Mohon tunggu...
Muhamad R. Azizi
Muhamad R. Azizi Mohon Tunggu... Staff Bidang Litbang Ma'had Aly -

Penikmat Literatur Kitab-Kitab Klasik. Tergabung dalam Kelompok Diskusi CONSISS II.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Positioning

18 Desember 2015   14:20 Diperbarui: 18 Desember 2015   14:52 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penggemar sepak bola pasti tidak asing mendengar nama Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Wayne Rooney, atau Didier Drogba. Nama-nama tersebut adalah striker-striker maut yang disegani para kiper. Bukan hanya kerena tendangan mematikan dan sundulan ceplosan, melainkan juga gocekan maut yang mampu memporak-porandakan pertahanan lawan.

Mungkin ada yang masih ingat dengan Filippo ‘Pippo’ Inzhagi atau Raul Gonzales? Menurut saya, gocekan dan tendangan keduanya tidak se-ciamik para pemain yang disebutkan terlebih dahulu. Namun, keduanya memiliki kelebihan yang membedakan dengan striker-striker lain, yaitu positioning, alias penempatan posisi yang bagus. Seringkali, kemampuan menempatkan posisi ini mengantarkan mereka menjadi top scorer alias pencetak gol terbanyak di ajang turnamen sepak bola kelas jagad (sekaligus tersering kena jebakan offside).

Permainan sepak bola memang bukan hanya soal gocekan, sundulan, jumlah gol yang dicetak, atau ketampanan fisik pemainnya. Hal yang paling inti dalam sepak bola adalah keterampilan menempatkan posisi dengan baik. Kiper tentu harus konsisten menjaga gawang dan tidak bernafsu mencetak gol. Bek mesti sigap mengawal pertahanan dan hanya sesekali boleh melakukan overlapping. Midfielder wajib menjaga keseimbangan transisi bertahan-menyerang. Sedangkan striker—di mana posisinya lebih dekat dengan gawang lawan—niscaya mencetak gol sebanyak-banyaknya. Tatkala pos-pos sudah terisi dan job-job di dalamnya dilaksanakan dengan baik oleh para pemain, maka ‘2%’ syarat kemenangan telah dilakukan. Sedangkan ‘98%’ sisanya, menunggu peran dan ketentuan Tuhan (mengapa porsi peran Tuhan lebih banyak? Mungkin lain kali saya tulis).

Kalau hidup diumpamakan sebagai permainan, maka hal yang mesti dimiliki demi meraih kesuksesan hidup adalah keterampilan menempatkan posisi dengan baik. Sebab, salah posisi bisa berakibat fatal. Paling fatal, anda bisa memakai ‘pakaian Tuhan’, kostum yang tidak boleh siapapun pakai. Orang miskin yang tidak bisa memosisikan dirinya dengan benar akan menyombongkan diri dengan harta yang ia miliki, yaitu dengan menolak bantuan orang lain yang tulus membantunya. Orang terkaya di bumi ini pun tidak pantas menyombongkan kekayaannya karena masih ada Dzat Maha Kaya pemilik mayapada. Benar, saudara, baju kesombongan hanya pantas dan cocok dipakai Tuhan.

Hal negatif yang ditimbulkan akibat salah menempatkan posisi adalah tidak tepat menghukumi. Ada yang bilang, wanita tidak boleh tampil di tempat umum. Akibat keputusan ini, wanita hanya berperan di ‘daleman’: kasur, dapur, sumur. Kalau toh ada ajaran agama yang melarang wanita tampil di muka umum, barangkali maksudnya adalah wanita tidak boleh menampilkan sisi ‘kewanitaannya’, yaitu sisi-sisi tabu yang memang harus ditutup rapat-rapat. Wanita dilarang menampilkan sisi erotis yang ada dalam dirinya. Kalau Benazir Bhutto atau Malala Yousafzai berpidato di muka khalayak, maka yang tampil adalah pejuang kemanusiaan, bukan ‘wanita’. Kalau Megawati atau Khofifah Indar Parawansa berorasi, maka yang tampil bukanlah wanita, melainkan ketua partai atau seorang menteri. Dalam hal ini saya sepakat dengan pandangan Cak Nun, bahwa larangan agama kepada wanita untuk tampil di muka umum adalah agar wanita lebih mengembangkan potensi intelektual yang ada dalam dirinya, bukan potensi fisikalnya.

Saya tidak terkadang menemukan keputusan-keputusan bahtsul masa’il yang melarang orang muslim melakukan interaksi dengan non muslim, seperti dengan mengucapkan selamat natal, menghadiri undangan perayaan Natal, atau menghadiri undangan pernikahannya. Bagaimana jika si muslim adalah presiden yang diundang ke perayaan natal rakyatnya yang non muslim? Jika tidak boleh hadir atau tidak mau hadir, tentu masyarakat non muslim akan merasa terdiskriminasi. Bagaimana jika kita hidup bertetangga dengan non muslim dan diundang untuk menghadiri pesta pernikahannya? Jawabannya, bagaimana kalau anda mengundang seseorang yang anda harapkan kehadirannya tetapi ia tidak mau datang?

Menurut saya, keputusan-keputusan bahtsul masa’il mengenai interaksi muslim dan non muslim tersebut salah sasaran alias salah posisi. Keputusan-keputusan tersebut memosisikan muslim sebagai seorang muslim yang sedang terancam akidahnya sehingga dilarang untuk menghadiri undangan perayaan Natal. Seandainya kita mampu melihat secara luas dengan menganggap orang yang diundang bukan sebagai muslim, melainkan sebagai tetangga atau sebagai manusia yang ingin berbagi kebahagiaan, wajib hukumnya menghadiri undangan perayaan Natal yang dirayakan oleh tetangga non muslim.

Jika anda pernah membaca pembahasan as-sunnah, maka anda akan diajari bahwa tidak segala hal yang muncul dari Rasul adalah syariat harus diikuti. Ucapan dan tindak tanduk Rasul harus diikuti apabila diucapkan dan dilakukan oleh beliau dengan kapasitasnya sebagai pembawa risalah. Sedangkan segala hal yang muncul dari beliau dengan kapasitasnya sebagai manusia biasa, tidak semua harus diikuti. Sungguh, orang yang mengukur keimanan dengan seberapa panjang dan rapi jenggot yang ia miliki telah salah menempatkan posisi Nabi.

Akhiran, mari menempatkan posisi dengan baik, dan jangan sekali-kali merebut posisi (hak) orang lain!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun