Menjelang akhir tahun 2016 banyak persoalan menimpa identitas Nasional Indonesia, yang terkenal akan kemajemukannya. Politik identitas yang awalnya terjadi saat menentukan dasar bernegara pasca Indonesia merdeka dari penjajahan di tahun 1945, merebak kembali ditahun 2016 dengan bentuk yang lebih mengganggu kehidupan bernegara. Politik identitas ini menghantar kita masuk ke tahun 2017 dengan berbagai persoalan bernegara, yang jika dibiarkan akan memecah belah serta menghancurkan perilaku berbangsa dan bernegara. Untuk itu perjuangan identintas sebagai hak sebagai warga negara, haruslah ditempatkan dalam bingkai Indonesia sebagai Negara kesatuan dan didalamnya ada kebhinekaan yang harus selalu dihargai dan dibanggakan sebagai identitas Nasional.
Berbagai bentuk tuntutan hak bernegara yang berkaitan dengan perlindungan terhadap identitas kelompok menjadi ruang terciptanya politik identitas bernegara. Kasus penistaan agama yang sedang bergulir dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, bermula dari tuntutan sekelompok massa agar negara turut hadir melindungi Alquran sebagai kitab suci agama Islam.Â
Hal tersebut membebankan kewajiban kepada Negara, agar menyelesaikan kasus ini sesegara mungkin, sehingga tidak mengancam kehidupan bernegara. Menjelang memasuki tahun 2017, organisasi massa yang lain dari kelompok agama tertentu, juga melaporkan Habib Rizieq Shihab ke Polda Metro Jaya, dengan dugaan melakukan penistaan agama Kristen dalam ceramah keagamaannya.Â
Kedua kasus ini merupakan bentuk dari politik identitas, yang merupakan konstruksi dalam menentukan posisi kepentingan subyek di dalam suatu ikatan komunitas politik bernegara. Â Hal ini disebabkan karena identitas sosial merupakan sumber daya dan sarana politik yang lebih efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pendekatan sosiologi, politik identitas biasanya dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni identitas sosial (ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (Nasionalisme dan kewarganegaraan). Kedua kategori identitas ini sering terjadi tarik menarik kepentingan dalam mewarnai kehidupan bermasyarakat.
Indoenesia hadir dalam identitas sosial dan identitas Nasional. Dalam makna identitas sosial, bangsa ini memiliki sumber daya yang sangat besar dengan 1128 suku bangsa, 6 agama besar (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu), kurang lebih 21 aliran kepercayaan atau agama asli Nusantara dan 18.306 pulau dengan keberagaman karakteristik budaya masyarakatnya. Keberagaman identitas sosial tersebut, menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang sangat rentan terhadap kompleksitas masalah politik Identitas.Â
Dan untuk menjawab kesatuan tujuan dalam keberagaman sosial tersebut, maka dibentuklah identitas Nasional sebagai identitas pemersatu. Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 merupakan identitas Nasional yang menyatukan kekayaan sosial bangsa ini. Pancasila menurut presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, merupakan nilai-nilai yang bernafaskan jiwa yang telah turun temurun ada dalam budaya bangsa Indonesia. Nilai-nilai ini tidak meniadakan keberagaman identitas sosial, namun menyatukannya menjadi satu ketahanan yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 merupakan aturan main dalam kehidupan bernegara, yang didalamnya termaktub perlindungan terhadap identitas sosial sebagai sumber daya negara.
Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, sering kali kedua identitas tersebut saling tarik menarik dan bahkan dibenturkan. Di era internet dan media sosial saat ini, kedua identitas sering didiskusikan dengan liar dan tanpa batas. Dua kasus penistaan agama yang telah disebutkan diatas, juga diawali dari temuan di dunia maya. Dengan kemajuan teknologi internet di Indonesia, menghantar setiap orang ikut terlibat dalam politik identitas tanpa batasan profesi, pendidika, umur dan jenis kelamin.Â
Seorang anak kecil dapat berdebat dengan seorang professor dalam sebuah diskusi tanpa arah di dunia maya, dengan dua pendekatan karakter yang berbeda. Individu dengan pengetahuan yang belum matang, dapat berdebat dengan seorang pemuka agama, tanpa merasa beban dan hanya meninggalkan konflik tertentu. Semua orang dapat bersembunyi dalam wajah globalisasi untuk membicarakan identitas sosial dalam kehidupan benegara, yang mana rentan untuk dibenturkan dan dijadikan alat pemicu konflik. Â Media sosial yang sulit untuk dikontrol dan dikendalikan menjadi alat ampuh dalam mendialektikakan sumber daya sosial yang rentan untuk dibenturkan.
Lalu pada identitas manakah kita berlindung? Identitas sosial atau identitas Nasional. Sebenarnya dalam aturan tata negara di Indonesia sangat mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan adanya identitas Nasional, maka tercipta jaminan perlindungan terhadap identitas sosial. Negara didalam Pancasila dan UUD 1945 menjamin kebebasan untuk berperilaku dan berbudaya dalam bentuk keberagaman. Dan untuk menjamin agar tidak terjadi adanya benturan, maka nilai-nilai dalam Pancasila mengikat dengan nilai persatuan, toleransi, gotong royong dan kehidupan bermusyawarah. Dengan adanya ikatan Nasional seperti ini, maka hak setiap warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia terlindungi secara de facto dan de jure.
Dialektika identitas sebagai jalan restorasi NKRI
Setelah merasakan kemerdekaannya yang ke-71 tahun, Indonesia terus dihadapkan dengan pertanyaan mengenai identitas Nasional. Dalam kehidupan bernegara, setiap warga negara dijamin oleh hukum formal untuk melindungi kehidupan komunal dan individualnya. Namun dalam kehidupan berbangsa, seringkali timbul kecemburuan, rasa saling curiga dan sifat untuk dominan. Tiap-tiap komunal merasa bahwa ada terjadi banyak ketimpangan dalam kehidupan bermasyarakat.Â