di Jakarta ini, sebagian besar adalah kesalahan menteri perhubungan yang belum menemukan titik temu dan celah untuk menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya sederhana.
Belum genap 2 tahun masa jabatan Bapak Ignasius Jonan, beliau sudah 2 kali dihadapkan dengan masalah yang sama. Angkutan umum konvensional VS Angkutan umum berbasis aplikasi online. Dan sudah 2 kali juga beliau melakukan blunder.
Yang pertama adalah tentang pelarangan semua bentuk angkutan umum berbasis aplikasi online yang tidak sampai 24 jam langsung di anulir oleh Presiden Joko Widodo dengan alasan pemerintah pusat dan daerah belum sanggup membenahi transportasi massal sebagai satu-satunya moda transportasi umum yang akan digunakan nantinya. Keputusan Bapak Presiden ini cukup berasalan. Karena analoginya, tidak mungkin seorang pemilik rumah meninggalkan "gubug"nya sementara rumah yang sedang dalam proses pembangunan pun belum jelas kapan akan selesai.
Blunder yang kedua adalah bagaimana seorang Ignasius Jonan yang katanya sanggup membenahi kinerja PT.KAI tidak bisa melihat kondisi angkutan umum yang ada tepat di depan hidungnya sekarang. Kondisi angkutan umum secara khusus di Jakarta saat ini sangat jauh dari kata layak. Satu-satunya moda transportasi yang benar-benar mengikuti kaidah moda transportasi layak adalah Taksi Burung Biru, Si Cepat, dan, Elang (silakan terjemahkan sendiri :red). Sementara untuk moda transportasi lain seperti ojek pangkalan, bus-bus kecil bahkan ojek pangkalan pun tidak bisa dikatakan layak, untuk satu atau lebih alasan.
Melihat bagaimana mudahnya Jonan mengambil keputusan dan langsung menyurati Menkominfo untuk meminta larangan penggunaan aplikasi online, saya melihat bahwa Jonan belum pernah merasakan bagaimana tidak nyamannya menggunakan angkutan umum konvensional yang ada saat ini. Saya justru melihat Jonan agak sedikit ketakutan dengan tuntutan supir Taksi atau mungkin pengusaha Taksi besar seperti burung biru, si cepat, dan elang yang saya sebutkan di atas tadi. Beliau adalah menteri yang punya wewenang penuh atas kelayakan transportasi, tapi kenapa justru tidak bisa melihat mana yang layak dan mana yang tidak.
Kalau alasan beliau adalah karena tidak adanya izin yang jelas untuk aplikasi seperti Grab Car dan Uber, beliau bisa meminta atau memerintahkan kedua perusahaan itu untuk mengurus izin. Kalau sampai harus menggunakan plat Kuning, saya rasa tidak perlu, karena sampai detik ini, ojek pangkalan pun tidak menggunakan plat kuning.
Mengenai keamanan, saya justru merasa lebih aman menggunakan Uber daripada taksi konvensional. Alasannya,
- Saya tidak perlu memegang uang dalam jumlah besar untuk perjalanan jauh. Saya cukup menyiapkan uang kecil untuk biaya tol, atau bahkan mengurus sendiri e-money yang bisa langsung digunakan pengemudi Uber/Grab
- Saya tidak harus membayar minimal 40 ribu untuk biaya panggil taksi sementara jarak tempuh saya pendek. Dengan Uber/Grab saya membayar jarak yang saya tempuh.
- Grab/Uber menggunakan sistem Feedback 2 arah. Pengemudi bisa menilai penumpang dan sebaliknya. Kedua pihak tidak perlu takut salah naik atau salah mengambil orang yang punya rating jelek.
- Uber/Grab mempunyai fitur "share" yang bisa dipakai untuk memberi tahu plat nomor, pengemudi dan tujuan si penumpang, sama halnya dengan taksi kalau terjadi sesuatu hal  yang tidak diinginkan.
- Untuk ke depannya, Bapak Jonan mungkin bis memerintahkan kedua aplikasi menciptakan "Panic Button" 2 arah yang bisa dipakai pengemudi dan penumpang apabila salah satu pihak melakukan tindakan tidak diinginkan.
Kalau menyoal masalah keamanan dan kenyamanan, saya kembali lagi akan memilih Uber/Grab karena mobil-mobil yang mereka gunakan jauh lebih baru daripada yang dipakai taksi kebanyakan. Orang juga pasti merasa lebih senang terlihat turun dari mobil "pribadi" dalam kondisi-kondisi tertentu.
Jadi? Bagaimana kira-kira dengan pendapat saya ini? Masuk akal, atau memang saya yang terlalu naif?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H