“Kedatangan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo di Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Kamis (17/4/2014) disambut unjuk rasa ratusan mahasiswa. Insiden kericuhan sempat mewarnai aksi demonstrasi tersebut.” (TRIBUNNEWS.COM.BANDUNG. Kamis, 17 April 2014 14:01 WIB)
Kamis, 17 April 2014 menjadi salah satu momentum yang cukup besar bagi mahasiswa ITB. Kejadian tersebut mengingatkan kembali akan gerakan mahasiswa ITB di masa lalu pada era reformasi. Dimana seluruh elemen kampus terlibat, berpendapat, bepikir dan beraksi dalam menyikapi suatu kasus dengan kritis dan radikal.
Tak terasa 5 hari telah berlalu sejak kejadian tersebut. Penulis sengaja membuat tulisan pada saat ini dikarenakan masih memerlukan data-data untuk mencoba menyimpulkan apa yang tengah terjadi pada saat itu. Hari-hari sebelumnya media masih ramai menguak dan membuat opini tentang kasus ini. Berbagai pandangan muncul terkait pro-kontra mengenai sikap yang diambil oleh KM-ITB. Ketika media masih ramai, sangat sulit bagi kita untuk menemukan benang merah dari kasus ini. Kesimpulan yang dibuat ditakutkan bersifat sepihak dan tidak objektif. Atau bahkan kesimpulan yang kita buat hanya menjadi penambah keramaian isu dan suasana tanpa mengandung alur, data dan kesimpulan yang jelas terkait kasus yang bersangkutan. Maka dari itu pada hari ini penulis mulai berani mencoba menyuarakan opini dikarenakan melihat situasi yang mulai cukup tenang dengan harapan tidak ada distorsi gagasan dengan media, artikel penulis lain ataupun opini masyarakat.
“Tolak Politisasi Kampus ! Kampus Netral Harga Mati !” itulah teriakan yang dilontarkan peserta aksi pada 17 April 2014. Mendengar terikan itu, aliran darah ini menjadi cepat dan raga ini begitu panas, bersemangat lalu tanpa sadar penulis meneriakan kalimat yang sama. Kejadian ini masih asing di mata penulis, dimana mahasiswa ITB berbaris dengan komando dalam satu padu dengan tujuan yang sama, dan hasrat yang serupa. Kekaguman yang terlintas di hati ini tidak dapat dipungkiri lagi. Idelaisme, inilah keunggulan dari setiap orang yang menyandang sebutan mahasiswa.
Pengambilan sikap KM-ITB ini bermula dari pengertian ‘Politisasi Kampus’. Penulis pribadi mengartikan ‘Politisasi Kampus’ ini sebagai pemanfaatan atau pemberdayaan kampus termasuk berbagai elemen didalamnya untuk pewujudan misi politis seseorang maupun kelompok.
Sebagai ilustrasi, beberapa waktu yang lalu media dihangatkan oleh munculnya nama Pak Joko Wododo dalam soal Ujian Nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk jurusan IPS.
Pertanyaannya, apakah hal tersebut dapat kita simpulkan sebagai ‘Politisasi Ujian Nasional’ ? Banyak pihak yang terlibat dalam kasus ini. Mulai dari Pak Joko Widodo, MENDIKBUD, Pembuat Ujian Nasional, dan lembaga lain yang terkait. Walaupun sampai sekarang belum terungkap fakta yang jelas terkait kasus ini. Akantetapi ketika kita melihat sekilas, maka penulis menjawab, “Ya, hal tersebut dapat dikatakan ’Politisasi Ujian Nasional’ “.
Sama halnya jika dikaitkan dengan kasus Kedatangan Pak Jokowi ke ITB untuk mengisi kuliah umum. Terdapat kekhawatiran dari KM-ITB akan adanya misi politis dari kedatangan Joko Widodo ke ITB walaupun untuk mengisi kuliah umum. Maka dari itu KM-ITB mengambil sikap, dengan pertimbangan sebagai berikut (http://km.itb.ac.id/site/klarifikasiaksi17april2014/) ;
- Jokowi telah mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden RI 2014.
- Pengumuman mengenai Studium Generale, tidak dilakukan seperti biasanya. Setiap pengumuman kuliah SG, selalu diumumkan siapa pengisi SG dan apa topiknya. Kali ini, SG hanya diberitahukan bahwa akan diisi oleh Gubernur DKI Jakarta, tanpa diberi tahu apa temanya.
- Kehadiran Jokowi di ITB adalah inisiatif dari Jokowi. ITB telah mengundang pihak Pemprov DKI Jakarta sejak November 2013, namun Pemprov DKI terus tidak menyanggupi. Tiba-tiba, atas perintah Gubernur DKI Jakarta, di bulan April ini, diadakan kunjungan ke ITB.
