Mohon tunggu...
Ricky Saragih
Ricky Saragih Mohon Tunggu... -

Seorang yang selalu ingin berpendapat tentang sesuatu..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Klasik Tentang KRL

13 Mei 2011   02:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:47 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear Kompasianer,

Saya tidak tahu harus dimulai dari mana cerita ini, sehingga sampai pada suatu kalimat yang terlintas dalam fikiran saya ketika berdesak-desakan di KRL (Kereta Listrik Jabodetabek yang dioperasikan bersama oleh PT. KAI dan PT. Jakarta Commuter) yaitu mengenai pengertian negara yang paling pas untuk kondisi ini. Akhirnya saya merujuk kepada negarawan Roger F. Soltau yang mendefinisikan negara itu sebagai "alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat".

Negara yang tersusun mulai dari pemerintahan tertinggi sampai kepada terendah berfungsi untuk memecahkan persoalan masyarakat (umum) untuk mencapai suatu ketertiban, kemajuan dan kehormatan bersama (Aristoteles) dan oleh karena itulah mereka diberikan fungsi-fungsi kekuasaan yang sifatnya dapat memaksa warganya untuk mewujudkan tujuan bernegara tersebut.

KRL sebagai alat transportasi umum yang efektif

Kembali ke topik permasalahan.

Saya melihat KRL adalah sarana transportasi massal yang sangat efektif dan efisien. Sebagai salah satu alternatif transportasi umum di kota besar (yang semerawut) seperti Jakarta (Jabodetabek), KRL mempunyai keunggulan daripada sarana transportasi umum lainnya, yaitu bahwa satu set KRL (dengan 8 gerbong) sekali jalan dapat membawa penumpang hingga ribuan (asumsi KRL tidak berdesak-desakan dengan penumpang yang wajar antara yang duduk dan berdiri), bebas dari polusi asap dan pencemaran udara, cepat dan tidak terkena macet. Keunggulan-keunggulan ini yang tidak dimiliki sarana transportasi lainnya, sehingga sangat layak KRL diberikan top priority untuk dikembangkan sebagai sarana transportasi umum yang membawa solusi efektif untuk mengurai kesemerawutan Jakarta dan kota-kota satelitnya.

Ketika pagi ini saya ingin berangkat kerja, seperti biasa saya menaiki KRL Pakuan Ekspress Bogor menuju Jakarta. Tentu saja dengan asumsi jadwal yang sama, saya dapat sampai dikantor sebelum jam 7 pagi. Tetapi sebelum sampai di stasiun Manggarai, KRL berhenti cukup lama menunggu sinyal masuk stasiun Manggarai yang masih berwarna merah. Agak lama KRL yang saya tumpangi "ngetem" atau berhenti di dekat sinyal masuk stasiun Manggarai. Para penumpang mulai gelisah dan bertanya-tanya, kok lama sekali berhentinya?

Dan akhirnya sinyal itu pun berubah menjadi kuning, yang berarti KRL dapat memasuki stasiun Manggarai dengan kecepatan sedang karena menerima sinyal hati-hati. KRL pun perlahan masuk ke stasiun Manggarai.

Ketika sampai di Manggarai, terlihat banyak Polsuska (Polisi Khusus Kereta Api) yang sedang berbaris bersiap siaga menunggu kedatangan KRL Ekonomi selanjutnya, untuk menertibkan penumpang yang naik di atap KRL. Di sisi lain saya melihat kaca-kaca ruangan Pengawas Peron, Kaca Pengumuman, Kaca jendela-jendela stasiun Manggari  pecah berantakan dan beberapa tempat sampah hancur dan banyak batu berserakan di situ (yang mungkin diambil dari rel untuk digunakan memecahkan kaca dan membuat kerusuhan).

Melihat kejadian ini, saya yakin tentu setiap orang akan melihat melalui sudut pandangnya masing-masing. Penumpang yang tidak terlibat, tentu menyayangkan kenapa kok stasiun yang tidak bersalah dihancurkan?, sedangkan dari sisi penumpang KRL ekonomi yang naik diatas KRL mempunyai alasan, "kenapa saya harus dipukulin karena naik di atas KRL? saya naik karena tidak ada tempat yang layak didalam KRL. Dan kalau saya dipaksa turun dan dipukulin, tentu saya harus melampiaskan kemarahan saya dengan melempari stasiun supaya PT. KAI dan PT. Jakarta Commuter tahu, kalau pelayanan mereka masih sangat buruk, dan tidak memberikan solusi", sementara dari Polsuska tentu berpendapat "saya hanya menjalankan tugas untuk menurunkan mereka dari atas atap KRL, demi keselamatan mereka sendiri, dan ketika mereka bandel tidak mau turun, tentu harus ada tindakan pemaksaan."

Inilah persoalan dan menjadi Cerita Klasik Tentang KRL.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun