“Siapapun yang membuat-buat hal baru dalam urusan kita ini (ibadah/ritual), ia ditolak.” (HR. Bukhari).
As-Suyuthi, salah seorang komentator hadits ini menyampaikan bahwa yang dimaksud amr/urusan dalam hadits di atas adalah urusan agama (as-Suyuthi: 1: 3, t.t.). Urusan agama yang dimaksud menyangkut persoalan ibadah (Ibn Rajab: 1: 177: 2001). Kalau urusan agama harus ada panduannya dari Allah dan Rasul. Sedangkan persoalan di luar agama atau ibadah, tentu siapapun sah-sah saja melakukan kreasi.
Bagaimana dengan maulid Nabi? Dalam perayaan maulid Nabi terdapat ritual-ritual yang dibungkus dalam seremonial. Seremonialnya memang tidak pernah dilakukan oleh para Nabi dan para sahabatnya yang mulia. Akan tetapi, ritualnya, yaitu bershalawat, Allah pun melakukannya. Jadi, yang bid’ah seremoninya. Perlu dipahami, seremoni maulid Nabi bukanlah ibadah melainkan tradisi. Sedangkan isinya, adalah ibadah yang ada petunjuknya dari Nabi. Mengatakan seremoni maulid Nabi adalah membuat-buat dalam urusan agama tentu salah posisi.
Saya tidak yakin perdebatan soal merayakan maulid Nabi akan usai pada tahun-tahun berikutnya. Semoga perdebatan tersebut tidak menjadi penyebab perpecahan di antara umat Islam terutama di Indonesia. Yang tidak mau ikut merayakan maulid Nabi tidak salah, sedangkan yang mengkuti Maulid Nabi juga tidak salah. Yang salah adalah menyalahkan yang tidak salah. Daripada terus berdebat tanpa ujung, baiknya melakukan hal yang lebih esesnsial, yaitu melahirkan semesta teladan kebaikan Nabi dalam kehidupan nyata.
Oleh: Muhammad R. Azizi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H