- Kunjungan yang dimaksud adalah penandatanganan MoU mengenai kerjasama ITB dan Pemprov DKI Jakarta.
- Penandatanganan MoU, bisa dilakukan tanpa harus mengadakan Studium Generale.
Untuk dapat membuat suatu kesimpulan yang representatif dari kejadian ini. Maka minimlalnya kita harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kerangka 5W+1H. Memang kerangka ini adalah suatu konsep sederhana yang pertama kali kita pelajari pada saat kelas 4 SD, akan tetapi dengan mengikuti kerangka pertanyaan ini kita akan lebih mudah dalam membuat alur berpikir yang sistematis. Sebagai contoh, kita bisa memulai dari ;
- Siapa yang mengisi Studium Generale ?
- Apa topik yang dibahas di Studium Generale ?
- Dimana kegiatan Studium Generale berlangsung ?
- Kapan ybs mengisi Studium Generale ?
- Kenapa ybs mengisi Studium Generale pada saat itu ?
- Bagaimana situasi yang terjadi pada Studium Generale saat itu ?
Ketika pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan benar dengan jawaban yang berhubungan dan berkorelasi satu antara yang lainnya. Maka kita sedang mengarah pada suatu kesimpulan. Tetapi ketika terjadi ketidaksinambungan pada salah satu jawaban, maka dapat dikatakan terdapat jawaban yang tidak tepat sehingga menyulitkan kita untuk mendapat kesimpulan yang akurat.
Media menjadi lahan yang tepat untuk mempengaruhi opini bahkan idelaisme seseorang. Pada saat terjadinya kasus ini (17/4/2014) sampai 4 hari setelahnya, banyak sekali opini, berita, dan artikel yang bermunculan mengomentari sikap yang telah diambil KM-ITB. Kita akan mencoba mengamati rubrik seperti apa yang muncul pada beberapa media online pasca Pak Jokowi tidak jadi mengisi kuliah umum di ITB.
- Baru ke ITB Setelah Jadi Capres, Jokowi Dipertanyakan (http://nasional.kompas.com/read/2014/04/19/1920505/Baru.ke.ITB.Setelah.Jadi.Capres.Jokowi.Dipertanyakan)
- PDI-P Sayangkan Demo Mahasiswa Sambut Jokowi di ITB (http://nasional.kompas.com/read/2014/04/17/1617504/PDI-P.Sayangkan.Demo.Mahasiswa.Sambut.Jokowi.di.ITB)
- Kedatangan Jokowi ke ITB Disambut Unjuk Rasa (http://www.tribunnews.com/regional/2014/04/17/kedatangan-jokowi-ke-itb-disambut-unjuk-rasa)
- Jokowi Diusir Mahasiswa ITB dari Kampus(http://www.tempo.co/read/news/2014/04/17/078571382/Jokowi-Diusir-Mahasiswa-ITB-dari-Kampus)
- Ratusan Mahasiswa ITB Demo Jokowi (http://news.detik.com/read/2014/04/17/135409/2558204/10/ratusan-mahasiswa-itb-demo-jokowi)
- Demo Jokowi di ITB Salah Sasaran dan “Gagal Paham” (http://politik.kompasiana.com/2014/04/18/demo-jokowi-di-itb-salah-sasaran-dan-gagal-paham--647653.html)
- Datang ke ITB, Jokowi Dinilai Lakukan Politisasi Kampus (http://pemilu.okezone.com/read/2014/04/20/568/973068/datang-ke-itb-jokowi-dinilai-lakukan-politisasi-kampus)
Dari konten-konten dalam gagasan media online tersebut dapat diambil beberapa poin penting :
- Pak Jokowi disinyalir melakukan politisasi kampus
- KM-ITB benar melakukan aksi dan penolakan akan kedatangan Pak Jokowi ke ITB
- Fraksi PDIP menganggap kejadian ini Gagal Paham
Dari ketiga poin tersebut menurut penulis tidak terdapat kerugian pamoritas dari kata ‘mahasiswa’ dan ‘ITB’ yang dimana memang suatu hal yang lumrah ketika idealisme dan kenetralan dipegang serta dijaga oleh mahasiswa dan Institusi akademik.
Supaya gagasan lebih bersifat objektif. Penulis juga mencoba memperkirakan rubrik seperti apa yang mungkin muncul pada beberapa media online pasca ketika Pak Jokowi jadi mengisi kuliah umum di ITB.
- ·Mahasiswa ITB Menyambut Hangat Kedatangan Pak Jokowi
- ·Kedatangan Jokowi ke ITB Disambut Mahasiswa
- ·Pak Jokowi Mengisi Kuliah Umum, Aula Timur ITB Dipenuhi Mahasiswa
- ·Mahasiswa ITB Antusias Menghadiri Kuliah Umum Pak Jokowi
- ·ITB undang Jokowi, Mahasiswa Antusias
Ketika judul-judul tulisan yang muncul mirip atau serupa dengan asumsi diatas, maka pandangan awal orang awam yang membacanya adalah mahasiswa ITB dan ITB pro terhadap yang bersangkutan. Walau pada faktanya itu belum pasti terjadi. Sehingga kata ‘mahasiswa’ dan ‘ITB’ terlihat kehilangan idealisme dan kenetralannya. Ketika hal ini terjadi, penulis dapat mengatakan bahwa ‘Politisasi Kampus’ telah berhasil dilaksanakan di kampus ITB.
Mengingat berbagai macam pemberitaan media mengenai kasus pada 17 April 2014 di ITB. Terdapat hal sederhana, kurang penting tapi menarik untuk dibahas dan dipertanyakan. Dalam pemberitaan suatu media mengenai kejadian pada 17 April 2014 di ITB. Didapati sebagai berikut ;
http://www.youtube.com/watch?v=P0jbUVruHGs
“Kenapa ada gambar ban di bakar ? Baku hantam mahasiswa dan polisi ? Empat mahasiswa dan satpam luka-luka ?”
“ANDA SALAH FOKUS YA MAS !?”
Bagi yang ingin mendapatkan fakta yang in syaa Allah dapat dipertanggungjawabkan sumber dan keabsahannya. Silahkan check http://www.youtube.com/watch?v=kiWdblAmp0s
Semantara itu, dalam bulan Mei ini di ITB terdapat acara yang mengundang Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa. Selain itu, panitia juga mengundang beberapa tokoh nasional terkemuka seperti calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa, Mahfud Md.; calon presiden dari Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra; dan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin. Hal ini memaksa dan mengundang kembali pernyataan sikap yang harus dikeluarkan KM-ITB. Dan tentunya menjadi bahan godokan yang menarik bagi media.
“Inilah media. Tidak mengherankan jika sekarang banyak kalangan berpendapat bahwa bila ingin menguasai dunia, maka kuasailah media. Sebab, dengan menguasai media, mereka dengan “bebas” dapat mempengaruhi opini publik. Dunia sudah tidak lagi sebesar sekarang. Dunia sudah berubah menjadi kecil dan hanya selebar monitor televisi, seluas halaman koran, bahkan sebesar kepingan CD. Ini semua berkat pengaruh media, sehingga dunia tidak ubahnya seperti kampung global.”
Media layaknya pisau bermata dua dan dalam hal ini menjadi kendaraan politis yang sangat cocok untuk menjalankan misi-misi para politisi.
Penulis mencoba menganalisis dari pemikiran yang cukup bebas dan sederhana ;
“Jika Pak Jokowi datang untuk mengisi Kuliah Umum di ITB dengan topik yang jelas tanpa sepengetahuan media atau menjamin tidak ada media yang memberitakan kegiatan tersebut. Penulis berpendapat hal itu masih bisa diterima karena tidak menyangkut pamoritas pihak-pihak yang bersangkutan atau publishing citra ke masyarakat umum. Tapi ketika media mengambil peran dalam hal ini, semuanya sudah berbeda, tidak sama dan mungkin alur yang diharapkan akan berubah 1800.”
Dalam kasus ini nama ‘mahasiswa’ dan ‘ITB’ sangat dipertaruhkan. Bagi mahasiswa dan institusi akademis untuk senantiasa menjaga idealisme, kenetralan dan sikap merupakan suatu keharusan. Jadi, aksi Tolak Politisasi Kampus pada 17 April 2014 menurut penulis merupakan pilihan yang tepat dari segala kemungkinan terburuk yang terjadi antara 'Pak Jokowi mengisi kuliah umum' & 'Pak Jokowi tidak mengisi kuliah umum'.
“Politik itu selalu memiliki rencana jangka panjang'. Layaknya permainan catur, seorang pemain catur yang ulung dan unggul adalah pemain yang memikirkan rencana dari setiap dan semua pergerakan bidaknya sampai pada kesimpulan dia pasti menang.”
Kita masih perlu berhati-hati dan siap untuk sikap serta solusi dari segala kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin kejadian ini hanyalah gerakan bidak yang pertama dari pihak-pihak pemilik kepentingan yang bersangkutan.
"Seorang politisi itu selalu memiliki rencana jangka panjang, maka seorang politikus atau pengamat harus menunggu kesempatan untuk mengambil kesimpulan dan mencoba selangkah lebih maju."
“Seharusnya “Mahasiswa ITB, Media, Politisasi”. Semua kata terpisah dan independent.”
“Jangan sampai menjadi “Mahasiswa ITB Media Politisasi”. Semua kata menjadi satu kalimat.”
“Wallahu’alam bishowwab”
“Dan Allah lebih mengetahui yang sebenar-benarnya”
Ricky Alamsyah
15312055
@abi_ricky
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H